Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***
Inkonsistensi Sikap Pejabat Pemerintah
Menurut DESDM, keputusan memenangkan Hess sebagai pengelola Blok Semai V diambil berdasarkan pertimbangan kemampuan teknis, keuangan, serta kinerja dari perusahaan-perusahaan yang mengikuti tender. Hal ini sesuai ketentuan yang berlaku, yaitu Permen ESDM nomor 40/2006. Dinyatakan pula, keputusan tersebut diambil salah satunya karena mempertimbangkan besarnya signing bonus yang ditawarkan Hess, yaitu sebesar US$ 40 juta. Menurut pemerintah, signing bonus menjadi pertimbangan utama karena merupakan bagian penerimaan yang sudah pasti dan langsung diperoleh negara.
Hal yang juga janggal dari penetapan Hess sebagai operator Semai V adalah tidak satu katanya pejabat-pejabat pemerintah pada berbagai departemen terkait atas keputusan ini. Sebagaimana diberitakan berbagai media, Kementerian Negara BUMN dan Pertamina telah menyatakan protes terhadap keputusan Departemen ESDM tersebut. Secara gamblang kita bisa melihat bagaimana tidak padu dan terkordinasinya lembaga-lembaga pemerintah ini – yang tentu saja berada dibawah kekuasaan Presiden SBY – sehingga keputusan yang sudah diambil oleh satu lembaga masih diprotes oleh lembaga-lembaga linnya.
Meneg BUMN Sofyan Djalil sempat mengungkapkan rasa kecewanya atas kekalahan Pertamina dengan mengatakan, ”Keputusan ini tidak berpihak kepada perusahaan negara,” (Koran Tempo, Republika, txOne, Inilah.Com, 15 Nopember 2008). Sofyan juga berkata, ”Intinya saya kecewa benar, mengapa Pertamina bisa dikalahkan perusahaan lain di Blok Semai V. Sebagai kuasa pemegang saham Pertamina, Kementrian BUMN berkepentingan mempertanyakan masalah ini.” Sofyan mengingatkan semua pihak agar memikirkan bagaimana membesarkan perusahaan nasional seperti Pertamina. Kekecewaan dan protes Sofyan tersebut telah disampaikan kepada Menteri ESDM, dan ditembuskan kepada Wapres Jusuf Kalla dan Menko Perekonomian Sri Mulyani.
Pertamina juga mengungkapkan kekecewaan atas kekalahan di Blok Semai V. Direktur Hulu Pertamina Karen Agustiawan mengatakan, ”Kami akan meminta klarifikasi kepada pemerintah atas kekalahan di Semai V. Kami butuh penjelasan, mengapa kami kalah.” Sedang Dirut Pertamina, pada tanggal 11 Nopember 2008 mangatakan bahwa pihaknya telah memberikan penawaran yang terbaik untuk tender Semai V, namun pemerintah memenangkan pihak lain. Ia mempertanyakan keberpihakan pemerintah kepada Pertamina sebagai perusahaan migas milik negara. VP Corporate Communication Pertamina Anang Rizkani Noor mengatakan, ”Sebelumnya kami sudah memberikan keterangan kepada pemegang saham, dalam hal ini Meneg BUMN. Apa yang Pertamina tawarkan dalam tender akan memberikan keuntungan jangka panjang, ketimbang keuntungan jangka pendek seperti ditawarkan pihak lain,” kata Anang sambil mengacu kepada bonus tanda tangan yang ditawarkan Hess.
