Sauytbay mengatakan, polisi mendatangi rumahnya pada malam hari, menutup kepalanya dengan kain hiyal dan membawanya ke sebuah tempat yang terlihat seperti penjara.
“Saya diinterogasi polisi, yang ingin tahu dimana suami dan anak-anak, dan kenapa mereka pergi ke Kazakhstan. Di akhir interogasi saya diminta menyuruh suami saya pulang, dan saya dilarang memberi tahu tentang interogasi itu,” ujarnya.
Sauytbay juga mendengar kasus serupa, orang-orang yang kembali ke China ditangkap dan dikirim ke kamp. Dia memutuskan kontak dengan suami dan anak-anaknya setelah dibebaskan. Tetapi pihak berwenang tidak menyerah. Dia berulang kali ditangkap dan dituduh melakukan berbagai pelanggaran.
Saat dibawa ke kamp, dia diminta mengajar bahasa Mandarin dan menandatangani sebuah dokumen tentang tugasnya dan aturan di dalam kamp. Jika tak menjalankan tugasnya, maka dia terancam hukuman mati. Dokumen itu juga menyebutkan dia dilarang berbicara dengan tahanan lain, dilarang tertawa, menangis dan menjawab pertanyaan dari siapapun.
“Saya tanda tangan karena tak punya pilihan, dan kemudian saya menerima seragam dan dibawa ke kamar sempit dengan tempat tidur dari semen dan sebuah tikar tipis. Ada lima kamera di plafon – satu di setiap pojok dan satunya di bagian tengah,” jelasnya.
Tahanan lain yang tak dibebani tugas tertentu jauh lebih menderita. Dalam satu ruangan berukuran 16 meter persegi, dihuni 20 orang dan ada kamera di setiap ruangan dan koridor. Setiap ruangan disediakan satu ember plastik sebagai toilet. Setiap tahanan hanya diberikan dua menit untuk menggunakan toilet setiap hari, dan ember itu dikosongkan hanya sekali dalam sehari. Jika penuh, maka harus menunggu sampai hari berikutnya. Tangan dan kaki mereka diborgol setiap hari kecuali saat sedang menulis. Bahkan saat tidur mereka diborgol, mereka hanya diperbolehkan tidur menghadap kanan, jika berubah, maka akan dihukum.
Sauytbay harus mengajarkan para tahanan, yang kebanyakan penutur bahasa Uyghur dan Kazakh, berbahasa Mandarin dan lagu propaganda Partai Komunis. Ada juga jam-jam tertentu untuk belajar lagu propaganda dan mengucapkan slogan dari poster-poster bertuliskan: “Saya cinta China,” “Terima Kasih Partai Komunis,” “Saya China,” dan “Saya Cinta Xi Jinping.” Pada sore dan malam hari adalah jadwal pengakuan perbuatan jahat dan pelanggaran moral. Hal yang dianggap dosa seperti melakukan praktik keagamaan, tidak mengerti bahasa dan budaya China, dan kelakuan tak bermoral.
Sauytbay mempekirakan ada sekitar 2.500 tahanan di kamp tersebut. Tahanan tertua seorang perempuan berusia 84 tahun dan termuda adalah anak laki-laki 13 tahun.
Daging Babi Tiap Jumat
Saat ditanya di mana lokasi kamp tersebut, Sauytbay mengaku tak tahu. Pasalnya selama di sana, dia tak diizinkan melihat halaman sekali pun. Dia menduga itu adalah bangunan baru.
Sauytbay juga menceritakan mereka diberi makan tiga kali sehari. Makanannya seperti sup nasi cair atau sup sayuran dan sepotong kecil roti. Tiap Jumat mereka disediakan daging, tapi daging babi.
“Para tahanan dipaksa untuk memakannya, bahkan walaupun mereka taat beragama dan tidak makan daging babi. Penolakan membawa hukuman. Makanannya buruk, tidak ada cukup waktu untuk tidur dan kebersihannya mengerikan. Hasil dari semua itu adalah para tahanan berubah menjadi tubuh tanpa jiwa,” tuturnya.