Eramuslim.com – Inilah catatan perjalanan dakwah Habib Munzir Al-Musawwa bersama Majelis Rasulullah SAW ke Tanah Papua, Kamis, 9 oktober 2008.
Dini hari sebelum subuh saya terkaget dari tidur, ternyata suara gemuruh hujan deras yang seakan akan menghancurkan atap dari dahsyatnya, saya kembali tidur beberapa saat dan kemudian bangun untuk Qiyamullail, lalu termenung sambil berdzikir dan doa, sungguh perjalanan yang sangat melelahkan, namun haru dan gembira,
Ternyata mereka yang tidak tidur malam itu untuk memasang umbul umbul Majelis Rasulullah saw dan spanduk serta baliho Majelis Rasulullah, mereka mengatakan malam itu hanya hujan gerimis, tak ada hujan deras.., lalu hujan deras apa yang membuat saya bangun dari tidur semalam..?, Wallahu A’lam
Pk 8.30 WIT (6.30 wib), riuh suara arak arakan masyarakat untuk menyambut kedatangan kami sudah semakin ramai, sekaligus acara halal bihalal, tabuhan hadroh yang khas papua sangat mengharukan, ratusan muslimin sudah memenuhi halaman parkir hotel dan mereka berdiri memegang spanduk dan baliho menyambut kedatangan saya, subhanallah… subhanallah.., kami keluar menyambut mereka, maka riuh sambutan mereka dan saya berpelukan dengan para tokoh masyarakat setempat, mereka menangis haru, sebagian orang orang tua menjerit dalam tangis.. Ada apakah gerangan..?
Sambil berjalan dengan iring iringan hadroh dan arak arakan kegembiraan mereka menuju Masjid salah seorang tokoh masyarakat menjelaskan sambil memegang tangan saya, ia berkata Lirih : “Kami sedari dulu hanya dengar saja dari datuk datuk kami tentang habib, kami tak pernah jumpa dengan para habib, kami hanya dengar saja dari orang orang tua kami, dan pagi ini kami bisa berjumpa dengan yang dinamakan habib, dan inilah pertama kali seorang habib mengunjungi Bintuni setelah ratusan tahun tak pernah ada kunjungan ke wilayah ini”. Kali ini saya yg menangis haru.., subhanallah.. oleh sebab itulah mereka menangis..,
Arak arakan yang semakin riuh ketika semakin dekat pada masjid, dan para jamaah hadroh adalah orang orang sepuh, acara di mulai dengan sambutan sambutan, berdirilah salah seorang tokoh dan menyampaikan sekilas sambutan, lalu berdiri tokoh lainnya, dan dari penyampaian mereka bahwa dijelaskan bahwa Islam masuk Papua sebelum Kristen, dan Islam sudah ada di Bintuni pada abad ke 16 Masehi, kemudian hilang dan tak tercatatkan sejarah, lalu tercatatkan pula di Bintuni pada abad ke 18 Masehi, dan ada beberapa wilayah yang diberi nama dengan nama dari bahasa arab, yaitu wilayah yang dipakai untuk jalan menuju Bintuni dinamakan wilayah Babo, mereka berkata bahwa yang dimaksud adalah Baabussalam, yaitu Pintu keselamatan, karena pendatang di masa lalu mesti melalui wilayah itu untuk masuk ke Bintuni.
Kemudian maulid Dhiya’ullami dilantunkan, bersama Jamaah Hadroh dari putra putra Ransiki Papua, kemudian saya menyampaikan Tausyiah dan diakhiri doa. Kami dijamu makan siang oleh para tokoh, lalu saya berkata pada mereka : “saya minta dipilihkan makanan untuk saya oleh tokoh tokoh, karena saya ingin makan makanan yang dipilihkan oleh tokoh tokoh, agar saya mendapat keberkahan dari tangan bapak bapak yang mulia, maka disendokkan pada saya “Papeda” yaitu bubur sagu yang dihidangkan dengan semacam sop Ikan, masya Allah..
