Pornografi and Undermind Control
Eksodus film-film tak seronok juga patut kita cermati. Kalau anda melihat film-film asing, hampir di setiap penayangannya menyisipkan dua hal: kalau tidak adegan ranjang pasti ada kecupan. Dulu kita mengenal film Basic Instinct, di Indonesia muncul Jacarta Undercover. Dulu ada film Scary Movie, di Indonesia Tukang Jamu Gendong berubah menjadi hantu cabul. Di Amerika ada film Setan berpakaian rok mini. Di Indonesia? Tidak usah saya sebut namanya, hampir berjumlah ratusan. Selain judulnya menggelikan, semakin menambah rasa malu kita sebagai umat.
Dan kita bisa lihat dari mulai adegan cium saja, kini film Indonesia ikut-ikutan mengadopsi. Sebut saja film 18+, Virgin, bahkan di film Cokelat Stroberi, laki-laki sesama laki-laki berciuman. Dalihnya trademark.
Pertanyaannya kemudian adalah kenapa pornografi yang dipilih? Karena zionis tahu betul efek pornografi memiliki tingkatan yang lebih mengkhawatirkan ketimbang narkoba. Bayangkan dampak dari pornografi bisa menimbulkan visualisasi tayangan ke dalam otak anak dalam jangka waktu sangat lama.
Otak adalah satu-satunya sistem yang kuat mengakomodir optimalisasi imaji anak yang melekat dalam jangka cukup panjang dan mendalam. Ekses dari hal ini adalah bahwa otak manusia akan berada di bawah kontrol yang mampu menghancurkan konsentrasi. Seorang pecandu pornografi minimal mesti mengikuti program rehabilitasi minimal 18 bulan.
Dalam seminar mengenai dampak pornografi terhadap kerusakan otak di Jakarta 2/3/2009, ahli bedah syaraf dari Rumah Sakit San Antonio, Amerika Serikat, Donald L. Hilton Jr, MD pernah mengatakan bahwa adiksi (kecanduan) mengakibatkan otak bagian tengah depan yang disebut Ventral Tegmental Area (VTA) secara fisik mengecil. Adiksi apa kemudian yang mengkhawatirkan? Adiksi pornografi. Pornografi, lanjut Donald Hilton, mampu menciptakan perubahan konstan pada neorotransmiter dan melemahkan fungsi kontrol.
Rupanya, ini yang membuat orang-orang yang sudah kecanduan tidak bisa lagi mengontrol perilakunya. Kondisi itu, tidak terjadi secara cepat dalam waktu singkat namun melalui beberapa tahap yakni kecanduan dengan ditandai dengan tindakan sederetan tingkah impulsif, ekskalasi kecanduan, desensitisasi dan akhirnya penurunan perilaku.
Apakah pornografi yang dimaksud hanya berlaku pada film full porno? Sayangnya tidak! Gambaran, adegan, kisah dalam film-film bioskop Indonesia yang menampilkan atris-artis berpakaian mini, komedi seksi, juga turut mempengaruhi fungsi mendalam dari otak manusia.
Menurut Kepala Pusat Inteligensia Departemen Kesehatan, dr Jofizal Jannis, menyatakan bahwa sistem otak bersifat adaptif dan fleksibel. Inilah kecanggihan otak. Ia mampu menerima info positif dan negatif yang pada akhirnya menjadi manifestasi pada pembentukan perilaku dan karakteristik seseorang.
Kondisi inilah yang memang merupakan salah satu taktik zionis. Mereka ingin bahwa remaja Indonesia secara pemikiran sudah dibawah kontrol. Undermind control itulah yang menemukan caranya melalui pornografi. Film berubah menjadi sebuah tayangan kepada transfer ideologi. Dari sobekan tikek menjadi inflitrasi. Pornografi bukan sekedar hiburan, pornografi adalah nilai.
Makanya itu tak heran kita melihat bagaimana LSM-LSM asing sangat bergelora jika sudah bicara memberi dukungan terhadap invasi film porno dengan dalih Hak Asasi Manusia dan kebebasan berekspresi.
Film Porno Berbaju Hak Perempuan
Berkaca daripada itu, minimal ada dua film bergenre mesum-ideologis yang menwarnai hingar bingar dalam pentas perfilman Indonesia modern. Pertama sebuah film berjudul “Mereka Bilang Saya Monyet”. Film ini, film posmo. Berangkat dari Novel karangan Djenar Maesa Ayu, aktris kondang yang tak lain kerap menelurkan kisah beraroma feminisme dan seronok. Novel ini ingin mendebat arti moralitas sesungguhnya.
