Pertengahan Februari lalu, Dradjat Wibowo geram. Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini sungguh-sungguh kecewa dengan sikap Presiden SBY yang memilih tidak hadir dalam rapat paripurna yang mengagendakan dengar pendapat dan meminta jawaban dari presiden atas interpelasi DPR-RI tentang kasus Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang istilahnya diperhalus menjadi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Buat saya, itu indikasi jika Presiden tidak serius untuk menyelesaikan kasus ini. Mungkin Presiden khawatir bahwa ‘kotak pandoranya’ akan terbuka, yang mungkin akan menimbulkan huru-hara politik. Tapi kalau kita selalu saja takut membuka ‘kotak pandora’ itu, lha terus sampai kapan kita membiarkan uang negara nggak kembali-kembali. Jangan lupa jumlahnya 702 triliun rupiah!," keluh Dradjat dihadapan para wartawan yang mengerubunginya di Senayan saat itu.
Dalam mitologi Yunani, Kotak Pandora adalah sebuah kotak yang isinya merupakan semua kejahatan-kejahatan manusia. Jika dibuka, maka terbongkarlah semua kejahatan yang pernah ada. Istilah ini sengaja dipakai Dradjat Wibowo karena kasus KLBI atau BLBI ini memang sarat dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan para politisi, elit negara, yang berkomplot dengan para pengusaha perampok yang selama ini diuntungkan oleh rezim yang berkuasa. Bisa jadi, sebab itu kasus ini sampai sepuluh tahun usia reformasi masih saja gelap pekat. Tidak ada satu pun penguasa di negeri ini, dari Habibie hingga SBY, yang berani atau punya nyali membuka dan menuntaskan kasus BLBI.
Dalam peluncuran buku ‘Skandal BI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara’ di Jakarta akhir Januari lalu, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI, Sri Edi Swasosno, menegaskan jika kasus tersebut diyakini bermuatan konspirasi global. "Skandal BLBI adalah konspirasi global untuk merampok rakyat Indonesia dan menaklukkan bangsa ini secara teritorial, hingga akhirnya berbagai sumberdaya yang ada pada bangsa ini bisa dikuras. Ini kejahatan perbankan terbesar di dunia," tandasnya seraya menyatakan jika kasus ini akan terus menyiksa rakyat Indonesia sampai dengan tahun 2030 karena pemerintah masih harus membayar bunga obligasi rekap sebanyak Rp 60 triliun per tahun, yang tentunya berasal dari uang rakyat (!).
Bagi banyak kalangan, kasus ini berawal saat kolapsnya sejumlah bank negeri ini terhantam badai krisis moneter di tahun 1997. Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) Kwik Kian Gie menyatakan, “Ketika bank-bank kolaps maka pemerintah oleh IMF dipaksa untuk memperkuat modal perbankan dengan memberikan kucuran dana melalui obligasi rekap. Bank BCA misalnya, mendapatkan obligasi rekap sebesar Rp 60 triliun untuk menyehatkannya, setelah itu oleh IMF diminta untuk dijual, dan dijual dengan harga Rp 20 triliun, bagaimana ini, itung-itungan bisnisnya saya nggak nyampe.” Sebab itu, Kwik menegaskan jika kasus BLBI harus diusut tuntas. Hanya saja pertanyaannya, adakah penguasa di negeri ini yang berani untuk melakukan hal tersebut?
Konspirasi Global
Mengurai benang kusut kasus BLBI sesungguhnya tidak bisa lepas dari peristiwa-peristiwa global yang tengah terjadi. Guna menelusuri kasus BLBI dan kaitannya dengan –meminjam istilah Prof. Edi Sri Swasono—“Konspirasi Global”, maka salah satu paparan yang sangat menarik bisa kita lihat di dalam buku Edward Griffin berjudul “The Creature from Jekyll Island” (1994).
Dalam salah satu bagian, Griffin bercerita tentang sebuah pertemuan rahasia di Jekyll Island (artinya: Pulau Dajjal), Georgia-AS, pada tahun 1987. “Pertemuan itu digelar untuk merayakan atas terpilihnya Allan Greenspan, yang ditunjuk Presiden Amerika Serikat George Bush Sr memimpin Bank Sentral AS, The Federal Reserve. Dalam acara tersebut, sejumlah bankir Yahudi ini ternyata juga membahas sebuah rencana seram berbau konspirasi bertema penghancuran ekonomi Asia Tenggara. Dalam dua dasawarsa terakhir, Asia Tenggara dianggap tumbuh menjadi suatu ancaman bagi dominasi ekonomi negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat,” demikian Griffin.
Dalam pertemuan itu digagas konsep “The Bail-Out Game” atau “Permainan menalangi”. Edward Griffin menulis: “Pertemuan rahasia itu diselenggarakan sebenarnya untuk melahirkan sebuah kartel perbankan yang berfungsi untuk melindungi anggota-anggotanya dari persaingan bisnis, dan mengubah strategi untuk meyakinkan Kongres dan masyarakat umum bahwa kartel ini adalah lembaga keuangan pemerintah AS… Permainan yang dilakukan bernama ‘bail-out’ (menalangi)… Ibarat dalam sebuah panggung sandiwara, inilah strategi untuk memaparkan bagaimana caranya agar pembayar pajaklah (baca: rakyat) yang harus menalangi bila suatu bank di kemudian hari mengalami krisis keuangan.” Pertemuan tersebut berlangsung sukses dan ‘The Bail-Out Game’ disepakati akan segera direalisasikan. Asia Tenggara akan dijadikan laboratorium pertama konsep penalangan ini, terkecuali tentu saja Singapura. Negeri pulau yang menyandang predikat sebagai ‘Basis Israel di Asia Tenggara’ ini harus diselamatkan dari uji coba ‘The Bail-Out Game’. Dan dikemudian hari hal itu terbukti. (bersambung/rz)