Dengan sikap seperti itu, Bush sesungguhnya menunjukkan sikap bahwa dia tidak berminat sama sekali untuk menangkap bin Laden, namun lebih berminat untuk menciptakan rezim boneka di Afghanistan, menggantikan Thaliban yang dianggapnya susah dikendalikan.
Washington lebih memilih opsi untuk membiarkan Usamah berlama-lama, agar Amerika tetap memiliki dalil untuk merekonstruksi Timur Tengah seperti Afghanistan, Irak, dan juga yang lainnya dengan kedok Perang Melawan Teror, demi kepentingan nafsu imperialismenya.
Salah satu tujuan Amerika dalam hal ini telah ditegaskan oleh Zbigniew Brzezinski, mantan CIA yang pernah menjadi instruktur Usamah ketika era jihad Afghan melawan Soviet Rusia. Dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1997, “The Grand Chessboard”, dia menulis, bahwa dengan berakhirnya kekuasaan Soviet di wilayah tersebut, tantangan yang dihadapi imperialisme AS adalah untuk mencegah bahaya-bahaya tandingan lain, antara lain munculnya kekuatan Eurasia antagonis yang dominan." Karena ini bisa mengusik kepentingan Washington di sana.
Baik Washington maupun negara-negara raksasa Eropa sesungguhnya memiliki kepentingan yang sama terhadap wilayah yang sangat kaya dengan minyak dan gas bumi ini. Mereka adalah kaum imperialis yang sangat rakus terhadap sumber-sumber energi yang tak tergantikan ini. Untuk mengamankan jalur atau rute pipa dari kawasan ini ke barat, mereka menghadapi tiga ancaman yakni Cina, Rusia, dan Iran.
Dalam satu artikel yang dimuat The Jakarta Post (3/8/93), yang kemudian dimuat ulang Republika dengan judul “Amerika Memanfaatkan Terorisme Sebagai Instrumen Kebijakan”, Brzezinski menulis
bahwa Amerika memang memanfaatkan isu terorisme sebagai instrumen kebijakan standar untuk memukul atau menindas lawan-lawannya dari kalangan Islam. Jelaslah, kebijakan Amerika dan Barat untuk memerangi dunia Islam dengan menggunakan isu “perang melawan terorisme internasional” sudah digulirkan sejak awal 1990-an, jauh sebelum kemunculan Taliban, apalagi Al-Qaeda, tragedi WTC maupun berbagai pemboman di sejumlah kawasan di dunia Islam.
Kasus WTC jelas didalangi Washington. Tidak ada keraguan sebesar biji dzarrah sekali pun. Dan Usamah yang memang mantan kompanion CIA hanya dijadikan dalil atau legalitas langkah-langkah agresif ekspansionis Amerika dalam menjajah Timur Tengah dan juga dunia. Al-Qaidah dengan Usamah hanya dijadikan legalitas bagi Amerika untuk mendulang banyak minyak dan tentu saja dollar bagi dirinya sendiri.
Perang, di mana pun juga, adalah bisnis. Para industrialis mesin perang yang memang menduduki kursi kekuasaan di Amerika menangguk untung yang sangat besar dari apa yang dinamakan sebagai Perang Melawan Teror.
Kekuatan Militer Sebagai Penjaga Hegemoni Washington
Saat ini Usamah bin Ladin, seperti yang sudah banyak diberitakan media massa, sudah tidak ada lagi. Namanya sudah dihapus dari daftar puncak target Amerika selama sepuluh tahun terakhir. Jenazahnya sudah dibuang secara tidak manusiawi di Laut Arab dengan kapal induk AS USS Carl Vinson pada Senin (2/5) dini hari. Walau demikian, Presiden Obama menyatakan tekadnya tetap akan memberantas sisa-sisa Al-Qaidah di seluruh dunia.
Hal ini senada dengan sikap Inggris, saudara tua dari Amerika. Pemerintah Inggris telah menegaskan tetap memerangi Taliban di Afghanistan dan tidak terpengaruh sedikit pun dengan kematian Usamah.
“Kematian Usamah bin Ladin, meskipun sebuah kemajuan positif dalam gerakan antiterorisme, tapi tidak akan mengubah strategi kami di Afghanistan,” ujar Menteri Luar Negeri Inggris William Hague seperti dilansir AFP, Rabu (4/5). “Kami akan tetap menjalankan komitmen kami secara militer, diplomatik dan pembangunan untuk membangun Afghanistan yang aman dan stabil… Kami akan bekerja dengan masyarakat Afghanistan dan partner internasional, untuk memastikan bahwa Afghanistan tidak boleh menjadi tempat yang aman untuk pasukan teroris internasional seperti Al-Qaidah.”
Saat ini, Inggris masih menempatkan 9.500 pasukannya di Afghanistan. Artinya, menjadi negara kedua setelah Amerika Serikat yang serius memerangi Taliban.
Hari-hari ini kita tengah menyaksikan betapa dahsyatnya kekuatan zionis merenskontruksi Dunia Arab dan sekitarnya. Revolusi penggulingan para tiran di Dunia Arab sesungguhnya hanyalah satu perpindahan periode dari tahap Raja-Raja yang Menggigit ke tahapan Demokrasi.
Demokrasi merupakan sistem buatan Yahudi, telah dipraktekkan 400 tahun sebelum Plato lahir di Yerusalem, yang akan dijadikan karpet merah bagi kedatangan Dajjal di akhir zaman.
Bagi kita di Indonesia, mau tidak mau, selama mayoritas umat Islam masih saja bersikap taklid muqalidun kepada para pejabat dan orang-orang yang duduk di pemerintahan seperti sekarang ini, masih mau saja ditipu oleh para makelar agama atas nama demokrasi dan pluralisme, kita tinggal menunggu kehancurannya saja.
Hanya pribadi-pribadi yang kritis dan berani, yang tetap berpegang teguh pada syariat Islam yang jelas dan tegas, yang akan selamat dari kehancuran ini. Islam datang dalam keadaan terasing, dan akan pergi dalam keadaan yang juga asing. Hendak kemanakah kita, umat Islam? [tamat/rz]