Walau tidak (baca: belum) dilarang pihak Kejaksaan Agung, namun buku ““Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Kasus Bank Century” sampai tulisan ini dibuat masih menghilang di pasaran. Dua jaringan toko buku terbesar di Indonesia, Gramedia dan Gunung Agung, belum mendisplay buku tersebut walau salah satunya—menurut orang dalam—sudah menerima buku tersebut namun hanya ditumpuk digudang. Masih menurut orang dalam, buku-buku tersebut hanya dijual lewat “orang-orang khusus”, secara jalur pribadi, iklannya bisa lewat email, grup jejaring sosial, atau sms.
Hilangnya buku tersebut dari toko-toko diduga kuat karena ada intervensi dari kekuasaan. Walau secara resmi pihak kejaksaan, lembaga negara yang paling berwenang dalam urusan melarang atau menarik kembali sebuah buku di negeri ini, belum mengeluarkan sikap, namun di lapangan faktanya memang sulit sekali menemukan buku tersebut.
Hal ini menimbulkan dugaan kuat jika tangan-tangan kekuasaan memang diam-diam tengah bermain dan berusaha keras untuk menghambat hak masyarakat untuk memperoleh informasi apa pun, yang sesungguhnya dijamin oleh piagam hak asasi manusia yang diratifikasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan semua negara anggotanya harus tunduk pada piagam tersebut.
Namun para penguasa di negara ini mungkin sudah pikun, atau malah masih berpikiran di era perang dingin, jika mereka menganggap akan mampu membendung dan menahan akses informasi yang tidak disukainya ke tengah masyarakat. Para orangtua yang masih saja menduduki singgasana kekuasaan negeri ini, the ancient regime, agaknya lupa (atau memang sudah pikun) jika sekarang adalah era keterbukaan di mana tak ada satu pun informasi yang bisa dibendung, ditutup-tutupi, atau ditahan seperti dulu lagi. Masyarakat sekarang sudah memiliki banyak saluran untuk memperoleh dan menyebarkan informasi, salah satunya lewat dunia maya.
Jika sumber-sumber resmi dan para penguasa di dunia nyata menghambat informasi yang diperlukan masyarakat, maka masyarakat akan menyalurkannya dan saling-berbagi di dunia maya, lewat berbagai situs berbagai, jejaring sosial, email, dan sebagainya. Para penguasa agaknya kelompok yang sulit untuk belajar dari pengalaman yang baru saja terjadi kemarin, dalam kasus buaya versus cicak, koin untuk prita, dan sebagainya, suara rakyat yang berasal dari nurani sekarang ini tidak bisa lagi dibendung dan ditutup-tutupi.
Demikian pula dengan kasus menghilangnya buku yang ditulis George Junus Aditjondro sekarang ini dari pasaran. Jika toko buku bisa ditekan penguasa, maka dunia maya tidak akan bisa ditekan dan diintimidasi oleh mereka. Jika buku “Gurita Cikeas” tidak bisa dicari di toko buku resmi, maka di internet buku itu sudah bisa diunduh dalam file pdf. Salah satu situs yang menyediakan buku tersebut dan bisa diunduh secara gratis beralamat di: http://www.ziddu.com/download/7937159/GuritaCikeas.pdf.html.
Siapa pun bisa mengunduh buku tersebut yang total file-nya tidak besar, hanya 358 kb. Hanya saja, di dalam e-book tersebut tidak disertakan diagram dan foto-foto yang ada di dalam buku “Gurita Cikeas” yang nyata. Walau demikian, file tersebut bisalah dianggap sebagai “penawar rasa haus” sebelum buku yang sungguhan didapat.
Masyarakat versus Penguasa
Menghilangnya buku “Gurita Cikeas” dari toko-toko buku disesali banyak tokoh. Komnas HAM sendiri sempat melakukan inspeksi ke sejumlah toko buku di Jakarta (29/12) untuk mendapatkan bukti jika buku “Gurita Cikeas” tersebut memang sungguh-sungguh “menghilang”. Dalam peninjauan di lapangan, Komnas HAM menemukan bukti jika buku tersebut ternyata memang sangat sulit ditemukan. Kenyataan ini mengingatkan semua orang jika gaya pemerintahan sekarang ini tidak ada bedanya dengan masa rezim represif Orde Baru di bawah Jenderal Harto.
