Diantaranya soal kerugian negara triliunan rupiah dari kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero) serta kasus mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPK) Wahyu Setiawan. “Isu selalu dipakai untuk mentupi isu lain, ini sudah lumrah dan kita sudah maklum. Terkadang untuk mengalihkan dan membuat isu baru, ada operasi dan narasi ikut campur intelijen,” kata Pangi kepada Indopolitika.com di Jakarta, Senin (20/1/2020).
Oleh karena itu, wajar kita menyaksikan setiap isu yang bising di gelanggang ruang publik seperti panas tahi ayam, panas di awal, kemudian menguap entah kemana,” tambahnya.Jadi tidak heran, lanjut Pangi, banyak kasus besar yang nasibnya akan berujung ketidakjelasan. Dimana, aktor intelektual selalu tidak dapat dibongkar. Pada konteks munculnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo dan Sunda Empire di Bandung, Profesor Salim Said benar-benar senada dengan Presiden ke-32 Amerika Serikat (AS), Franklin Delano Roosevelt yang menyebutkan bahwa “di dalam politik tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan.
Jika itu terjadi, kita dapat bertaruh bahwa hal tersebut telah direncanakan”. Atas berbagai fenomena tersebut, Salim Said menegaskan mestilah terdapat kepentingan yang bersembunyi di belakang viralnya fenomena tersebut, baik itu kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik. Sementara itu di acara ILC, sejarawan Ridwan Saidi juga menyimpulkan hal yang sama bahwa terdapat hidden system yang merancang viralnya Keraton Agung Sejagat maupun Sunda Empire dan yang lainnya.
Menurutnya, viralnya fenomena ini ditujukan untuk memecah fokus masyarakat terhadap isu yang tengah menyedot perhatian publik, seperti kasus Natuna, Asabri maupun Jiwasraya.Tentu pertanyaannya, benarkah viralnya Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire ditujukan untuk memecahkan fokus masyarakat ataupun memiliki kepentingan politik tertentu di belakangnya?
Melihat berbagai keganjilan yang ada, simpulan Salim Said dan Ridwan Saidi terkait adanya kepentingan tertentu maupun adanya usaha untuk memecah perhatian masyarakat nampaknya memiliki alasan yang cukup kuat. Pertama, Keraton Agung Sejagat ataupun Sunda Empire sudah sejak bertahun-tahun yang lalu didirikan. Video pidato Sunda Empire yang viral di sosial media beberapa waktu yang lalu juga diambil pada 2018.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa keduanya baru viral saat ini atau mungkin tepatnya diviralkan? Kecurigaan diviralkannya fenomena ini diperkuat dengan pengakuan Kepala Bidang Ideologi dan Wawasan Kebangsaan (Kesbangpol) Bandung, Sony yang menyebutkan Sunda Empire sebenarnya telah dibubarkan oleh Kodam III/Siliwangi pada 2018 lalu.
Tidak hanya itu, ternyata terdapat pertalian yang erat antara Keraton Agung Sejagat dengan Sunda Empire karena Toto Santosa yang merupakan Raja Keraton Agung Sejagat pernah menjadi anggota Sunda Empire sebelum memutuskan membentuk kerajaannya sendiri. Kedua, pada Desember 2019, pihak kepolisian menemukan terdapat uang senilai Rp 1,4 miliar masuk ke rekening Toto yang tidak jelas sumbernya dari mana.
Pasalnya, tidak mungkin uang sebesar itu dikirimkan pihak tertentu secara “iseng”, dan bagaimana caranya nomor rekening Toto diketahui? Bukankah tidak mungkin pihak sembarang mampu mengetahui nomor rekening seseorang? Keanehan ini sangat relevan dengan kecurigaan Ridwan Saidi bahwa viralnya fenomena ini besar kemungkinan telah disiapkan beberapa bulan sebelumnya, atau hanya menunggu waktu yang tepat untuk dimunculkan ke publik.
Budi Gunawan (BG) selaku Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) juga telah menuturkan bahwa Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire sebenarnya telah lama dideteksi. Anehnya, jika telah lama dideteksi, mengapa tidak sedari dulu ditindak? Ketiga, seperti yang disebutkan sebelumnya, viralnya fenomena ini begitu bertepatan dengan berbagai isu negatif yang tengah mendera pemerintah.