Kiprah JIL semakin terasa ketika mereka dalam tulisan atau seminar-seminarnya mulai gegap gempita. Tercatat mereka cukup sering memakai teater Utan Kayu sebagai tempat diskusi. Ketika kasus Ahmadiyah mencuat misalnya, di situs JIL terpampang diskusi Ahmadiyah yang melibatkan Zafrulloh Ahmad Pontoh (Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia) dan Abdul Moqsith Ghazali dari UIN Jakarta. Pada hari Kamis, 24 Februari 2011, Pukul 19.00-21.30.
Mereka juga pernah mengadakan Diskusi Buku The Grand Design karya Stephen Hawking & Leonard Mlodinow dengan judul diskusi: Tuhan Bukan Pencipta Alam Semesta? Ya sederetan diskusi itulah yang hingga kini terus diwarisi, bahkan tak jarang diskusi-diskusi di JIL menjadi ajang fitnah terhadap para Ulama Indonesia. Mereka membonceng nama besar Ulama Indonesia untuk menepis tuduhan bahwa ide liberalisme adalah barang baru dan tidak disetujui para ulama.
Fitnah Ulil Terhadap KH. Agus Salim
Dalam sebuah diskusi bertemakan “Masa Depan Pemikiran Islam” di Utan Kayu pada tanggal 5 Maret 2005, Ulil membuat statement yang mengejutkan. Ia mengatakan bahwa Pemikiran Islam Liberal di Indonesia sudah memiliki akar yang cukup panjang pada Islam intelektual didikan Barat tahun 1930-an seperti KH. Agus Salim.
KH. Agus Salim, lanjut Ulil, sekalipun tidak pernah kuliah di Barat. Dia sangat akrab dengan buku-buku Barat. Rupanya, inilah yang menurut Ulil bahwa amat beralasan jika kemudian nama KH. Agus Salim dimasukkan sebagai tokoh Muslim yang merintis pemikiran liberal di Indonesia.[1]
Namun sayang kala itu tidak ada audiens yang merespon pernyataan Ulil. Sebab jika kita berkaca kepada bukti sejarah, tuduhan Ulil kepada KH. Agus Salim tentu saja tidak berdasar. KH. Agus Salim pernah menyatakan sendiri bahwa ia merasakan jauh dari Islam justru ketika ia dididik oleh Barat lewat pendidikan sekuler. Seperti dikutip Yudi Latif dalam bukunya Inteligensia Muslim dan Kuasa, KH Agus Salim berujar,
“Meskipun saya lahir dalam sebuah keluarga Muslim yang taat dan mendapatkan pendidikan agama sejak masa kanak-kanak (setelah masuk sekolah belanda) saya mulai kehilangan Iman.” [2]
Pengakuan jujur KH. Agus Salim inilah yang dengan serta merta meruntuhkan klaim Ulil akan keliberalan tokoh muslim asli Minang tersebut. Bahkan dalam dokumen dari Panitia Buku Peringatan 100 Tahun KH Agus Salim, tokoh kharismatik dari Syarikat Islam tersebut berterus terang bahwa model penidikan HBS (Sekolah menegah Belanda) telah menjauhkannya dari Islam.
Berbeda dengan Ulil yang takluk akan Barat dan sangat bangga akan peradaban Barat, KH. Agus Salim sekalipun membaca buku-buku Barat, ia sama sekali tidak terpukau dengan peradaban luar. Kemampuan Agus Salim akan penguasaan banyak bahasa pun tidak membuatnya memandang Peradaban Barat lebih hebat dari Islam.[3]
Sikap itu dapat tercermin saat KH. Agus Salim masih muda. Pada tahun 1903, setelah KH. Agus Salim menyelesaikan pendidikan di HBS dengan nilai tertinggi ketika itu, Kartini berkeinginan agar beliau disekolahkan ke Belanda dengan mengambil jurusan kedokteran.
Kartini berniat mengalihkan beasiswanya sebesar 4.800 Gulden hanya untuk KH. Agus Salim yang dinilainya berpotensial untuk mengasah karir keilmuannya di Barat. Namun apa yang terjadi? Tanpa mengurangi rasa hormatnya atas Kartini, tawaran beasiswa itu ditolak oleh KH. Agus Salim, karena menurut beliau bantuan dari penjajah tidak layak diterima.
Sikap ini sebenarnya lahir dari keberanian KH. Agus Salim yang sudah terasah sejak kecil. Beliau memang dididik untuk berani menentang kebijakan-kebijakan colonial yang merugikan umat. Jadi, kita bisa bandingkan dengan JIL, yang justru meminta kucuran dana dari Barat demi menopang roda organisasinya.
Betul memang KH Agus Salim kemudian pernah bekerja untuk Belanda di Mekkah. Tapi awal ketika tawaran itu datang dari Snouck Hugronje, KH Agus Salim sudah memberi syarat bahwa kepergiannya ke Jeddah menjadi pegawai Belanda bukan dalam kapasitas untuk membantu misi kolonialisme, namun sesuai yang dijanjikan, yakni sebagai staff penerjemah.