Menanggapi sikap Meneg BUMN dan direksi Pertamina di atas, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro justru membantah kalau dikatakan pemerintah tidak berpihak kepada Pertamina. Namun, jawaban Purnomo kelihatannya tidak konsisten dengan bantahan tersebut. Ia menyatakan bahwa konsorsium Pertamina tidak dipilih sebagai operator Semai V karena minimnya porsi kepemilikan Pertamina pada konsorsium tersebut, yaitu hanya sebesar 30%, sedang 70% sisanya dimilki Shell. Ia mengatakan: ”Lain ceritanya kalau Pertamina 100% di situ”. Namun, seperti kita juga tahu, penetapan Hess yang 100% sahamnya dimiliki asing (AS) justru menghapus sama sekali peran Pertamina dalam pengelolaan Blok Semai V. Artinya, Menteri ESDM lebih memilih perusahaan dengan 0% saham Pertamina dan 100% asing, dibandingkan konsorsium perusahaan dengan 30% saham Pertamina dan 70% asing. Bahkan Pertamina juga mempunyai opsi untuk meningkatkan saham lebih besar lagi melabihi 50%. Bukankah sikap ini sangat aneh dan membingungkan?
Tanggapan lain yang membela keputusan DESDM tercatat pula dari Dirjen Migas Evita Legowo. Ia mengatakan, ”Bukan hanya pertimbangan ekonomis, tetapi faktor teknis dan performance dari perusahaan juga kita pertimbangkan. Kita juga sudah melakukan konsultasi ke pihak lain seperti BP Migas.” Dengan nada yang sama, Kepala BP Migas Raden Priyono menyatakan, ”Itu keputusan yang terbaik untuk Pertamina. Karena itu bukan hanya masalah keuangan dan teknis.” Komentar kami atas pembelaan Dirjen ini adalah bahwa Pertamina tidak hanya unggul dalam aspek ekonomi, tetapi juga dalam aspek teknis dengan menwarkan teknologi survey 3D, dan faktor kinerja yang bekerjasama dengan Shell, salah satu dari 7 perusahaan migas terbesar dunia. Artinya, jika penialaian atas ketiga aspek tersebut digabungkan, keunggulan Pertamina dibanding Hess semakin nyata.
Kita juga diherankan dengan inkonsistensi pernyataan Departemen ESDM dalam menghadapi protes penetapan Hess sebagai pemenang. Dirjen Migas menyatakan pengkajian ulang keputusan dan pemberian kesempatan right to match kepada Pertamina akan melanggar ketentuan yang berlaku. Namun di sisi lain, setelah menuai protes Pertamina dan masyarakat, Dirjen justru sempat membujuk Pertamina untuk ikut dalam konsorsium bersama Hess. Dijen Migas mengatakan, ”Kami sudah bicara dengan Hess untuk mengajak Pertamina mengelola Blok Semai V. Kelihatannya Hess bersedia bekerjasama dengan Pertamina. Tapi tidak tahu dengan Pertamina, bersedia atau tidak bekerjasama dengan Hess?” Padahal dengan melaksanakan langkah penawaran kerjasama ini, para pihak dan pemerintah juga melanggar ketentuan yang mengatur tentang kesempatan right to match yang ditolak Dirjen tersebut.
Dalam perkembangannya, tawaran Dirjen tersebut ditolak oleh Pertamina. Karen Agustiawan menyatakan lebih memilih untuk bekerjasama dengan Shell seperti diajukan dalam proposal. ”Kami masih berpendapat bahwa patner Pertamina yang layak untuk daerah sesulit Semai V adalah super major company seperti Shell,” kata Karen. Karen menambahkan bahwa secara teknologi dan finansial Pertamina merasa lebih aman bekerjasama dengan Shell (Kontan Online, 17 Nopember 2008).
Silang pendapat di antara pejabat pemerintah di atas memunculkan pertanyaan, apakah masing-masing instansi pemerintah memiliki kepentingan nasional yang berbeda-beda, sehingga memiliki posisi dan pendapat yang berbeda pula dalam hal pengelolaan Blok Semai V? Apakah telah terjadi pembangkangan oleh satu departemen tertentu? Mengapa pula Presiden sebagai kepala negara tidak bersikap tegas atas permasalahan ini dan membiarkan Menteri ESDM tetap memilih kontraktor asing Hess dengan mengalahkan perusahaan milik negara sendiri? Ataukah Presiden justru telah memberi restu karena mendapat tekanan dari AS? Yang jelas, berdasarkan sumber dari manajemen Pertamina diperoleh informasi bahwa Wapres pernah meminta Menteri ESDM untuk mendukung Pertamina mengelola Semai V, tetapi DESDM tetap kukuh dengan keputusannya memenangkan Hess.
