Eramuslim.com – Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport yang diterbitkan majalah Probe edisi Maret-April 1996, Lisa Pease menulis bahwa akhirnya pada awal November 1965, satu bulan setelah tragedi terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Soekarno (yang dikenal juga sebagai 7 dewan Jenderal yang dibunuh PKI), Forbes Wilson mendapat telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan, “Apakah Freeport sudah siap untuk mengekplorasi gunung emas di Irian Barat?”
Forbes Wilson jelas kaget. Dengan jawaban dan sikap tegas Sukarno yang juga sudah tersebar di dalam dunia para elite-elite dan kartel-kartel pertambangan dan minyak dunia, Wilson tidak percaya mendengar pertanyaan itu.
Dia berpikir Freeport masih akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa. Ketika itu Soekarno masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport?
Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia.
Oleh karenanya, usaha Freeport untuk masuk ke Indonesia akan semakin mudah. Beberapa elit Indonesia yang dimaksud pada era itu diantaranya adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan pada saat itu Ibnu Soetowo .
Namun pada saat penandatanganan kontrak dengan Freeport, juga dilakukan oleh menteri Pertambangan Indonesia selanjutnya yaitu Ir. Slamet Bratanata.
Selain itu juga ada seorang bisnisman sekaligus “makelar” untuk perusahaan-perusahaan asing yaitu Julius Tahija.
Julius Tahija berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport.
Dalam bisnis ia menjadi pelopor dalam keterlibatan pengusaha lokal dalam perusahaan multinasional lainnya, antara lain terlibat dalam PT Faroka, PT Procter & Gambler (Inggris), PT Filma, PT Samudera Indonesia, Bank Niaga, termasuk Freeport Indonesia.
Sedangkan Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat, karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka.
Sebagai bukti adalah dilakukannya pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967 yaitu UU no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didektekan oleh Rockefeller seorang Bilderberger dan disahkan tahun 1967.
Bukan saja menjadi lembek, bahkan sejak detik itu, akhirnya Indonesia menjadi negara yang sangat tergantung terhadap Amerika, hingga kini, dan mungkin untuk selamanya.
Bahkan beberapa bulan sebelumnya yaitu pada 28 Februari 1967 secara resmi pabrik BATA yang terletak di Ibukota Indonesia (Kalibata) juga diserahkan kembali oleh Pemerintah Indonesia kepada pemiliknya. Penandatanganan perjanjian pengembalian pabrik Bata dilakukan pada bulan sesudahnya, yaitu tanggal 3 Maret 1967.
Padahal pada masa sebelumnya sejak tahun 1965 pabrik Bata ini telah dikuasai pemerintah. Jadi untuk apa dilakukan pengembalian kembali? Dibayar berapa hak untuk mendapatkan atau memiliki pabrik Bata itu kembali? Kemana uang itu? Jika saja ini terjadi pada masa sekarang, pasti sudah heboh akibat pemberitaan tentang hal ini.
Namun ini baru langkah-langkah awal dan masih merupakan sesuatu yang kecil dari sepak terjang Suharto yang masih akan menguasai Indonesia untuk puluhan tahun mendatang yang kini diusulkan oleh segelintir orang agar ia mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional. Penandatangan penyerahan kembali pabrik Bata dilakukan oleh Drs. Barli Halim, pihak Indonesia dan Mr. Bata ESG Bach.
Masih ditahun yang sama 1967, perjanjian pertama antara Indonesia dan Freeport untuk mengeksploitasi tambang di Irian Jaya juga dilakukan, tepatnya pada tanggal 7 April perjanjian itu ditandatangani.
Akhirnya, perusahaan Freeport Sulphur of Delaware, AS pada Jumat 7 April 1967 menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Freeport diperkirakan menginvestasikan 75 hingga 100 juta dolar AS.
Penandatanganan bertempat di Departemen Pertambangan, dengan Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills (Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport Indonesia), anak perusahan yang dibuat untuk kepentingan ini.
Penandatanganan kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat tersebut disaksikan pula oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green.
Freeport mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan. Pada Desember 1972 pengapalan 10.000 ton tembaga pertama kali dilakukan dengan tujuan Jepang.
Dari penandatanganan kontrak inilah yang kemudian menjadi dasar penyusunan Undang-Undang Pertambangan No. 11 Tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967.
Inilah kali pertama kontrak pertambangan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah merugikan Indonesia.
Setelah itu juga ikut ditandatangani kontrak eksplorasi nikel di pulau Irian Barat dan di area Waigee Sentani oleh PT Pacific Nickel Indonesia dan Kementerian Pertambangan Republik Indonesia.
Perjanjian dilakukan oleh E. OF Veelen (Koninklijke Hoogovens), Soemantri Brodjonegoro (yaitu Menteri Pertambangan RI selanjutnya yang menggantikan Ir. Slamet Bratanata) dan RD Ryan (U.S. Steel).
Pacific Nickel Indonesia adalah perusahaan yang didirikan oleh Dutch Koninklijke Hoogovens, Wm. H. MÜLLER, US Steel, Lawsont Mining dan Sherritt Gordon Mines Ltd.
Namun menurut penulis, perjanjian-perjanjian pertambangan di Indonesia banyak keganjilan.
Contohnya seperti tiga perjanjian diatas saja dulu dari puluhan atau mungkin ratusan perjanjian dibidang pertambangan. Terlihat dari ketiga perjanjian diatas sangat meragukan kebenarannya.
Pertama, perjanjian pengembalian pabrik Bata, mengapa dikembalikan? apakah rakyat Indonesia tak bisa membuat seperangkat sendal atau sepatu? sangat jelas ada konspirasi busuk yang telah dimainkan disini.
Kedua, perjanjian penambangan tembaga oleh Freeport, apakah mereka benar-benar menambang tembaga?
