Kasus BLBI merupakan induk dari segala KKN di Indonesia dari era 1980-an hingga sekarang. BLBI merupakan warisan KKN Suharto yang terakhir kepada bangsa ini. Dan adalah fakta jika semua presiden penerus Suharto tidak ada yang punya nyali untuk mengusutnya secara tuntas. DPR-nya sami mawon, fraksi yang berasal dari warisan rezim Orde Baru dan fraksi yang mengaku-aku sebagai reformis sama saja dalam kasus ini. Apakah ini mengindikasikan jika cipratan uang BLBI menyebar ke mana-mana? Wallahu’alam.
Hari-hari ini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar melakukan koordinasi dengan pihak terkait, Jaksa Agung di antaranya, untuk memulai kembali pengusutan terhadap kasus BLBI. Antasari bahkan menyebut jika target KPK adalah menyeret 18 tersangka kasus ini, para konglomerat hitam yang kabur.
Dan semoga KPK juga tidak lupa bahwa ada beberapa anggota DPR periode 2004-2009 yang diduga kuat ikut menikmati uang BLBI sehingga bisa melancong ke AS. Semua pejabat terkait dari era rezim Suharto hingga sekarang harus diseret ke muka hukum. Niat baik KPK patut mendapat dukungan. Jika perlu, KPK bisa mencontoh Cina dalam penegakkan hukum kasus Mega-Korupsi: ditembak mati bersama anggota keluarganya yang terbukti di pengadilan ikut menikmati uang panas. Namun sayang, payung hukum dalam UU Tipikor belum sehebat negeri komunis itu di dalam penegakan hukum.
Boleh saja SBY-JK menyatakan jika di masa kekuasaannya dilakukan usaha penegakan kembali kedaulatan hukum, politik, dan juga ekonomi kita. Namun yang dilakukan ternyata kebalikannya. SBY-JK tentu masih ingat, dikeluarkannya UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal ditambah Perpres No.76 dan 77/2007 adalah buktinya. “UU itu merupakan pukulan telak dan mematikan bagi upaya penegakan kedaulatan ekonomi kita. Pemerintahan Yudhoyono telah membuatkan jalan tol nan mulus bagi korporasi asing, besar dan kecil. Untuk menguasai perekonomian Indonesia!” tegas Amien Rais.
Salah satu rencana rezim peragu ini yang harus ditentang adalah rencana penjualan 44 BUMN. Jika semua rencana gila-gilaan dan—dalam istilah Amien Rais, “Konyol”—ternyata dilakukan juga oleh SBY-JK atau penerusnya, maka sungguh malang nasib bangsa ini, akan meluncur ke jurang kebinasaan tanpa ampun.
Kita tentu tidak bisa lagi mengharapkan rezim SBY-JK untuk optimal dalam pemberantasan korupsi. Masa kerja SBY-JK tinggal hitungan bulan. Kita tentu masih ingat, kasus Adelin Lis yang tertangkap di Beijing akhir 2006 ternyata berakhir anti-klimaks. Pemilik dua perusahaan kayu raksasa ini dijadikan tersangka oleh Polda Sumatera Utara dengan dugaan melakukan illegal-logging dan merugikan negara sebesar Rp.227 triliun atau Rp. 227.000 miliar (!). Angka ini merupakan sepertiga dari APBN Indonesia. Namun pengadilan akhirnya membebaskan Adelin Lis dengan dalih tidak menemukan pelanggaran hukum yang dilakukan. Rakyat protes keras namun SBY-JK adem-adem wae.
Lalu pada Februari 2006, tiga konglomerat perampok uang rakyat dalam kasus BLBI bisa-bisanya melenggang masuk istana dan keluar dengan aman dan nyaman. “Mengapa istana, tempat bersemayamnya jantung kekuasaan, dapat menggelar karpet merah buat para musuh besar bangsa dan negara itu? Mengapa?” tanya Amien Rais. Dua kasus di atas hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus ‘penegakan hukum’ ala rezim yang berkuasa sekarang ini. Fakta yang tak terbantahkan inilah yang membuat banyak dari kita tersenyum miris melihat iklan full-size di berbagai harian nasional yang bertema ‘Tidak Pada Korupsi’. Mungkin, maksudnya adalah “Katakan tidak pada upaya pengusutan kasus korupsi!”
Pemilu dan Pilpres 2009 akan diselenggarakan di tengah lautan kemiskinan bangsa ini yang kian dalam dan meluas akibat krisis global yang mengakibatkan terjadinya PHK massal tanpa bisa dihindari. Kita hanya bisa berdoa semoga kenduri besar tersebut bisa terlaksana dengan menghasilkan para pemimpin rakyat yang berani mati menyelamatkan negeri ini dari kehancuran.
Jika Pemilu dan Pilpres 2009 hanya melahirkan para pemimpin seperti sekarang, yang begitu acuh terhadap penderitaan rakyatnya sendiri, maka besar kemungkinan usia pemerintah hasil Pemilu dan Pilpres 2009 tidak akan berumur lama, bahkan tidak akan sampai pada Pemilu dan Pilpres lima tahun ke depan kemudian. Bangsa ini akan kembali terjerumus pada situasi chaos yang jauh lebih dahsyat ketimbang 1998.
Sekarang, sikap apatis rakyat terhadap pemerintah sudah sedemikian tinggi. Hal ini bisa ditelusuri dari rendahnya angka partisipasi rakyat di dalam berbagai pilkada yang diselenggarakan. Rakyat sudah banyak yang mulai cerdas dan menyatakan jika semua partai politik, baik yang warisan Suharto maupun yang lahir setelah 1998, sama saja: Suhartois. Situasi negeri ini sekarang ibarat hutan ilalang kering yang akan cepat terbakar habis jika ada satu letikan kecil api menimpanya.
Sudah menjadi hukum alam jika dalam situasi penuh keputus-asaan, biasanya rakyat kecil akan berdoa agar Allah SWT kembali mengutus seorang tentaranya untuk memimpin rakyat menumbangkan tiran. Sang tentara Allah biasanya hadir dalam sosok seorang manusia yang bersahaya, lurus dan bersih dalam hidupnya, yang berani mengatakan dan membela kebenaran walau nyawa menjadi taruhan, dan bisa merasakan denyut kepedihan rakyat yang selama 40 tahun terus-menerus dijajah oleh pemerintahnya sendiri. Tentara Allah tidak akan pernah mau berdamai dengan kemunafikan apalagi bersekutu dengan thagut. Tentara Allah adalah sekutu Muhammad SAW, bukan sekutu Abu Jahal apalagi bersahabat dengan Qarun. Jika tentara Allah SWT telah datang, maka seluruh rakyat kecil akan bersatu-padu dibelakangnya untuk berjuang menggulingkan kezaliman dan kemunafikan. “Hasta La Victoria Siempre!!!”(Tamat)