Ia patut menjadi orang yang dilayani. Posturnya tinggi besar, berkulit putih bersih dan bermata biru. Wajahnya sangat tampan dan pantas menjadi ‘tuan’ dengan banyak pelayan. Jalal, demikian ia biasa disebut. Di RS, ia ditugaskan memasak untuk kami. Sering kami kurang percaya diri untuk mendapat pelayanan dari sosok seperti itu. Senyumnya selalu mengembang dan selalu ingin melayani kami. Ia seperti tak ingin ada cacat dalam melayani tamu. Baru usai membuat teh ia menawarkan menu lainnya. Kami segera diusir jika ketahuan mencuci gelas atau piring. “kholli..kholli…” hardiknya. Di malam hari, kami selalu dibuatkan halawah.
“Jadi sudah berapa lama kamu tidak jumpa anak dan istri?” tanyaku di sebuah pagi sambil ngopi. “empat bulan” jawabnya. Ia memiliki istri dan tiga anak yang kini dititipkan bapak ibunya di Latakia. Rumahnya dengan keluarga besar Basyar Assad hanya sejarak pandangan mata. Ia bisa mengenali nama-nama sepupu Basyar. Keluarga mereka tidak mengungsi sebab tak ada jalan untuk pergi. “Jadi apa yang membuatmu sampai sini?” tanyaku. “Saya ingin berjihad menjatuhkan tiran Nusairiy..” jawabnya. Dari interaksi saya ketahui ia adalah mantan pengusaha. Bapaknya juga menjadi tokoh terpandang yang cukup kaya. Meski demikian, bahasa komunikasinya menunjukkan ia orang yang pas-pasan dalam memahami agama. “Tapi kenapa kamu ada di Rumah Sakit dan tidak memanggul senjata ke perbatasan..?” tanyaku kurang sopan. Ia menjelaskan bahwa sebelumnya ia dijanjikan oleh beberapa katibah sepucuk senjata untuk turut berjihad. Tapi sudah empat bulan hanya janji dan janji. Dia pernah bersama dua katibah tapi ternyata tak dapat jatah senjata. “Al-intidhar mafie quweisy… (pekerjaan menunggu itu tidak enak) ” ujarnya dalam bahasa ammiyah. “Kalau ada yang memberi senjata apa yang akan kamu lakukan?” kejarku. “Saya akan segera pergi ke medan untuk berjihad.” jawabnya.
Banyak obrolan menarik dari coffe morning itu. Anaknya yang paling kecil baru berumur 3,5 tahun. Sebut namanya Ahmad. Suatu ketika anaknya yang paling kecil mengambil pisau cukur. Jalal terkejut dan bertanya, “Untuk apa?” si kecil itu menjawab, “Saya akan menyembelih Basyar Asad” jawabnya. Jalal mengira bahwa itu sikap sporadis anaknya, tapi keesokan harinya anaknya melakukan hal yang sama. “Jadi anak-anak disini dari mulai kecil sudah mengenal siapa Basyar..” simpulnya. Jalal menjelaskan panjang lebar kenapa hal demikian bisa terjadi. “Itu sebab rezim Asad zhalim sejak dulu..” katanya. Orang-orang Nusairiy itu dulu banyak di pegunungan dan pantai. Mereka tinggal di kawasan sepanjang Latakia, Thorthous, Jablah, Banyas dan Kurdahah. Dahulu mereka berada di pinggiran, sampai kemudian keluarga Asad memindahkan mereka ke kota-kota. Modusnya, keluarga Asad memborong tanah dan menjual ke kelompok Nusairiy dan sebagaian merampas tanah orang-orang sunni, tidak ada hukum buat Nusairi karena memang hukum milik mereka.
Jalal yang sejak kecil bertetangga dengan sepupu-sepupu Basyar sering disuguhi kezhaliman. Keponakan Hafidz Asad yang baru berusia belasan tahun, 12 tahun, sudah memamerkan arogansinya membawa jeep dan hummer tanpa surat izin lisensi. Saat terjadi insiden menabrak warga misalnya, mereka kebal hukum. Komunitas Nusairiy tidak jarang menculik wanita muslimah dan memperkosa. Tapi sekali lagi, hukum tidak berlaku untuk Nusairiy. Mereka kelompok yang memiliki kelas tersendiri di Latakia. Kata Jalal, mereka dipersenjatai.
Penghinaan terhadap simbol Islam itu perkara biasa bagi Nusairiy. Kata Jalal, orang sunni yang enam puluh lima persen di Latakia banyak berada di kawasan ‘bawah’. Suatu ketika orang-orang Sunni itu memekikkan takbir yang sampai di kawasan atas (Nusairiy). Selang beberapa waktu, orang sunni ada yang punya keperluan ke atas. Di pos penjagaan yang diisi orang Syabihah, mereka bertanya, “Kenapa anjing-anjing dibawah menggonggong..?” Jadi, takbir diseruapakan dengan gonggongan anjing. Ada cerita lucu tapi menarik yang diceritakan Jalal. Suatu ketika di Latakia, ada rombongan anak-anak TK sunni menaiki bis. Saat melewati pos penjagaan, seorang komandan naik memeriksa anak-anak itu. Para pengasuh itu memprotes komandan jaga dan mengatakan anak-anak ini tidak mengerti apa-apa. Namun tiba-tiba komandan itu berteriak, “Takbiiir…!”. Spontan anak-anak di dalam bis memekikkan takbir “Allaaahu Akbar…” Sang komandan berkata ke para pengasuh “enta mafie ma’luum..? (kamu tidak mengerti dan masih tetap mengatakan mereka tak paham apa-apa?)” tanya komandan penuh kemenangan. Komandan Nusairiy itu menggunakan indikator “takbir” untuk menilai apakah orang itu berbaya atau tidak. “Terus diapakan akhirnya anak-anak kecil itu..” Tanyaku penasaran. “Dibiarkan berjalan melanjutkan perjalanan..” ujar Jalal.
“Kenapa selama ini kalian diam terhadap keahaliman itu..?” tanyaku. “Sebab rezim ini sangat otoriter. Kamu mungkin pernah mendengar bagaimana kekejaman Hafidz Asad di kota Hama tahun delapan puhan? empat puluhan ribu orang dibunuh waktu itu. Total muslim yang dibunuh saat itu saat itu ada 100 -an ribu. Di Kota kami yang adalah kota kelahiran Basyar, setiap 150 orang ada satu intel. tembok-tembok seperti bisa berbicara. Kita hidup dalam kekhawatiran dan ketakutan. Alhamdulillah, sekarang ada revolusi. Semoga ini akhir bagi rezim ini.” uraianya.
Jalal juga menceritakan operasi intelejen dalam revolusi ini. Di Latakia, banyak pemuda semangat berjihad menurunkan Basyar tapi mereka tak memiliki senjata. Para pemuda itu diberi informasi adanya supply senjata oleh orang tertentu yang seakan pembela rakyat. Saat mereka mengambil senjata, mereka ditangkap karena namanya sudah terdaftar. Ada juga modus pemberian chipdi senjata hingga bisa dilacak. Pengalaman inilah yang membuat Jalal dan kawan-kawannya tidak mau mengambil resiko. Ia bersama kawan-kawannya pergi keluar Latakia untuk berjihad. Sebagian berjalanan kaki selama 12 jam tanpa perbekalan yang berarti. Orang seperti Jalal, banyak jumlahnya. Tiga hari lalu, kawan mainnya sejak kecil, gugur di bukit ini.
Jabal Akrod, Abu Zahra, Tim Kelima Relawan HASI untuk Suriah