Lebih jauh, keputusan pemerintah yang tidak berpihak pada Pertamina di Blok Semai V, juga berbagai tender pengelolaan migas lain di tanah air seperti Blok Cepu, pada akhirnya membuat kita mempertanyakan apa sesungguhnya strategi jangka panjang pemerintah dalam pengelolaan sumber-sumber daya alam di tanah air, khususnya di sektor migas? Apakah pemerintah mempunyai rencana strategis untuk membesarkan Pertamina? Adakah rencana strategis pemerintah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan energi nasional di masa mendatang serta menumbuhkembangkan industri migas dalam negeri?
Ketidakberpihakan Pemerintah kepada NOC/BUMN
Sebagai perbandingan, menghadapi perubahan-perubahan dalam industri migas internasional, kini berbagai negara di dunia telah memberlakukan kebijakan khusus untuk mendukung perusahaan-perusahaan minyak negara (National Oil Companies/ NOC) yang dimilikinya (lihat Gambar 1). Kebijakan tersebut antara lain adalah mendorong NOC untuk melakukan ekspansi ke berbagai negara. Hal itu terutama didorong oleh faktor energy security, yaitu kepentingan NOC untuk memastikan jaminan ketersediaan pasokan energi bagi negara asal mereka. Hal ini bernilai krusial, mengingat ketersediaan sumber daya migas di dunia yang kian langka. Di lain pihak, permintaan akan energi terus mengalami trend peningkatan. Kini, konsumsi minyak dunia berada pada kisaran 80 juta barel per hari. Diproyeksikan (jika ekonomi global berjalan normal), angka itu akan bertambah hingga 110 juta barel per hari pada 2030.
Berikut, adalah data yang menunjukkan agresivitas NOC dalam melakukan ekspansi ke berbagai negara, seperti melakukan akuisisi dan merger dengan perusahaan minyak lain di negara tujuan. Seperti dapat dilihat pada grafik (Gambar 2), NOC teraktif dalam melakukan akuisisi adalah CNPC (China National Petroleum Corporation/ PetroChina), BUMN minyak asal Cina. Terlihat juga dalam grafik, Indonesia adalah negara tujuan dimana transaksi akuisisi dan merger tersebut banyak dilakukan (Gambar 1).
Gambar 1. Transaksi Merger dan Akuisisi NOC di Berbagai Negara
Gambar 2
5 NOC Teraktif dalam Melakukan Akuisisi (2001-2005)
Dalam hal kontrol atas cadangan migas, NOC di berbagai negara pun jauh mendominasi dibandingkan perusahaan-perusahaan minyak swasta, yaitu dengan menguasai secara total 77% dari cadangan migas di seluruh dunia yang berjumlah 1,148 triliun barel. Berdasarkan data pada 2007, NOC yang mencatatkan cadangan minyak terbesar adalah PetroChina (CNPC) dengan total cadangan (proven) lebih dari 11 miliar barel. Sedangkan, untuk gas, cadangan terbesar dikuasai oleh Petronas dengan total cadangan lebih dari 18 miliar barel oil equivalent.
Angka cadangan migas berbagai NOC ini, rata-rata jauh lebih besar dibandingkan dengan cadangan migas yang dimiliki Pertamina. Pada tahun yang sama (2007), cadangan minyak yang dimiliki Pertamina tercatat sebesar 1,07 miliar barel, dengan cadangan gas sebesar 8,7 tcf gas atau setara dengan sekitar 1,53 miliar barel oil equivalent. Angka ini juga cukup jauh dibawah cadangan minyak Indonesia secara total sebesar 4,7 miliar barel.
