George Junus Aditjondro kembali menyulut istana. Guru Besar Sosiology Korupsi New Castle University Australia yang pernah ‘menelanjangi’ KKN antara Presiden Suharto dengan Habibie lewat buku “Dari Soeharto ke Habibie : guru kencing berdiri, murid kencing berlari : kedua puncak korupsi, kolusi, dan nepotisme rezim Orde Baru” (Pijar Indonesia, 1998), dan “Korupsi Kepresidenan Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa” (Mei, 2006) ini kembali membetot perhatian banyak orang, dari tukang becak hingga RI-1.
Bertempat di kota perjuangan Yogyakarta, George Junus Aditjondro pada Rabu (23/12) meluncurkan buku terbarunya yang berjudul “Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Kasus Bank Century”. Buku dengan cover seekor gurita dengan “Mahkota Raja Jawa” itu isinya dengan sangat berani membongkar KKN yang berada di sekeliling Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejak dari Pemilu dan Pilpres 2009 hingga kasus Bank Century.
Namun baru tiga hari diedarkan jaringan Gramedia, pada hari Sabtu (2612), buku tersebut sudah tidak ada lagi di pasaran. Bukan karena habis dibeli, tetapi diduga karena adanya desakan dari kekuasaan. Sejak itu sampai sekarang, buku tersebut menjadi bahan bola panas yang menggelinding di sisi bola panas yang lain yang bernama Kasus Bank Century, sebuah bank gagal yang mendapat suntikan dana sebesar Rp 6,7 trilyun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jauh melebihi Rp 1,3 trilyun yang disetujui DPR‐RI. Keduanya memang menggelinding dengan cepat dan mengarah ke sasaran yang sama: Penguasa republik ini.
Sejumlah tokoh nasional yang berhasil mendapatkan buku ini mengaku surprise dengan data-data dan paparan buku tersebut yang sangat gamblang, menukik, dan amat jujur jika tidak dikatakan sebagai naif. Mantan Ketua MPR Amien Rais yang mengaku telah melahap habis buku yang tebalnya tidak sampai duaratus halaman tersebut menyatakan jika buku tersebut memang banyak memuat hal yang sensitif bagi kelompok yang tengah duduk di singgasana kursi kekuasaan saat ini. Namun dirinya menolak keras jika buku tersebut harus dilarang. Pendapat serupa juga datang dari beberapa tokoh nasional di antaranya Ketua Gerakan Indonesia Bangkit Addhie M. Massardi, ekonom Rizal Ramli, dan tokoh Muhammadiyah Buya Syafii Ma’arif.
Seperti yang sudah diduga sebelumnya, sikap Istana sangat reaksioner. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lewat juru bicara kepresidenannya, Julian Aldrin Pasha di Cikeas, kemarin (26/12) menegaskan jika buku tersebut telah mengungkapkan data-data dan fakta yang tidak akurat. Buku itu, demikian Julian, telah dirilis dan dipublikasikan ke publik. “Maka yang akan diminta adalah pertanggungjawaban, sejauh mana keotentikan validitas data dan hingga metodologi yang digunakan,” ujarnya. Menkumham Patrialis Akbar sendiri telah menyatakan pihaknya tengah mempelajari kasus ini dan tidak tertutup kemungkinan akan membawa kasus ini ke penuntutan hukum.
Saya Doktor, Sby juga Doktor
George Junus Aditjondro sendiri menyatakan sangat siap bila harus menghadapi upaya hukum dari kubu istana. Namun dia mengingatkan agar sebuah karya ilmiah semestinyalah harus dijawab dan ditanggapi secara ilmiah juga, dengan mengeluarkan karya ilmiah atau buku juga, bukan lewat jalur represif seperti halnya jalur kepolisian.
“Sebuah karya ilmiah hendaknya harus dijawab dengan karya ilmiah, ngapain dengan gugatan hukum. Kalau tidak betul, tulis buku bagaimana Demokrat dan SBY bisa menang dalam Pemilu dan bagaimana penggalangan dananya,” tegas George yang mukim di Yogyakarta. “Jika merasa tudingan (saya) tidak benar, silakan tulis buku. Tapi kalau mau menggugat di pengadilan, silakan saja. Kok seperti zaman orde baru saja,” ujarnya lagi.
