Eramuslim.com – George Junus Aditjondro menggunakan metafora “gurita” dalam buku Gurita Cikeas (2010) untuk mengambarkan sistem dan praktik oligarki keluarga Cikeas dalam mambangun dinasti bisnis dan kekuasaan politiknya. Satu tahun kemudian Jeffrey Winters menjabarkan secara teoritik berdasarkan kasus di berbagai negara dalam sebuah buku yg diberi judul Oligarki (Oligarchy: 2011).
Oligarki sendiri mengacu pada istilah yang digunakan filsuf Yunani, Plato, dalam karyanya Republic. Istilah oligarki digunakan untuk menggambarkan suatu sistem politik yang dikuasai oleh segelintir orang yang punya uang (pengusaha). Berbeda dengan monarki (sistem yang dikuasai oleh satu orang) dan demokrasi (sistem yang dikuasai oleh mayaoritas orang).
Bagi George Junus, penggunaan istilah oligarki tidak cukup mudah dipahami oleh masyarakat umum. Hanya segelintir akademisi yang mengerti secara generik istilah tersebut. Karena itu, George menggunakan matafora “gurita” yang cukup melekat dalam ingatan seluruh rakyat Indonesia.
Gurita mempunyai delapan lengan yang dapat digerakan secara simultan ke seluruh penjuru untuk mengambil barang yang dikehendakinya. Gurita Mempunyai tubuh yang terdiri dari otot tanpa tulang, yang memungkinkan tubuhnya sangat fleksibel untuk menyelipkan diri secara licik pada celah bebatuan yang sangat sempit di dasar laut. Gurita jika dikejar akan menyemprotkan tinta hitamnya yang membuat air jadi keruh.
Praktik pemerintahan di era Joko-Kalla masih tak jauh berbeda atau kelanjutan dari era pemerintahan SBY, namun dengan komplotan atau aktor yg berbeda.
Praktik oligarki atau gurita di era Pemerintahan Joko-Kalla jauh lebih vulgar, yang dijalankan oleh sebuah komplotan saudagar yang duduk di dalam struktur pemerintahan yang bekerjasama dengan Taipan yang berada di luar pemerintahan. Mereka melemahkan fungsi kontrol parlemen dan institusi penegakan hukum.
Istilah “komplotan” yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengandung arti “persekutuan secara rahasia yang bermaksud melakukan kejahatan”.
Istilah komplotan digunakan karena pemerintahan Joko-Kalla secara politik tak ditopang oleh sebuah sistem negara yang kuat, juga tak didukung oleh organisasi kepemimpinan yang rapi. Tak ada juga konsep dan keinginan untuk menata ulang negara.
Akibatnya yang memegang kendali kekuasan adalah para komplotan saudagar atau taipan yang memanfaatkan lemahnya institusi negara untuk tujuan membangun dinasti bisnisnya menjadi kian menggurita.
Sejak awal berkuasa, Pemerintahan Joko-Kalla terlihat ditopang oleh berbagai komplotan saudagar yang duduk di dalam pemerintahan yang bekerjasama dengan taipan di luar struktur pemerintahan. Sesungguhnya mereka tak bekerja untuk kepentingan rakyat dan bangsa. Mereka bekerja untuk kepentingan bisnis dan perusahaannya.
Mereka para komplotan saudagar yang duduk di pemerintahan adalah pembuat aturan main (regulator), mereka juga yang bertindak merencanakan progaram dan budget, mereka sendiri yang pergi ke berbagai negara mengatasnamakan pemerintah RI untuk mencari pendanaan proyek (operator), lalu perusahaan mereka juga yang mengerjakan proyek tersebut sebagai pemenang tender (kontraktor).
Sebagai contoh, proyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. Projek tersebut diduga dirancang dan ditentukan budgetnya oleh saudagar Jusuf Kalla yang seorang Wapres. JK juga yang keliling ke berbagai negara atas nama pemerintah RI untuk mencari pendanaan proyek tersebut. Lalu konon katanya perusahaan keluarga Pak JK juga yang memenangkan tender untuk mengerjakan projek listrik 35.000 MW.
Jadi seorang Wapres bertindak sebagai regulator, merangkap sebagai operator, merangkap juga sebagai seorang kontraktor yang mengerjakan proyek-proyek pemerintah.
Oleh: Haris Rusly (Petisi 28).