Di penutup tahun masehi 2009 ini, buku “Gurita Cikeas”lah yang menjadi buku paling banyak dicari. The Most Wanted Book of the Year. Oleh banyak kalangan, hal itu bukan dipicu oleh isi dan bobot buku tersebut, melainkan karena sikap rezim penguasa yang amat sangat reaktif dalam menghadapi terbitnya buku yang sesungguhnya hanya menggunakan data-data sekunder khas milik Doktor George Junus Aditjondro.
Ketua DPR RI Marzuki Alie yang berasal dari Partai Demokrat tanpa risih menyatakan jika pasal pencemaran nama baik yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perlu direvisi. “Pencemaran nama baik sumir sekali, orang memfitnah, masuk ke pencemaran nama baik,” ujar Marzuki Alie di Jakarta (28/12).
Kilahnya, pasal pencemaran nama baik kurang memberikan rasa adil bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, sehingga perlu adanya revisi terhadap pasal tersebut. “Harus kita koreksilah UU, kita sempurnakan,” tambahnya.
Pasal warisan kolonial Belanda untuk membungkam dan menghukum para pejuang kemerdekaan Indonesia ini memang sudah lama diusulkan agar dihilangan sama sekali atau direvisi, karena terbukti selama berabad-abad telah menjadi alat kekuasaan untuk melanggengkan status-quo dan memberangus suara-suara yang tidak sejalan dengan dirinya. Namun sangat beda dengan kelompok yang ingin merevisi pasal ini, atau bahkan menghilangkannya, Ketua DPR Marzuki Alie tanpa malu sedikit pun malah ingin agar pasal ini diperbaiki agar ancaman hukumannya diperberat lagi.
“Mereka yang menuding tanpa dasar perlu diberikan sanksi yang leih berat, karenanya perlu dikoreksi pasal-pasal pencemaran nama baik. Kalau tidak, orang dengan seenaknya menuding,” katanya berapi-api.
Sebelumnya, Partai Demokrat (PD) juga sudah menyerukan agar buku “Membongkar Gurita Cikeas”, ditarik dari peredaran dan dijadikan sebagai buku terlarang. Selain itu, PD juga menyerukan agar George Junus Aditjondro sebagai penulis buku tersebut juga diminta untuk diseret ke muka dihukum.
Sikap senada juga dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Menteri yang tanpa malu dan risih sedikit pun telah memakai mobil dinas baru yang super mewah, Toyota Crown Royal Saloon seharga Rp.1.325 miliar ditengah-tengah penderitaan rakyat Indonesia ini dalam berbagai kesempatan mengaku tengah menelusuri kemungkinan untuk melarang buku “Gurita Cikeas” dan melakukan langkah hukum terhadap penulisnya.
Sikap yang juga sama ditunjukkan oleh Kejaksaan Agung dengan menyatakan akan melakukan penelitian lebih lanjut terkait buku kontroversial tersebut. Menurut Kejaksaan Agung, pihaknya baru akan menentukan sikap setelah melakukan penelitian tersebut, akan melarangnya atau membiarkan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri dalam berbagai kesempatan selalu terlihat menahan diri untuk tidak terlalu kentara dalam menyikapi hal ini. Hanya saja, dalam beberapa pidato di hari-hari terakhir ini, presiden selalu saja mengeluarkan kata ‘fitnah’ yang oleh masyarakat diyakini jika hal itu terkait dengan kasus kontroversi buku “Gurita Cikeas” yang memang tengah jadi sorotan.
Sikap pemerintah beserta para pungawa istana yang sangat reaktif ini justru menimbulkan kecurigaan di kalangan rakyat banyak. Rakyat memiliki logika berpikir yang sangat sederhana: “Jika buku itu memang tidak benar, tidak akurat, seharusnya pemerintah tidak perlu bersikap demikian reaktif bagai kebakaran jenggot. Jika pemerintah bersikap seperti itu, maka tentu buku tersebut memuat sejumlah data dan fakta yang sungguh-sungguh terjadi.” (bersambung/ridyasmara)