Di kota Hama jalan-jalan sepi. Puing-puing berserakan. Gedung-gedung dan bangunan serta rumah berlubang menganga, akibat tembakan senjata berat pasukan al-Assad. Bangunan lima lantai di pinggir-pinggir jalan, di sepanjang jalan utama, hitam legam, terbakar.
Penduduk menghadapi kondisi darurat. Pasukan militer berada di setiap sudut jalan. Rakyat memblokir jalan-jalan, agar tank baja, tak dapat melewatinya. Tetapi, pasukan tank baja Bashar al-Assad, tak peduli semua itu. Mereka terus memasuki kota Hama, dan memuntahkan peluru dari moncong-moncong senjata, dan membawa kematian.
Pada radius sepanjang 40 km persegi, terutama sepanjang jalan utama, semuanya porak-poranda. Hanya kehancuran. Kota yang sangat indah itu, kini hanya tinggal menjadi puing-puing belaka. Tak nampak adanya kehidupan. Semuanya dihancurkan oleh Bashar al-Assad. Seonggok mobil pemadam kebakaran yang ikut hancur. Kebakaran di mana-mana. Tetapi, tak menghentikan gerak pasukan al-Assad, dan terus membumi hanguskan kota Hama, yang menjadi pusat gerakan perlawanan.
Sebagian besar tentara yang menyerbu kota ini, mereka merasa bangga dapat menghancurkan “pemberontak” atau “teroris”, menurut al-Assad, yang berlangsung selama hampir dua minggu, lalu mundur ke pinggiran kota pada 9 Agustus. Sebagian besar wartawan asing dilarang memasuki Suriah, khususnya kota Hama.
Konvoi puluhan tank, truk pengangkut personil, keluar dari kota Hama, dan di sepanjang jalan raya utama menuju Homs, yang berjarak 40 km, diikuti oleh truk yang sudah rusak, dan penuh pasukan mengibarkan bendera Suriah, dengan senjata di tangan mereka melewati mobil-mobil penduduk sipil.
Namun, tidak semua pasukan Assad meninggalkan Hama, masih ada unit militer di kota itu yang akan terus mengawasi situasi di Assi Square, tempat aksi protes besar-besaran yang menentang rezim Assad selama berminggu-minggu. Ini adalah wilayah yang menjadi tempat gerakan warga sipil yang menentang pemerintah.
Ada juga kelompok tank di lokasi beberapa tempat strategis di Hama, termasuk di depan dua rumah sakit utama kota itu, Al-Hourani dan Al-Bader, yang penduduk mengatakan telah dikosongkan dari pasien. Rumah sakti dikontrol oleh militer dengan sangat ketat, tak bisa orang masuk ke rumah sakit itu. Semuanya pasien yang masuk rumah sakit itu, menjadi urusan militer. Semua yang ingin berkunjung ke rumah sakit diperiksa ID cardnya.
Kebiadaban pasukan al-Assad sudah melampui batas. Mereka yang sudah tergolek di rumah sakitpun dibunuh. Para demonstran yang terluka, dan dirawat di rumah sakit, bukannya mendapatkan pertolongan, tetapi justru dibunuh oleh pasukan al-Assad dengan beberapa tembakan.
Em Mahmoud, mantan perawat yang sudah bekerja di rumah sakit itu, selama 22 tahun dan yang bekerja di sebuah rumah sakit swasta 30 tahun, melihat demonstran yang terluka di tempat tidur, lebih dari 40 orang, mengatakan bahwa demonstran yang terluka dan cidera, dibawa oleh tentara, kemudian ditembak kepala dan dadanya, kemudian tewas. “Tentara datang ke rumah sakit untuk mencari demonstran terluka,” katanya. “Kami menyembunyikan tiga orang demonstran, dan kami telah pindahkan mereka di usung dan di kursi roda menuju pintu belakang. Dan dari sana kami membawa mereka ke tempat yang aman.”
Warga tidak mampu mengambil mayat-mayat yang berserak di jalanan, karena ada sniper diatas gedung-gedung, yang menargetkan orang-orang di rumah mereka, dan terus mengawasi rumah-rumah yang ada, tanpa pandang bulu.
Kekejaman yang tanpa batas terus berlangsung, seperti penangkapan, penahanan, penjarahan dan bahkan pemerkosaan. Ada mobil di jalan-jalan yang telah disingkirkan, beberapa dengan lubang peluru yang menembus kaca jendela di sisi pengemudi, yang mengarah ke kepala pengemudi.
Tidak jelas berapa banyak orang tewas, meskipun berbicara tentang ratusan warga mati. Dalam beberapa hari kekerasan di Hama. Tak ada data yang akurat berapa orang yang tewas di tangan tentara? Karena, semuanya ditutup, dan diblokir oleh tentara. Banyak korban yang hilang, dan keluarga yang kehilangan sanak-familinya, dan tidak ada kejelasan, di mana mereka. Sampai berhari-hari, dan berminggu.
Tapi mungkin lebih menyakitkan daripada kehancuran fisik, penduduk mengatakan, adalah penghinaan. Pasukan Assad menuliskan grafiti di seluruh jalan-jalan utama, banyak yang dianggap menghujat, dan sangat menyinggung perasaan penduduk kota ini yang mayoritas Sunni. “Tidak ada Tuhan selain Bashar” ditulis di dinding dengan cat hitam di Souk al-Farwatiye. Tulisan itu sangat mencolok, karena di tulis diatas batu putih besar yang ada di seberang jalan, yang tidak jauh dari markas Partai Baath di kota Hama. “Bashar adalah Tuhan Maha Agung”. “Maher adalah Muhamad”. Tulisan grafiti di buat oleh adik Bashar al-Assad, yaitu Maher Assad, komandan Divisi ke-4 pasukan lapis baja. Sengaja menghina umat Islam di kota itu, yang mayoritas Sunni. Dialah yang bertanggung jawab banyaknya pertumpahan darah selama lima bulan terakhir.
