Usai pertemuan di Pulau Dajjal tahun 1987, konspirasi globalis merancang tahap demi tahap agar Asia Tenggara bisa dijadikan laboratorium ‘bail-out game’ tersebut. Tahap-tahap ini bisa kita lihat dalam kejadian nyata yang kemudian benar-benar terjadi.
Pada tahun 1996, John Naisbitt menerbitkan buku Megatrends Asia: The Eight Asian Megatrends That Are Changing The World yang mencanangkan keajaiban Asia (The Miracle of Asia) sebagai pemilik Milenium Ketiga. Perekonomian dunia akan tumbuh dengan pesat di Asia, demikian Naisbitt. Buku ini dicetak besar-besaran dengan promosi yang dahsyat. Media massa dunia yang dikuasai Yahudi berlomba-lomba memuat rilis buku ini. Naisbitt bagaikan selebritas dunia baru yang diundang ke berbagai negeri Asia untuk memaparkan ramalannya. Buku Naisbitt oleh banyak tokoh Asia diyakini kebenarannya tanpa reserve. Dada para pemimpin Asia menjadi sesak sarat kebanggaan. Megalomania berujung pada lupa daratan. “Inilah saatnya kami memimpin dunia,” demikian pikir mereka.
Masyarakat satu pun tidak ada yang berpikir bahwa Naisbitt—demikian pula Huntington dan intelektual lainnya di kemudian hari—sesungguhnya merupakan satu teamwork dari kekuatan globalis yang tertutup kabut, yang secara sistematis merencanakan The Unity of The World di bawah kekuasaan Yahudi (Novus Ordo Seclorum, seperti yang tertera di lembaran satu dollar AS). Akibat suatu kampanye terselubung yang sistematis dan sangat rapi seperti itu, yang sengaja memprovokasi para pemimpin Asia dan para pengusahanya, maka dengan begitu yakin mereka segera bersikap ekspansif, membangun negara dan perusahaannya menjadi lebih besar dari apa yang sebenarnya dibutuhkan. Lantas darimana uangnya?
Bagaikan suatu kebetulan (yang aneh), awal tahun 1990, lembaga keuangan dunia menawarkan utang dalam jumlah amat besar dengan persyaratan amat lunak. Para pemimpin dan pengusaha Asia yang sudah ‘merasa besar’ berbondong-bondong memanfaatkan tawaran yang sangat menggiurkan ini. Dengan sangat berani mereka mengambil utang dalam besaran angka yang fantastis, tanpa menyadari bahwa utang tersebut sesungguhnya berjangka pendek dan berbunga tinggi. Rasionalitas mereka telah hilang, dikubur oleh analisa seorang Naisbitt yang secara meyakinkan menulis bahwa abad 21 adalah abadnya Kebangkitan Asia.
Tepat di awal tahun 1997, menjelang peringatan satu abad Kongres Pertama Zionis Internasional yang saat itu berlangsung di Basel, Swiss, yang kemudian melahirkan Protocol of Zions (1897), konglomerat dunia berdarah Yahudi, George Soros, tiba-tiba memborong mata uang dollar AS dari seluruh pasar uang di Asia, terutama di Asia Timur dan Tenggara. Akibat disedot Soros, kawasan Asia kesulitan likuiditas dollar AS. Akibatnya, kurs dollar membubung tinggi ketingkat yang belum pernah terjadi dalam sejarah moneter dunia. Padahal, tahun 1997 ini merupakan tahun jatuh tempo pembayaran utang. Para pengusaha Asia yang telah kadung meminjam utang pada lembaga keuangan dunia harus membayar utang beserta bunganya yang tinggi saat itu juga.
Akibatnya sangat mengerikan. Seratus persen perusahaan-perusahaan pengutang di Asia Tenggara—terkecuali Singapura—dan yang paling parah di Indonesia, ambruk tanpa sempat sekarat. Jutaan karyawan di PHK. Jutaan rakyat tak berdosa jatuh ke dalam lembah kemiskinan yang tak terperikan. Harga-harga membubung teramat tinggi. Jutaan bayi tak lagi minum susu. Air susu sang ibu mengering karena tak makan, sedang susu kalengan harganya tidak terjangkau. The lost generation dipastikan akan melanda Asia Tenggara.
Kini giliran IMF dan Bank Dunia yang naik panggung. Bagai malaikat, International Monetery Fund dengan berbagai bujuk rayu menawarkan skema penyelamatan utang. Indonesia adalah pasien IMF yang paling tunduk dan setia. Di saat itulah, sesuai dengan rencana dari pertemuan di Pulau Dajjal di tahun 1987, IMF yang didirikan oleh Yahudi ini menawarkan resep “The Bail-Out Game”. Indonesia menjadi kelinci percobaan dari satu formula yang dibuat oleh komplotan Yahudi Internasional ini. Maka sejak tahun 1997 itu pemerintah memberikan jaminan penuh (garansi) kepada para nasabah bank swasta agar tidak ragu-ragu menanamkan uangnya di berbagai bank swasta. Sebab, jika bank swasta tersebut bangkrut—oleh korupsi para direksi dan komisarisnya sekali pun—maka pemerintahlah yang berkewajiban menalangi, membayari uang para nasabahnya.
Pemerintah bukannya menolong sektor riil, namun malah menolong orang-orang kaya, para konglomerat pemilik bank, dengan menggunakan uang rakyat.(bersambung/rz)