Karenanya, alih-alih ingin mengangkat hak perempuan, film ini justru banyak menampilkan adegan tidak senonoh. Sekalipun demikian, entah alasan apa yang membuat Lembaga Sensor Film justru meloloskan film ini, bahkan film yang dirilis desember 2007 tersebut menerima tujuh nominasi sekaligus pada ajang Festival Film Indonesia 2008. Empat diantaranya berhasil memenangkan berbagai kategori yang ditawarkan, termasuk Aktris Terbaik untuk Titi Sjuman.
Selain itu, film dengan bungkus feminisme namun bermaterikan pornografi juga diangkat lewat Film “Perempuan Punya Cerita”. Sebenarnya film yang diproduksi Kalyana Shira ini merupakan kumpulan 4 film pendek tentang perempuan Indonesia dari segala umur dan kehidupan. Tentunya, dengan mengambil angle sebuah kisah penindasan perempuan, film ini menggiurkan bagi aktifis feminis untuk mengangkat hak-hak perempuan.
Film berjudul Cerita dari Jogjakarta, misalnya. Alih-alih memberikan pelajaran bagi remaja, film ini justru mempertontonkan seorang siswi diperebutkan dan dihamili oleh empat remaja sekaligus. Dan menariknya untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab, nasib sang perempuan dipertaruhkan hanya lewat sebuah undian. Naudzubillah.
Kalau sudah begini, logikanya ia hanya menampilkan fakta sekaligus menampilkan blunder. Dalam Islam, fakta porno, tidak boleh ditampilkan, apalagi mau dijadikan keteladanan.
Kiprah Zionis Dalam Memberi Dukungan
Pendanaan film-film seksualitas sebenarnya tidak dilakukan oleh bangsa sendiri. Minimal ada back up dari dana asing untuk menyuburkan film-film tersebut. Kasus ini terjadi pada pegelaran Q! Film Festival, sebuah tragedi bernama festival film homo yang pertama kali terjadi di Negara mayoritas muslim ini. Terakhir, acara ini dilaksanakan pada tanggal 24 september 2010.
Bahkan, jika anda masuk ke website Q Film Festival http://www.q-munity.org, anda akan langsung terkejut karena festival ini rupanya sudah berlangsung sembilan tahun di Jakarta. Sampai-sampai menurut salah satu harian, Festival ini menjadi bagian dari bianglala kehidupan urban Jakarta sekaligus sebagai aset penting agenda kesenian yang seharusnya menjadi kebanggaan Ibu Kota.
Acara Q! Film Festival pada tahun 2010 yang terlaksana di Goethe Institut Jakarta, sempat dikecam oleh Front Pembela Islam (FPI). FPI mengatakan bahwa penyelenggaraan festival ini meresahkan masyarakat yang notabene mayoritas muslim. FPI kemudian melayangkan gugatan dan hendak membubarkan pergelaran mesum tersebut jika tidak dihentikan.
Namun rupanya, meski mendapat protes keras dan ancaman pembubaran, panitia acara festival film Q tetap tak bergeming. Mereka bersikeras melanjutkan kegiatan sesuai jadwal kendati kecaman datang dari berbagai pihak. Bahkan, Komnas Perempuan melalui rilisnya menyatakan bahwa tudingan FPI justru salah alamat.
“Acara ini tidak ada hubungannya dengan moralitas. Demi kepentingan kehidupan bernegara yang menjujung tinggi hukum, HAM, dan Demokrasi, Komnas Perempuan menghimbau agar setiap pihak membuka ruang dialog yang santun dan beradab” ungkap mereka.
Uniknya, dukungan terhadap acara tersebut tidak saja menjadi monopoli Komnas Perempuan. Tercatat sederetan lembaga pembela hak-hak atas nama perempuan dan kebebasan berekspresi bersuara lantang ikut melontarkan pernyataan sikap. Mereka menekankan kalau Q! Film Festival merupakan festival seni yang menyajikan informasi dan karya seni tentang fenomena keberagaman manusia.
Jadi tidak ada hubungannya dengan moralitas. Kesamaan visi dan tujuan itulah yang mengantarkan mereka merapatkan barisan membela Festival Film thoghut itu dalam wadah bernama Q-Community. Dari sekian Lembaga-lembaga itu tercatat nama-nama seperti Goethe-Institut, Centre Culturel Francais, Erasmus Huis, Dewan Kesenian Jakarta (Kineforum), Subtitles, KONTRAS, Arus Pelangi, Gaya Nusantara, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Jurnal Perempuan, Kartini Asia Network, Perempuan Mahardika, Institut Ungu, Ardhanary Institute, Institut Pelangi Perempuan, GWL–INA, Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS), Ratna Sarumpaet Crisis Center, Human Rights of New York dan Berlin Film Festival.