Grafiti tentang Bashar Assad yang disetarakan dengan Allah dan saudaranya, Maher yang disetarakan dengan Nabi Muhammad. “Tuhan menginginkan Bashar,” dan “Singa Assad lewat sini” dan “Kami memilih tiga: Tuhan, Bashar dan Maher,” itulah bunyi tulisan grafiti. Padahal, rezim yang berkuasa di Suriah adalah penganut Alawiyyin, Syiah. Ada pula grafiti yang ditunjukkan kepada kelompok anti-rezim seperti, “Jika anda kembali, kami kembali.”
Hama kota yang dikepung selama hampir satu bulan sampai 31 Juli, menjelang bulan suci Ramadan, ketika militer menyerbu kota, yang kemudian menjadikan kota menjadi puing-puing. Penduduk mengatakan hari itu adalah yang paling berdarah.
“Mereka melakukan operasi militer terhadap penduduk di kota itu, terus menerus dari pukul 5 pagi sampai jam 10 pagi setiap hari. Kemudian dari sore sampai malam, tanpa henti,” kata seorang pria muda yang menggunaka kaos singlet putih yang menolak untuk memberikan namanya.
Dia meminta saya untuk menunggu sebelum kembali setelah beberapa menit dengan kantong plastik penuh selongsong peluru kosong dan yang berukuran 15-14,5 kaliber anti-pesawat, yang senjata seperti itu tidak digunakan pada warga sipil.
Orang-orang Hama mengubur mayat mereka di tempat umum, tidak dapat mencapai kuburan kota karena tembakan senjata berat. Meskipun, serangan militer yang besar terhadap penduduk sipil, tidak ada renca tentang balas dendam atau marah terhadap para prajurit tentara. Dalam puluhan percakapan dengan Hamwis, sebagai warga menyebut diri mereka, selama beberapa hari terakhir, semua mengatakan hal yang sama: para prajurit dipaksa untuk mengikuti perintah, dan pasukan itu menghindari kematian. “Mereka semua anak-anak kita,” kata seorang pria, 55, yang memberikan namanya sebagai Abu Ali.
Kemarahan di kota ini diarahkan kepada pasukan keamanan dan intelijen serta pasukan khusus yag menggunakan seragam hitam, dan bersenjata yang dikenal sebagai shabiha, yang melakukan pemeriksaan di pos-pos yang akan dilewati pendudk di seluruh kota. “Kami tidak bersengketa dengan tentara. Ini dengan rezim,” kata Abu Abdo, 30 tahun yang rumahnya telah dihancurkan. “Mereka diberitahu bahwa penduduk Hama adalah gerombolan bersenjata. Kami ingin rezim ini jatuh..”
Abu Ali, 25, hidungnya patah dan berdarah. Pada 5 Agustus, ia pulang dengan ibunya ketika shabiha dan pasukan keamanan menendang pintu. “Saya tidak punya waktu untuk mendengar apa-apa, ketika mereka berbicara,” katanya. “Ada sekitar lima dari mereka. Mereka berjalan masuk dan mulai memukulku..” Dia bilang dia tidak tahu alasan penyerangan atau berapa lama berlangsung. Seorang pria pendek berbulu, ia mengangkat T-shirt abu-abu, mengungkapkan dua luka diagonal masih baru di perut bagian kanan, sebelum berbalik, dan mengungkapkan tujuh luka bakar melingkar di punggungnya, yang dibuat oleh rokok, katanya. “Mereka mengambil uang kita, TV kita dan emas ibu saya. Semoga Allah melaknat mereka,” katanya getir.
Listrik dan saluran telepon sekarang bekerja normal kembali. Meskipun saluran telpon dan aliran listrik dipadamkan selama lima hari pertama pengepungan. Makanan sangat sedikit, tetapi masyarakat tidak kehabisan, berkat upaya dari kota-kota terdekat yang diselundupkan oleh keluarga-keluarga yang dekat, dan persediaan yang ada cepat didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan.
Hama kota yang sangat bersejarah dalam kehidupan kaum Sunni di Suriah. Kota ini telah memendam sejarah panjang perjuangan melawan rezim Syiah (Alawiyyin) yang sangat kejam dan biadab.
Peristiwa berdarah tahun 1982 – ketika ayah Presiden Hafez Assad, ayah Bashar al-Assad, menghancurkan Hama dari darat dan udara, yang tujuan untuk memadamkan pemberontakan Islam di kota ini. Hampir setiap keluarga di kota yang berpenduduk sekitar 800.000, semuanya kehilangan kerabat selama periode yang berlumuran darah.
Hafez Assad menyalahkan serangan terhadap saudaranya Rifaat, seorang komandan militer, dan Hama terus menjadi musuh rezim yang berkuasa, sampai kematian Hafez di tahun 2000.
Orang-orang Hama mengatakan, sekarang mereka tidak akan membiarkan Bashar untuk pergi meninggalkan kekuasaannya dengan begitu saja. Apa yang dilakukan terhadap kota Hama, merupakan tindakan kejam dari adik Bashar, yaitu Maher, seorang komandan militer yang bertanggung jawab, atas semua kehancuran kota ini. “Pada hari Jumat ini kita akan melakukan protes kembali di kota masing-masing, karena kita tidak dapat mencapai Assi,” kata penduduk. “Kami akan terus memprotes. “Sampai Assad pergi”, ujar mereka. (mas/tm)