Setelah acara jamuan maka kami kembali ke hotel, dan saya duduk bercengkerama dengan beberapa tokoh islam, dan mereka menyampaikan beberapa cerita tentang perjuangan islam, diantaranya bagaimana muslimin dihimpit oleh kalangan Nasrani, mereka menyebut suatu kejadian beberapa tahun yang silam, bahwa disebuah wilayah antara Sorong dan Papua terdapat sebuah suku dipinggir pantai, kebanyakan di wilayah itu muslimin, namun mereka tak ada lagi yang mengajarkan Islam hingga turun temurun, mereka muslim tapi tak tahu agama Islam, mereka sudah tidak kenal syahadat, mereka hanya mengenal satu ajaran adat, yaitu tak boleh makan babi, padahal babi adalah santapan yang masyhur di Irian, mereka menganggap itu hukum adat, padahal itu hukum islam, dan kepala suku mempunyai satu barang yang dikeramatkan, ia adalah sebuah kotak yang menyimpan pusaka turun temurun yang dipegang oleh kepala suku dari generasi ke generasi, mereka tak tahu benda apa itu,
Ketika mulai banyak para nelayan muslimin yang kunjung, mereka minta sebidang tanah pada kepala suku untuk musholla, maka kepala suku mengizinkan, lalu mereka kunjung kerumah kepala suku, dalam sambutan hangat itu kepala suku menunjukkan pusaka yang disimpan ratusan tahun dan diwariskan dari datuk datuknya, ketika kotak itu dibuka, maka para nelayan pun kaget dan bertakbir, ternyata isinya adalah Alqur’an yang sudah sangat tua.., Subhanallah.., mereka ternyata sejak berabad abad sudah muslimin, namun karena mungkin tak ada para dai dai pengganti, maka ajaran Islam pun hilang dan tak lagi dikenali, tinggallah pusaka yang diwasiati turun temurun itu yang ada pada mereka, ternyata ia adalah Kitabullah, Alqur’anulkarim.
Maka kepala suku ini pun kembali memeluk Islam, tak lama kabar sampai kepada Koramil dan kecamatan yang camat dan Danramil adalah Nasrani, mereka memanggil kepala suku itu dan mendampratnya habis habisan karena telah memberi sebidang tanah untuk muslimin membangun musholla, dan kepala suku dipaksa untuk mengusir mereka dan kepala suku tetap pada pendiriannya, maka kepala suku itu ditelanjangi hingga hanya celana dalamnya yg disisakan, lalu ia disiksa dan dicambuki dengan kulit ikan pari, Ikan pari terkenal dengan kulitnya yang penuh duri tajam yang beracun…, kepala suku tetap tidak mau merubah keputusannya.., ia tetap ingin mempertahankan pusaka Alqur’an dan tak mau mencabut izin untuk pembangunan musholla.. Subhanallah.. Dengan kejadian penjelasan tentang Alqur’an itu maka 80 kepala keluarga di Suku itu kembali pada Islam.
Juga Di antara keluh kesah tokoh agama tersebut, mereka berkata : “dimana da’I da’I muslimin dari Jakarta?, dimana para hartawan dari Jakarta?, mereka hanya mau teriak teriak di televisi, dan sebagian dari kami tak ada listrik, jikapun wilayah yang sudah ada listrik belum tentu punya televisi, lalu darimana kami akan mengenal dan belajar islam?, kami hanya dengar dari teman teman yang punya televisi, bahwa para hartawan di Jakarta selalu mengirimkan dana uang banyak ke Palestina, Bosnia, Afghanistan, bagaimana mereka memberi bantuan kesana dan melupakan kami, kami muslimin yang sebangsa dengan mereka, kami masyarakat Papua menerima republik Indonesia karena kami tahu Republik Indonesia adalah Muslimin, namun setelah kami jadi saudara mereka kami dikucilkan dan ditinggalkan.., mereka jauh jauh mengirim uang banyak ke luar negeri dan kami disini susah dan tak mampu membangun musholla pun..” Masya Allah…
Pk 13.30 WIT kami menuju pulang, diantar tangis airmata para tokoh muslimin, setelah berpelukan, mobil melaju dan kami melihat dari kejauhan mereka masih berdiri termangu mengantar kepergian kami, selamat Tinggal Kota Bintuni…, kami sempat mampir ke rumah salah seorang ustaz di perkampungan Transmigran, yaitu di SP 5 (SP = satuan pemukiman), lalu kami meneruskan perjalanan pulang..
{mosimage}Akibat hujan deras semalam, maka medan jalur pulang lebih buruk dari saat kemarin, Land Cruiser yang saya tumpangi sempat terperosok dan terjebak Lumpur dan tak bisa keluar dari Lumpur, kami beristirahat dan makan siang di pinggir jalan tempat mobil kami terjebak, setelah makan siang, maka mobil Land cruiser yang juga bersama kami pun menarik mobil itu keluar dari cengkeraman Lumpur, usaha yang cukup sulit itu pun akhirnya berhasil, setelah Lumpur itu di pacul terlebih dahulu untuk memudahkan mobil keluar dari jebakan Lumpur tersebut, seakan akan Bintuni tak mau kami meninggalkannya dan berusaha menahan mobil kami..
