Dunia perbankan Indonesia yang dihasilkan dari KKN antara “Ali-Baba”. Ali disini adalah para pejabat negara, sedangkan “Baba” adalah pengusaha Cina (Yoshihara Kunio: Kapitalisme Semu Asia Tenggara), memang memiliki pondasi ril yang rapuh. Sebab itu, dalam hantaman krisis moneter tahun 1997-1998, sistem keuangan kita langsung ambruk. Suharto dengan IMF-nya tidak berdaya.
Sepeninggal Suharto, Habibie dianggap cukup berhasil karena mampu menjinakkan kurs rupiah yang tadinya sempat mencapai Rp. 20.000,- per satu dollar menjadi ‘hanya’ Rp. 6.000,- Namun langkah ini ternyata tidak diikuti oleh pengamanan di sektor perbankan nasional. Semasa Habibie malah diterbitkan UU No.10/1998 tentang Perbankan, nama resminya UU No.7/1992 tentang Perbankan namun telah diubah menjadi UU No.10/1998.
“UU ini jauh lebih eksplisit di dalam mendorong salah satu agenda Konsensus Washington, yaitu liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan. Lebih parah lagi, semangat liberalisasi ini dilakukan dengan kebablasan, tanpa persiapan jaring pengaman dari liberalisasi, terutama manajemen resiko,” tegas Amien Rais dalam “Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia!” (2008).
Dengan aturan di atas, pihak asing bisa menguasai hingga 99% saham bank di Indonesia. Ini jauh lebih tinggi dari komitmen Indonesia di WTO yang pada awalnya adalah 49%, lalu dinaikkan menjadi 51%.
“Indonesia lebih liberal dari negara-negara AS, Australia, Kanada, Singapura, dan sebagainya yang menerapkan pembatasan kepemilikan asing dalam sektor perbankannya. Juga paling ‘ngawur’ di antara negara-negara Asia lainnya!” tegas Amien Rais. Coba bandingkan, UU Perbankan di Filipina membatasi kepemilikan asing pada sektor perbankannya hanya sampai 51%, Thailand 49%, India 49%, Malaysia 30%, RRC 25%, Vietnam 30%, AS pun hanya 30%. Namun Indonesia bisa sampai 99%! Ini jelas konyol!
Akibatnya, saat ini 6 dari 10 bank terbesar di Indonesia telah dikuasai asing dengan kepemilikan mayoritas. Dan, kini industri perbankan di Indonesia, hampir 50% sudah dikuasai fihak asing. Bagaimana kalau industri perbankan di Indonesia sudah dikuasai fihak asing? Padahal, sektor perbankan merupakan urat nadi ekonomi Indonesia. Hebatnya lagi, asing bisa membeli bank-bank tersebut dengan harga hanya 8-12% dari total biaya rekapitulasi dan restrukturisasi perbankan yang dikeluarkan oleh negara. Negara pun masih harus membayar bunga obligasi sekitar Rp 50-60 triliun tiap melaui APBN setiap tahun hingga 2030. “Kenyataan ini merupakan demonstrasi kebodohan yang rada memuncak dan sulit dicerna akal sehat!” tandas Amien.
Di era Abdurrahman Wahid yang menggantikan Habibie juga sama saja. Bahkan kurs rupiah yang tadinya ‘hanya’ Rp. 6.000,- melorot lagi menembus batas psikologis Rp. 10.000,-. Diam-diam, di masa pemerintah Abdurrahman Wahid, Indonesia juga meresmikan hubungan dagang dengan Zionis-Israel. Indonesia yang sudah kacau di masa kekuasaan Abdurrahman kian terbengkalai.
Habis Abdurrahman Wahid muncul Mega (wati). Dalam hal kasus BLBI, kebijakan R&D (Release and Discharge) yang menghentikan penyidikan hukum terhadap tersangka BLBI oleh pemerintahan Megawati sungguh konyol. Dan banyak kalangan menegaskan jika suatu hari nanti, Megawati dan orang-orang di sekelilingnya harus bertanggungjawab atas kebijakan R&D ini.
Biro Riset Info Bank pada penghujung akhir 2005 menyatakan jika penguasaan aset bangsa dan negara ini yang telah jatuh ke pihak asing sudah sebesar 48,51%, pemerintah cuma kebagian 37,45%, selebihnya dikuasai pihak swasta yang tidak menutup kemungkinan jika asing banyak juga yang bermain di sektor swasta.(bersambung/rd)