Dominikus Surabut, seorang pemimpin suku di Papua, mengatakan setiap orang memiliki hak untuk mempraktikkan iman mereka dan mengembangkan agama mereka.
Namun, kehadiran Muslim yang tumbuh di daerah itu, ditambah dengan perilaku mereka belakangan ini, menjadi problematis karena juga menyediakan ruang bagi penyebaran radikalisme, ia menambahkan.
Sejumlah kelompok Muslim radikal telah memperoleh tempat di Papua, kata dia, seperti dikutip UCAnews, seraya menyebut keberadaan dan pengaruh Hizbut Tahrir, yang berbasis di Kabupaten Keerom di Papua bagian utara. Mereka mengendalikan 500 hektar lahan dan memusatkan semua kegiatannya di sana.
Surabut mengatakan dia juga telah mendengar desas-desus tentang kehadiran Jamaah Islamiah di Merauke, Papua selatan, yang telah memicu lebih banyak tanda bahaya di kalangan masyarakat setempat.
“Kami lebih prihatin dengan kehadiran Hizbut Tahrir di Keerom karena kami tahu beberapa anggota mereka telah menerima pelatihan militer,” tambahnya, dikutip dari UCAnews.
Misionaris Terhina
Ancaman terhadap orang Kristen dan pendeta semakin kentara setelah ulama Muslim Fadzlan Garamatan menuduh misionaris menyesatkan publik.
Dalam sebuah video yang diedarkan pada bulan Maret, Garamatan menyalahkan para misionaris Eropa karena banyaknya alkohol yang diserap oleh orang Papua.
Dia juga menuduh mereka memandikan anggota masyarakat dengan lemak babi dalam ketaatan pada tradisi budaya yang aneh.
Menurut ajaran Islam daging babi dilarang karena Muslim percaya bahwa daging dan lemak babi menyerap racun dan bisa 30 kali lebih beracun daripada daging sapi.
Orang Kristen Papua mengecam tuduhan tersebut dan melaporkan ulama itu ke polisi pada 26 Maret.
Pdt. John Bangsano, yang mengkoordinasikan Gerakan Oikumene Gereja-Gereja di Papua, mengatakan bahwa Garamatan menghina para misionaris Eropa dan menghina negara secara keseluruhan dengan ucapan yang tidak berdasar, yang tampaknya ditujukan untuk mengobarkan kerusuhan.
“Dia telah menghina orang Papua secara keseluruhan,” katanya, sambil menambahkan Garamatan telah membuat banyak akun media sosial dalam upaya untuk mendiskreditkan dan mempermalukan misionaris dan orang Papua.
“Kami menentang pidato kebencian seperti itu. Ini menghancurkan rasa harmoni sosial yang telah mapan di Papua antara Kristen dan Muslim jauh sebelum dia datang,” katanya.
Pastor John Djonga menentang ulama itu dan mengatakan bahwa tuduhannya tidak berdasar.
“Jika dia punya bukti untuk mendukungnya, dia harus bisa menunjukkan siapa para misionaris dan mengidentifikasi di mana mereka berada,” kata imam Katolik itu.
Hingga akhir April, kasus ini masih dalam penyelidikan polisi.