Kami berhenti sesaat di wilayah Mamai, menurunkan seorang anak santri bimbingan KH Ahmad Baihaqi, ayahnya masih nasrani, dan sudah mulai tertarik masuk islam, dan ia mengizinkan anaknya belajar di Jakarta dibawah bimbingan KH Ahmad Baihaqi, saya berdoa untuk ayahnya dan berfoto bersama, lalu kami pamit dan Meneruskan perjalanan,
Kami singgah di wilayah Kiwi, yaitu musholla yang dijaga oleh muslimin yang kami mampiri kemarin, kami berpamitan, ternyata musholla itu dibangun oleh seorang pengusaha wanita dari Jakarta, Ibu Tuti, demikian mereka menyebutnya, Ibu Tuti berkediaman di Tebet Jakarta selatan, dan ia sedang di wilayah ini dalam usahanya, semoga Allah melimpahkan kepadanya keberkahan dan kesuksesan, karena telah mendirikan musholla, yang menjadi satu satunya musholla di radius puluhan kilometer wilayah sekitar.
{mosimage}Kami meneruskan perjalanan menuju Ransiki.., Ditengah perjalanan itu saya sekilas tertidur dan bermimpi, saya melihat seorang habib, ia pemuda tampan seusia dengan saya, ia dengan pakaian putih, ia berkata pada saya : “saya dahulu berdakwah di wilayah ini dan saya dikejar kejar dan akhirnya saya dibunuh disini..”. saya terbangun dan melihat kearah kiri tempat perjumpaan kami dalam mimpi.., ternyata hanya semak belukar dan rimba yang gelap.. airmata saya mengalir lagi sambil melafadzkan fatihah untuknya.. ia membawa dakwah Nabi saw ditengah tengah pedalaman seperti ini, lalu wafat sebagai syahid dan kuburnya tak dikenali orang didalam rimba belantara Irian barat..
Kami tiba di Ransiki untuk makan malam dan berpamitan dengan para orang tua santri, saya diperlihatkan Alqur’an yang disobek sobek oleh Nasrani di wilayah Ransiki, saya tak tahan, saya menciumi Alqur’an itu dan menangis sekeras kerasnya, merekapun turut menjerit dan menangis, saya terlintas untuk marah dan menginstruksikan balas, namun akhirnya saya tenang, dan berdoa agar Allah hujankan hidayah bagi semua yang menyembah selain Allah, agar Allah hujani hidayah dan memenuhi papua dengan muslimin dan agar Allah jadikan penduduk Papua sebagai Ahlussujud.., dan agar Allah jadikan Papua bukan Manokwari kota Injil, tapi sebagai wilayah sayyidina Muhammad saw..
{mosimage}Ketika kami sudah dimobil, mereka melepas kepergian kami dengan adzan, lalu selesai adzan mobil meluncur pelahan dan puluhan muslimin menjerit tangis pilu melepas kepergian kami di gelapnya malam.., suara jerit tangis mereka benar benar menyayat hati.., mereka sangat cinta pada saya dan sayapun demikian, saat saya turun dari mobil anak anak pemuda papua berebutan menaruh kaki saya ditelapak tangan mereka, karena Mobil Land cruiser itu sangat tinggi hingga saya agak kepayahan saat turun dari mobil, mereka berebutan menaruh kaki saya ditelapak tangan mereka, saya menghalau mereka namun mereka tidak perduli menjadikan tangan tangan mereka sebagai injakan kaki saya sebelum ke bumi.., wahai Rabbiy alangkah suci hati mereka, mereka muallaf, mereka baru memeluk islam, betapa mereka mencintai karung dosa ini, bahkan mereka selalu berusaha menciumi saya, pundak, tangan punggung, dada, jika mereka ada kesempatan dekat mereka terus menciumi saya ditubuh sekenanya, saya menjadi akrab pula dengan mereka, saya bercanda dengan mereka, berfoto dalam berangkulan dengan mereka, dan mereka semakin gembira,
{mosimage}Ketika mobil meluncur meninggalkan Ransiki dan para pemuda setempat, maka tubuh saya terus meriang, ditengah hentakan dan guncangan mobil yang terus melewati medan berat, saya terus dihantui perasaan yang beraneka ragam, sedih, haru, semangat juang, tangis, dan terus terbayang diwajah saya betapa sulitnya para da’I terdahulu di wilayah ini, wilayah yang terjauh di Indonesia, terbayang kepala suku yang baru masuk islam, ia dilucuti pakaiannya, disiksa dan dicambuk dengan Kulit ikan pari yang berduri karena membela Alqur’an.., ia tetap bertahan dan menahan sakit, padahal ia baru saja memeluk islam, terbayang seorang habib muda yang dikejar kejar lalu dibantai dan dibunuh ditengah rimba sebagaimana mimpi saya…, terbayang wilayah wilayah muslimin yang ingin belajar shalat namun tak ada yang mengajarinya, mereka hanya bisa shalat jika berjamaah dan belum bisa shalat sendiri, maka jika imam itu (pemuda belasan tahun) sakit maka tidak ada shalat di kampung itu.., anak muda itu muallaf dan baru saja belajar shalat.., ia sudah berjuang di wilayahnya mengajarkan shalat..