Saya sangat yakin mereka menambang emas, namun diperjanjiannya tertulis menambang tembaga.
Tapi karena pada masa itu tak ada media, bagaimana jika semua ahli geologi Indonesia dan para pejabat yang terkait di dalamnya diberi setumpuk uang? Walau tak selalu, tapi didalam pertambangan tembaga kadang memang ada unsur emasnya.
Perjanjian ketiga adalah perjanjian penambangan nikel oleh Pasific Nickel, untuk kedua kalinya, apakah mereka benar-benar menambang nikel?
Saya sangat yakin mereka menambang perak, namun diperjanjiannya tertulis menambang nikel.
Begitulah seterusnya, semua perjanjian-perjanjian pengeksplotasian tambang-tambang di bumi Indonesia dilakukan secara tak wajar, tak adil dan terus-menerus serta perjanjian-perjanjian tersebut akan berlaku selama puluhan bahkan ratusan tahun ke depan.
Kekayaan alam Indonesia pun digadaikan, kekayaan Indonesia pun terjual, dirampok, dibawa kabur ke negara-negara pro-zionis, itupun tanpa menyejahterakan rakyat Indonesia selama puluhan tahun lamanya.
“Saya melihat seperti balas budi Indonesia ke Amerika Serikat karena telah membantu menghancurkan komunis, yang konon bantuannya itu dengan senjata,” tutur pengamat sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Asvi Marwan Adam.
Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport mengandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun.
Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A.Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar didunia.
Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar dollar AS dan masih akan menguntungkan untuk 45 tahun ke depan.
Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia!!
Istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya EMASPURA. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau juga mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru menggalinya dengan sangat mudah.
Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Tambang Grasberg (Grasberg Mine) atau Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru dimana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika.
Ini sungguh-sungguh perampokan besar yang direstui oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang!!
Seharusnya patut dipertanyakan, mengapa kota itu bernama Tembagapura?
Apakah pada awalnya pihak Indonesia sudah “dibohongi” tentang isi perjanjian penambangan dan hanya ditemukan untuk mengeksploitasi tembaga saja?
Jika iya, perjanjian penambangan harus direvisi ulang karena mengingat perjanjian pertambangan biasanya berlaku untuk puluhan tahun kedepan!
Menurut kesaksian seorang reporter CNN yang diizinkan meliput areal tambang emas Freeport dari udara, dengan helikopter ia meliput gunung emas tersebut yang ditahun 1990-an sudah berubah menjadi lembah yang dalam.
Semua emas, perak, dan tembaga yang ada digunung tersebut telah dibawa kabur ke Amerika, meninggalkan limbah beracun yang mencemari sungai-sungai dan tanah-tanah orang Papua hingga ratusan tahun ke depan.
Dan menurut penelitian Greenpeace, Operasi Freeport McMoran di Papua telah membuang lebih dari 200.000 ton tailing perharinya ke sungai Otomina dan Aikwa, yang kemudian mengalir ke Laut Arafura.
Dan hingga 2006 lalu saja diperkirakan sudah membuang hingga tiga miliar ton tailingyang sebagian besar berakhir di lautan.
Sedimentasi laut dari limbah pertambangan hanyalah satu dari berbagai ancaman yang merusak masa depan lautan kita.
Freeport juga merupakan ladang uang haram bagi para pejabat negeri ini di era Suharto, dari sipil hingga militer.
Sejak 1967 sampai sekarang, tambang emas terbesar di dunia itu menjadi tambang pribadi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya.
Freeport McMoran sendiri telah menganggarkan dana untuk itu yang walau jumlahnya sangat besar bagi kita, namun bagi mereka terbilang kecil karena jumlah laba dari tambang itu memang sangat dahsyat.
Jika Indonesia mau mandiri, sektor inilah yang harus dibereskan terlebih dahulu. Itu pula yang menjadi salah satu sebab, siapapun yang akan menjadi presiden Indonesia kedepannya, tak akan pernah mampu untuk mengubah perjanjian ini dan keadaan ini.
Karena, jika presiden Indonesia siapapun dia, mulai berani mengutak-atik tambang-tambang para elite dunia, maka mereka akan menggunakan seluruh kekuatan politik dengan media dan militernya yang sangat kuatnya di dunia, dengan cara menggoyang kekuasaan presiden Indonesia.
Kerusuhan, adu domba, agen rahasia, mata-mata, akan disebar diseluruh pelosok negeri agar rakyat Indonesia merasa tak aman, tak puas, lalu akan meruntuhkan kepemimpinan presidennya siapapun dia.
Inilah salah satu “warisan” orde baru, new order, new world order di era kepemimpinan rezim dan diktator Suharto selama lebih dari tiga dekade.
Suharto, presiden Indonesia selama 32 tahun yang selalu tersenyum dengan julukannya “the smilling General”, presiden satu-satunya di dunia yang sudi melantik dirinya sendiri menjadi Jenderal bintang lima.
Namun masih banyak yang ingin menjadikannya pahlawan nasional, karena telah sukses menjual kekayaan alam dari dasar laut hingga puncak gunung, dari Sabang hingga Merauke, yaitu negeri tercinta ini, Indonesia yang besar, Indonesia Raya. Dan ini bukan lagi kosnspirasi teori, tapi semua ini adalah konspirasi fakta.
Indonesia, negeri yang seharusnya memiliki masyarakat yang makmur sebagai Mercu Suar Dunia, negeri yang seharusnya mumpuni dan berguna untuk membantu puluhan negara-negara miskin yang rakyatnya masih banyak dihantui kelaparan berkepanjangan di banyak belahan dunia, akibat penguasa selama 32 tahun itu, kini justru jadi bangsa pengemis. (ts/indocropcircles.wordpress.com/TAMAT)