George juga mengungkapkan jika dirinya sangat siap berdebat dengan SBY untuk membedah data-data yang ada di buku tersebut. Namun syaratnya, bukunya harus beredar luas terlebih dulu ke tengah masyarakat sehingga masyarakat bisa membaca, mengetahui, dan menganalisa isinya. “Cara cepatnya untuk membuktikan ilmiah tidaknya buku ini, saya siap berdebat dengan SBY. Saya doktor, SBY juga doktor. Kalau melalui pengadilan, bertele-tele waktunya,” lanjutnya.
Menurut rencana, pada hari Rabu, 30 Desember 2009 pukul 12.00 wib, George akan melaunching dan membedah bukunya tersebut di Doekoen Café, Graha Permata Pancoran Blok A, Pancoran, Jakarta Selatan. Acara tersebut terbuka untuk umum, siapa pun dipersilakan hadir dalam acara tersebut, termasuk jika ada utusan Cikeas yang akan hadir.
Harry Roeslan, panitia bedah buku ‘Membongkar Gurita Cikeas’ yang juga menjadi distributor buku itu untuk Jakarta menyatakan jika acara akan diisi oleh pembicara tunggal George Junus Aditjondro. Namun jika Cikeas mau hadir dan memberikan klarifikasinya, maka hal itu dipersilakan.
Kontroversi Itu
Walau tidak tebal, namun buku “Membongkar Gurita Cikeas” banyak berisi data-data yang sangat sensitif dan tentu saja kontroversial, karena selama ini ditutup-tutupi tangan kekuasaan. Salah satunya adalah orang-orang yang berada di belakang berbagai yayasan yang melibatkan keluarga Yudhoyono dan teman-teman dekatnya.
Salah satu yayasan yang disorot buku tersebut adalah “Yayasan Mutu Manikam Nusantara” yang dibina istri SBY, Kristiani Yudhoyono. Yayasan yang dipimpin oleh isteri salah seorang menteri ini bidang keuangannya, Bendahara, ternyata dipegang oleh “Si Ratu Suap” Artalita Suryani alias “Ayin”. Yayasan ini merupakan salah satu dari enam yayasan utama yang menjadi semacam pondasi Partai Demokrat dan SBY dalam Pemilu 2009 dan Pilpres 2009.
“Bendahara yayasan itu adalah Ayin. Jadi saya bertanya, mengapa hanya Ayin dan Jaksa Urip saja yang ditahan. Tapi tidak disebutkan dana siapa yang mereka gunakan, padahal itu adalah dana obligor kakap BLBI yang terus menerus mengemplang, Sjamsul Nursalim,” tegas George seraya menyatakan jika di dalam bukunya juga disertakan sebuah foto yang memperlihatkan SBY dan Kristiani Yudhoyono hadir dalam pernikahan salah seorang anak Arthalitha Suryani alias Ayin. Foto ini sebenarnya juga sudah beredar luas di masyarakat beberapa waktu lalu. George menyatakan jika kedekatan antara mereka bisa jadi menyebabkan sampai detik ini Sjamsul Nursalim masih bisa menghirup udara bebas dan tidak dikejar-kejar polisi.
Siapa pun yang membaca buku tersebut, akan memahami dengan baik jika pola dan strategi pelanggengan kekuasaan yang dilakukan Jenderal Harto di era Orde Baru, ternyata detik ini masih terus dipakai dan dilestarikan oleh penguasa, dengan lagi-lagi mengorbankan rakyat banyak. Salah satunya, menurut buku tersebut, adalah Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurul Salam yang didirikan SBY ketika dia masih menjabat sebagai Menko Polkam di era Megawati Soekarnoputri.
“Darimana yayasan itu punya dana sampai bisa mengirim 250 ulama untuk umroh. Apalagi mengingat biaya per orang 1.000 real, belum lagi biaya untuk mengundang ribuan orang dijamu di Istana,” tutur George Junus Aditjondro.
Bola panas yang menyertai kasus Bank Century ini diyakini akan semakin liar dan panas. Dalam tulisan berikutnya kami akan kutip beberapa bagian dalam buku tersebut agar masyarakat mengetahui apa saja informasi yang ada di dalamnya. (bersambung/ridyasmara)