Dari sini kita bisa melihat sederetan lembaga asing dalam mendukung pelaksanaan Q! Film Festival. Kiprah institusi tersebut menjadi motor penggerak acara berskala internasional ini, baik dalam bidang pendanaan, promosi, sampai pembelaan. Sutradara Festival, John Badalu, sendiri mengakui kalau pendanaan festival film ini berasal dari kelompok-kelompok asing.
”Pendanaan festival film ini berasal dari kelompok-kelompok asing. Kami memutar film di pusat-pusat asing. Kelompok radikal tidak akan berani menyerang kita. Jika mereka melakukannya, ini sama saja menyerang negara asing,” ujarnya.
Peran LSM-LSM atau Yayasan Internasional untuk menggalang karya-karya Film anak bangsa memang bukan barang baru. Film Perempuan Berkalung Sorban yang dirilis Januari 2009 adalah satu kasus tertentu. Film yang hadir lewat garapan sutradara Hanung Bramantyo ini bahkan sudah didanai oleh Ford Foundation sejak masih berwujud novel.
Ford Foundation memang terkenal gencar merekrut anak-anak muda kreatif Indonesia. Para sineas muda yang ingin mengangkat film-film seputar seksualitas, keseteraan gender, kearifan lokal, dan lain sebagainya akan diberikan suntikan dana segar dalam proses pembuatannya.
Namun, kendati tetap berkilah mereka mengaku sebagai organisasi Nirlaba, namun Ford Foundation memliki aset yang cukup menggiurkan. Menurut Wikipedia, cadangan devisa lembaga yang berpusat di New York ini mencapai US$ 13.7 dan US$ 530 juta diantaranya dalam bentuk hibah. Dari sinilah kemudian mereka menyebarkan misinya melalui proyek film-film sarat ideologis kufar ke berbagai negara.
Selain membiayai Film PBS, Perempuan Punya Cerita, Lembaga mantel zionis ini juga membiayai film pembelaan terhadap hak waria berjudul Working Girls (Perempuan Pencari Nafkah). Dalam salah satu segmen dalam film ini berjudul Ulfie Pulang Kampung. Bercerita tentang perjalanan seorang waria dalam dua kehidupan, kisah ini ingin membawa penonton melihat waria dan pengidap AIDS dari perspektif berbeda. Karena itu tak heran, bukan mengajak sang waria untuk bertaubat, film arahan Daud Sumolang dan Nitta Nazyra C. Noer ini malah mempopulerkan penggunaan kondom agar para waria terhindar dari penyakit AIDS.
Ford Foundation sebenarnya tidak bekerja sendiri di Indonesia, dalam mengkampanyekan isu feminisme, kesetaraan gender, hingga homoseksualitas. Tercatat organisasi yang kini dipimpin bekerjasama dengan Human Rights Watch New York.
Human Rights Watch of New York sendiri adalah salah satu lembaga humanisme sekular yang berpusat di New York. Salah satu rekam jejaknya erlihat saat mereka demikian gigih dalam membela pergelaran Q! Film Festival di Indonesia, termasuk juga ketika membela Ahmadiyah baru-baru ini.
Tantangan Bagi Umat Muslim
Dengan gejala ini, umat muslim harus waspada. Konspirasi kaum zionis dalam dunia perfilman mesti disikapi dengan bagaimana setiap umat membentengi keluarga dengan akidah dan tauhid yang lurus. Terbukti film memakai label Islam pun tidak juga bertujuan untuk syiar dakwah.
Tentu ini bukan berarti kita tidak boleh berkreasi. Islam menghargai kreativitas manusia, namun kita juga jangan pernah lupa bahwa ada kaedah-kaedah syar’i yang harus menjadi dasar tiap manusia menelurkan gagasannya. Terlebih saat ini sistem Dajjal sedang berdiri membangun kekuatannya melalui invasi perfilman dunia.
Semoga kita selalu diberikan penerangan oleh Allah untuk bisa mengendus misi mereka, walau mereka berdalih: “ini film Islam kok, kebebasan berekspresi kok, demi toleransi umat beragama kok”.
Ya Allah lindungilah keluarga kami dari fitnah akhir zaman. Dimana sesuatu yang baik dikatakan buruk, dan keburukan dilapisi dengan dalih kebenaran. Ya Rabb hanya kepadaMu lah kami bergantung. Hanya kepadaMu lah kami memohon ampun dan pertolongan. Wallahua’lam bishshawab. (habis). (pz)