Konteks masalah tersebut dapat kita jawab dengan konsep psikologi yang ditemukan oleh psikolog, Carl Hovland yang bernama sleeper effect atau efek tertidur. Efek tertidur yang dimaksud di sini terkait dengan mereka yang mempercayai suatu propaganda atau konspirasi terjadi karena adanya kecenderungan psikologis manusia untuk mengabaikan atau cepat melupakan fakta – atau manusia cenderung tertidur melihat fakta.
Efek tersebut tercipta tidak lain karena keterbatasan dari memori manusia itu sendiri yang cenderung lebih cepat memudarkan atau melupakan sumber informasi daripada informasi atau argumentasi yang diterima. Dengan kata lain, ini sebenarnya menjelaskan bahwa kognisi manusia sebenarnya lebih tertarik pada suatu informasi ketimbang sumber informasi itu sendiri.
Efek tertidur terhadap fakta ini dengan jelas terlihat dari keterangan Toto sang Raja Keraton Agung Sejagat ataupun Rangga yang merupakan petinggi di Sunda Empire yang menyebut berbagai cerita konspiratif dengan dalih inilah sejarah yang sebenarnya. Bayangkan saja, di tengah revolusi teknologi informasi yang membuat sekat-sekat informasi sudah tidak lagi terasa, bagaimana mungkin terdapat pihak-pihak yang tidak dapat mencari tahu bagaimana NATO atau PBB terbentuk?
Merujuk pada efek tertidur, kita tentu dapat memahami mengapa para pengikut Sunda Empire menjadi percaya terhadap cerita konspiratif terkait NATO dan PBB yang disebut memiliki pertautan dengan Bandung. Sebuah Sindiran Munculnya kerajaan-kerajaan palsu di Nusantara akhir akhir ini ternyata bukan sekadar karena orang tersirep dengan romantisme masa lalu.
Ada juga yang menilai munculnya kerajaan palsu itu sebagai sebuah sindiran terhadap fenomena yang terjadi di Indonesia. Yang terjadi di Indonesia saat ini banyak fenomena palsu beredar dan dipertontonkan secara fulgar oleh penguasa. Ada janji janji palsu, ada program kerja palsu, ada harapan palsu dan ada juga pejabat palsu karena sebenarnya ia adalah sebuah boneka yang dikendalikan oleh dalang dalangnya.
Selain dipertontonkan oleh elite politik fenomena palsu sebenarnya juga terjadi dalam kehidupan sehari hari dan publik dengan mudah menemukannya. Contoh gigi, beras, obat, air zamzam, dukun, uang sampai sumpah, bisa dibikin palsu semuanya. Bahkan, ada juga mengaku nabi pada hal jelas jelas palsu alias tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Sehingga hal hal yang sifatnya palsu itu sebenarnya sudah biasa ditemukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fenomena ini telah membuat kecewa rakyat dimana mana sehingga mereka ingin melampiaskan kekecewaannya. Cara melampiaskan kekecewaan itu antara lain dengan mendirikan kerajaan kerajaan palsu untuk menyaingi NKRI yang dinilainya juga palsu.
Sindiran Ketidakpuasan
Makanya munculnya kerajaan kerajaan palsu di beberapa daerah, dianggap hanya sebuah sindiran untuk lucu-lucuan. Sekadar hiburan di tengah kasus-kasus besar korupsi yang melibatkan para pemegang kekuasaan. Munculnya kerajaan palsu itu merupakan sindiran keras terhadap para elite politik yang dipilih rakyat dengan biaya besar, tapi miskin teladan.
Tak bisa menghibur rakyat.Para elite yang justru mempertontonkan dagelan-dagelan vulgar yang tidak menghibur rakyat. Mereka justru membuat rakyat menangis. Terhina akal sehatnya. Itulah yang sering kita saksikan sekarang. Bangsa ini sudah lama tak melahirkan Hatta, Natsir, Jenderal Hoegeng atau Baharuddin Lopa. Bangsa ini sudah lama tak melahirkan Negarawan.
Yang seringkali muncul hanyalah politisi yang selalu berjanji membangun jembatan walaupun di situ tak ada sungai. Politisi yang kerap kali membuat sebuah kepalsuan dan mengubahnya menjadi sesuatu yang terhormat. Di antara para politisi sendiri, sebenarnya sudah tahu bahwa mereka sama-sama palsu. Tapi, siapa yang mau menghentikan itu semua ketika tidak ada yang memberi teladan?.
Cukupkah hanya dengan sebuah sindiran ? Hanya Pengalihan Isu Selain sebuah sindiran, fenomena Keraton Agung Sejagat,Sunda Empire serta yang lain lainya diduga hanya sebuah pengalihan isu belaka. Dugaan ini dilontarkan oleh politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid yang menyatakan bahwa kasus kerajaan palsu itu diduga hanya pengalihan isu atas kasus-kasus besar yang diduga terjadi di sejumlah perusahaan milik negara seperti PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau disingkat ASABRI (Persero) dan Pelindo
“Pengalihan issu apa lagi nih? Tapi nggak akan laku. Warga yang berakal sehat dan cinta NKRI akan makin focus kawal penanganan kasus-kasus korupsi trilyunan rp (jiwa sraya, asabri, pelindo dll), bpjs, ott kpk, dan keutuhan atau kedaulatan NKRI terkait Natuna dan Papua,” kata @hnurwahid di Twitter. Kecurigaan juga di endus oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago yang menduga, ada operasi intelijen untuk melakukan pengalihan isu penting yang menimpa bangsa ini.