Dan apa yang terjadi setelah itu? Ketika sampai di Jeddah dan aktif sebagai pegawai, ternyata KH. Agus Salim banyak mengalami pertentangan pemikiran dengan fihak Belanda. Hal inilah yang kemudian menjadikan KH Agus Salim mendekat kepada kelompok Islam di Jeddah. Disana ia juga bertemu sang paman, Achmad Khotib, seorang Ulama besar Hindia terakhir di Haramain. Pertemuan inilah yang dilukiskan KH. Agus Salim sebagai titik balik dalam penemuan kembali identitas Islamnya.[4]
Fitnah Syafi’i Ma’arif Terhadap Buya Hamka
Lain lagi fitnah yang menimpa Buya Hamka. Salah satu dedengkot JIL, Prof Syafi’i Ma’arif dalam tulisannya di Rubrik Resonansi, Republika hal.12, tanggal 21 Nopember 2006 mencoba menafsirkan Qs.Al-Baqarah ayat 62 dengan semangat pluralisme agama yakni dengan menyatakan bahwa kaum Nasrani, Yahudi dan Sabi’in akan menjadi penghuni surga sepanjang ia rajin beramal.
Menariknya, Syafi’i Ma’arif dalam artikel itu merujuk ke Tafsir Al-Azhar karya Prof. DR. Hamka sebagai legitimasi bahwa seorang Buya Hamka merestui pemikiran pluralisme. Lihatlah tulisan Ma’arif ketika menafsirkan Surat Al Baqarah ayat 69 dengan rujukan Tafsir Al Azhar Buya Hamka berikut ini.
“Ikuti penafsiran Hamka berikut: Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau mereka apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. ‘Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita (ujung ayat 62), hlm.211.
"Yang menarik, Hamka dengan santun menolak bahwa ayat telah dihapuskan (mansukh) oleh ayat 85 surat surat Ali ‘Imran yang artinya: ‘Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi.’ (Hlm. 217). Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 itu sebagai berikut:
"Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmannya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih." [5]
Sontak, tulisan Ma’arif tersebut memunculkan berbagai macam polemik dan respon. Selain dicap mendompleng nama Buya Hamka, Syafi’i Ma’arif juga dinilai ngawur dalam menjelaskan konteks surat Al Baqarah ayat 62 dan 69.
Salah satu cendekiawan yang merespon kekeliruan Syafi’i Ma’arif tersebut salah satunya adalah DR. Adian Husaini. Ketua DDII ini langsung menulis balik di Republika pada kolom sama tertanggal 1 Desember tahun 2006 dengan judul “Hamka dan Pluralisme Agama”. Dengan rujukan yang sama, DR. Adian kemudian meluruskan kesalahan (yang tampaknya disengaja) Ma’arif ketika membelokkan perkataan Buya Hamka. DR. Adian Husaini menulis,
“Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya juga tidak berbeda dengan para mufassir terkemuka yang lain. Termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: ‘Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi.’ Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya sejalan.
"Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 – sebagaimana juga dikutip Syafii Maarif – bahwa "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmanNya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih.
"Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk Al-Quran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad saw. Jika seseorang beriman kepada Al-Quran dan Nabi Muhammad saw, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam. Dengan kata lain, dalam pandangan Hamka, siapa pun yang tidak beriman kepada Allah, Al-Quran, dan Nabi Muhammad saw, meskipun dia mengaku secara formal beragama Islam, tetap tidak akan mendapatkan keselamatan. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.” [6]
Selain itu, jika kita merujuk kepada karangan Buya Hamka yang berjudul “Pelajaran Agama Islam” (Bulan Bintang: 1996, cet ke-12), jangankan mengakui kekafiran kaum Nasrani, sedangkan menurut Buya Hamka orang Islam sendiri yang tidak mengikuti perintah Al Qur’an dan Sunnah sudah tidak pantas lagi disebut muslim. Buya Hamka menulis di halaman 360.
“Mengakui saja kepada Tuhan, padahal tidak mengikuti perintah atau tidak menjalankan isi Qur’an atau tidak menuruti sunnah Nabi, kalau kita fikirkan mendalam, bukanlah Iman lagi, halusnya bukanlah Islam” [7]
Andai Syafi’i Ma’arif tidak menutupi kepalsuannya, seharusnya sebagai pembesar. Muhammadiyah beliau tahu bagaimana riwayat Buya Hamka turun dari tahta MUI ketika menolak perayaan natal bersama. Kala itu MUI mengeluarkan fatwa haram pengucapan selamat natal, namun MUI didesak untuk mencabut kembali fatwa tersebut.
Akan tetapi, demi menjaga akidah umat, Buya Hamka dengan tegas menolak permintaan penarikan fatwa tersebut. Buya Hamka lebih memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua MUI ketimbang harus bermandikan dosa mengorbankan akidah. Dan kita ketahui sejak MUI dipimpin Buya Hamka itulah ucapan selamat natal diharamkan oleh MUI. (Bersambung/pz)
Catatan Kaki
[1] Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. (Jakarta: Grasindo, 2010) h. 34
[2] Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia abad ke-20 (Jakarta: Mizan, 2005) h. 103
[3] Ibid. h. 103
[4] Ibid. h.105
[5] Ahmad Syafii Maarif (2006), Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah, surat kabar Republika, edisi Selasa, 21 Nopember 2006.
[6] Adian Husaini (2006), Hamka dan Pluralisme Agama, surat kabar Republika, edisi Jum’at, 1 Desember 2006.
[7] Buya Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Bulan Bintang: Jakarta, 1996) Cet ke 12. h. 360