Terbayang pula keluhan mereka tentang tidak adanya pengajaran islam untuk mereka, mereka hanya bisa lihat islam di TV dan sebagian besar wilayah perkampungan tidak punya tv, bahkan listrik hanya ada hingga jam 12 malam, lalu padam.. dan mereka mengeluh : “Lalu bagaimana kami belajar islam..?”, terbayang wajah para santri dari Ransiki Papua yang selalu hadir di Majelis Malam selasa di Masjid Almunawar Pancoran Jakarta, mereka baru belajar dasar agama saja, namun mereka sudah menjadi dai dai di wilayahnya dan wilayah sekitar, mengislamkan keluarganya, mengajak kakaknya masuk islam, mengajak ibunya masuk islam, subhanallah.. betapa mulianya mereka..
Bayangan bayangan itu benar benar mengiris hati saya.. terlintas dihati untuk meninggalkan Jakarta dan berdakwah di Papua, biarlah saya mati dibunuh dalam dakwah dan terkubur tanpa dikenali orang dimana kubur saya, duh.. betapa habib muda yang syahid itu dimanjakan dan dicintai Allah..
duh.. betapa mulianya anak anak muda cilik itu yang menjadi kesayangan Rasul saw kelak karena baktinya pada Nabi Muhammad saw, mereka mengajarkan shalat, mereka mengajar ngaji, menyebar maulid dhiya ullami, mereka mengibarkan bendera Majelis Rasulullah saw, memasang umbul umbul Majelis Rasulullah saw di wilayah wilayah mereka.., subhanallah.. Saya terus menangis dan tubuh ini meriang, setiba di Manokwari kami langsung beristirahat di kediaman Bpk Hj Shohib, dan bermalam..
{mosimage}Jumat 10 Oktober 2008, Pelukan terakhir perpisahan dengan KH Ahmad Baihaqi dan beberapa penduduk Ransiki sangat mengharukan.. berat sekali saya ingin melepas pelukan KH Ahmad Baihaqi, dia akan terus berjuang lagi, sebagaimana saya datang ia sangat erat memeluk saya, dan firasat saya bahwa ia sudah melewati masa masa berat, dan ternyata benar, dan kini ia harus kembali berjuang sendiri, kami harus meninggalkannya, saya sangat tidak tega dan berat meninggalkannya, saya terus memeluknya dan saya tak bisa menahan tangis, dan iapun menangis keras.., saya mulai merasa goncangan dahsyat dihati, saya harus melepas pelukan ini dan pergi, hati saya benar benar pilu dan pandangan mulai pudar, saya risau jika saya teruskan maka saya akan jatuh pingsan, maka saya melepas pelukannya dan berbalik.. berjalan ke pesawat dan tak berani membalikkan tubuh untuk memandangnya lagi.. saya tidak kuat melihat pemuda mulia itu tegak sendiri memandang kepergian kami.. ia akan terus berjuang sendiri hingga 23 oktober 2008 mendatang, ia akan kembali ke Jakarta bersama santri santri Ransiki..
Saya duduk di kursi pesawat…, saya tulis akhir dari laporan ini, selamat tinggal Bintuni, selamat Tinggal Ransiki, selamat tinggal Musholla siwi, selamat tinggal para pejuang dakwah, selamat tinggal para muallaf yang terus berjuang ditengah panasnya cuaca hutan tropis… selamat tinggal Manokwari, wahai Manokwari.. kau digelari kota Injil… betapa mencekik gelarmu..,
Rabbiy hujani Papua dengan Hujan Hidayah, bangkitkan kemuliaan muslimin, menegakkan kedamaian dan keimanan di wilayah mereka, tumbuhkan generasi muda mudi yang mencintai Rasulullah saw, cabut keinginan mereka untuk menyembah selain My Rabbiy… hujani mereka dengan keberkahan dan kemakmuran, singkirkan tangan tangan kuffar yang terus meracuni akidah mereka..
Saya membatalkan keinginan untuk tinggal di Papua, karena jika saya wafat disana maka perkembangan ini akan terhambat pula, biarlah saya di Jakarta, namun kami akan menyiapkan santri santri dan muda mudi yang akan menjadi laskar Muhammad saw di wilayah mereka, kini pun sebagian dari mereka telah berpencar ke wilayah wilayah sekitar mereka, memimpin shalat, mengajarkan Iman, mengajak kepada Islam, dan kita akan terus menyatukan barisan dan memperkuatnya hingga Manokwari bukan lagi bernama Manokwari kota Injil, tapi Irian Barat wilayah Sayyidina Muhammad Shollalloohu ‘Alayhi wa Sallam.. amiin..
Pesawat kami mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno Hatta Jakarta pada Jumat Petang pk 20.00 wib.(rz/dari majelisrasulullah.org)