Atas hal tersebut, penting dicatat, sejumlah NOC justru memiliki cadangan migas yang mendekati atau bahkan melampaui cadangan minyak negaranya sendiri. Petronas, misalnya, mampu memiliki cadangan minyak sebesar 7 miliar barel padahal cadangan minyak Malaysia hanya sekitar 3,1 miliar barel. Sedangkan CNPC, Sinopec, dan CNOOC secara bersama mencatatkan cadangan minyak sebesar sekitar 18 miliar barel atau sama besar dengan cadangan minyak total yang dimiliki Cina.
Hal di atas menunjukkan bahwa sebagai NOC, Pertamina belum berperan maksimal mengelola migas dibandingkan dengan NOC-NOC lainnya. Jangankan melakukan ekspansi ke luar negeri, peran Pertamina bahkan tidak dominan di tanah air sendiri. Padahal, Pertamina merupakan salah satu NOC tertua di dunia yang beroperasi sejak 30 tahun yang lalu. Hal ini akhirnya tentu membuat kita harus mempertanyakan dan menggugat bahwa ada yang salah dengan pengelolaan Pertamina selama ini, terutama karena tidak adanya dukungan penuh pemerintah untuk memajukan perusahaan milik negara ini.
Tampaknya pemerintah memang tidak mendukung tumbuhkembangnya perusahaan minyak milik bangsa sendiri! Oknum-oknum pemerintah lebih mendukung kepentingan asing dan perusahaan migas asing di negara ini. Dari gambaran di atas terlihat bahwa Pemerintah memang setengah hati untuk membesarkan Pertamina. Negara-negara lain memberdayakan NOC miliknya sehingga menjadi penguasa di negeri sendiri dan bahkan mendukung penuh upaya NOC-nya untuk mendapatkan bisnis migas di luar negeri. Tapi di Indonesia justru sebaliknya. Pertamina yang seharusnya menjadi penguasa di negeri sendiri ternyata telah dikerdilkan oleh Pemerintahnya sendiri. Padahal Pertamina bertugas mengemban amanat konstitusi dan merupakan salah satu kontributor penting bagi APBN, baik sebagai pembayar pajak, pembayar deviden, maupun sebagai penghasil migas. Pada tahun 2008 Pertamina menyumbang lebih dari 18% pendapatan untuk APBN dari sektor migas, dan menyetorkan pula sekitar Rp 15 triliun sebagai deviden BUMN dalam PNBP. Tentu saja kontribusi Pertamina akan bisa meningkat bila didukung oleh Pemerintah.
Pertamina mempunyai pengalaman lebih dari 38 tahun sejak berdiri pada tahun 1971. Tidak perlu diragukan lagi bahwa Pertamina memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi besar. Pengalaman dalam eksplorasi dan eksploitasi lapangan migas sebenarnya telah dimiliki oleh Pertamina baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini bisa kita lihat dari Proyek Pertamina di Jatibarang dan kemenangan Pertamina ikut tender di Libya.
Pemilihan Libya sebagai sasaran investasi merupakan bentuk pengembangan bisnis Pertamina untuk meningkatkan resources base, mengembangkan profesionalisme dan kredibilitas perusahaan di bisnis perminyakan global. Produksi yang akan diperoleh dari blok ini diharapkan juga akan membantu negara untuk menjamin ketersediaan bahan bakar di dalam negeri. Libya adalah salah satu negara yang memiliki sumber daya migas terbesar di dunia setelah Arab Saudi. Pemerintah Libya juga mencanangkan peningkatan produksi minyak menjadi 3 juta barel minyak per hari pada lima tahun mendatang dari 1,5 juta barrel minyak per hari saat ini.
Kemenangan tender di Libya menunjukkan adanya pengakuan negara luar atas kemampuan teknis, manajemen dan keuangan Pertamina. Karena itu adalah suatu ironi, bila di dalam negeri Pertamina tidak diakui atau tidak diberi kesempatan untuk mengelola Blok Semai V. Apalagi kemudian ada sejumlah pejabat dan pakar yang malah menganggap Pertamina merupakan sarang KKN.
Kekalahan Pertamina di Blok Semai V juga menunjukkan bahwa statement Presiden SBY yang mengatakan, ”Kita akan overhaul Pertamina,” yang disampaikan pada 2 Maret 2006 di Yangoon, Myanmar, ternyata hanya omong kosong semata, dan sampai saat ini (setelah 3 tahun) tidak berjalan. Posisi Pertamina masih sekedar pelengkap penderitaan bila disandingkan dengan perusahaan-perusahaan Multinational Company (ExxonMobil, Hess, British Petroleum, Chevron Texaco, dll).
Penutup
Kita kembali mengingatkan tentang ironi yang dialami BUMN migas seperti Pertamina. Sebagai perusahaan yang mewakili negara untuk mengelola dan memanfaatkan SDA migas milik negara bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, kesempatan Pertamina untuk mendapatkan WK migas telah dijamin dalam Pasal 5 PP No.35 Tahun 2004. Namun secara praktis, Pertamina tidak saja tidak diberikan pervilege yang dijamin PP tersebut untuk mengelola blok migas potensial seperti Semai V, bahkan meskipun sudah diperlakukan sama seperti kontraktor asing oleh pemerintahnya sendiri, Pertamina masih juga diperlakukan tidak adil! Pertamina dikalahkan oleh pejabat-pejabat pemerintahnya sendiri.
Dengan simulasi perhitungan disimpulkan bahwa potensi kerugian negara akibat tidak ditunjuknya Pertamina adalah sekitar Rp 28,906 triliun! Kerugian ini timbul akibat hilangnya kesempatan memperoleh keuntungan bagi Pertamina karena tidak ditunjuk sebagai kontraktor Semai V. Dengan adanya opsi peningkatan nilai saham lebih besar dari 30%, potensi penerimaan negara dari Blok Semai melalui Pertmina akan semakin meningkat. Hal ini juga berarti bahwa potensi kerugian negara tersebut akan semakin meningkat, lebih besar dari Rp 28,906 triliun.
Atas dasar hal-hal inilah, dalam kasus Blok Semai V, kita meminta pemerintah, untuk menunjukkan keberpihakannya kepada Pertamina. Pemerintah bahkan harus membatalkan penunjukan Hess sebagai pemenang tender WK migas Blok Semai V, dan kemudian menyerahkannya kepada Pertamina, jika tidak ingin dituding sebagai pengkhianat konstitusi, serta di sisi lain bersungguh-sungguh mementingkan rakyat banyak dan berkomitmen menjaga ketahanan energi nasional.
Kita juga mendesak Presiden, KPK dan BPK untuk segera menyelidiki berbagai kejanggalan dan ketidaktransparanan, termasuk mengaudit pelaksanaan evaluasi tender, dalam penunjukkan Hess sebagai operator Blok Semai V. Seperti telah diuraikan, hal ini antara lain terlihat dari terbelahnya suara Kementerian BUMN, Departemen ESDM, dan Departemen Keuangan dalam penetapan Hess sebagai pemenang tender.
Dengan berbagai kejanggalan tersebut, kita akhirnya sulit untuk yakin bahwa alasan penunjukan Hess adalah bonus tandatangan yang hanya US$ 40 juta dan pertimbangan lain yang pernah dikemukakan oleh Dirjen Migas dan Kepala BP Migas. Kita justru mencurigai, apakah ada praktik KKN dibalik keputusan ini?
foto: pme-indonesia
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.