Pada pertengahan Maret, sekitar 1.000 orang yang diyakini sebagai anggota organisasi mantel PKI menyerbu kantor AMPAI di Jakarta. Mereka menuntut agar kantor tempat Palmer bekerja itu ditutup.
Aksi tersebut mendapat dukungan internasional, khususnya dari Republik Rakyat China. Radio Peking (sekarang Beijing) dalam siarannya memuji langkah para penyerbu sebagai tindakan revolusioner. Radio itu menyatakan AMPAI merupakan alat subversi dan agresi imperialis di bidang kebudayaan untuk melemahkan revolusi Indonesia.
Sementara itu, gagasan mempersenjatai massa sukarelawan terus berlanjut. Hal tersebut jelas merupakan strategi PKI, yang mengharapkan bisa menangani pendistribusian senjata dari China. Massa yang bersenjata, apalagi bila terkonsentrasi di Jawa, akan sangat berbahaya karena sebagian besar pasukan Angkatan Darat sudah ditugaskan ke luar Pulau Jawa dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia, sehingga kekuatan riil AD di Jawa pada waktu itu tidak terlalu kuat, bahkan sesungguhnya lemah.
Pada aspek lain, dengan dalih mendukung dan mensukseskan Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), PKI berhasil menancapkan pengaruhnya yang semakin besar. PKI bahkan mampu memojokkan partai-partai politik lainnya, di samping melakukan konfrontasi langsung terhadap sejumlah ormas yang menjadi lawannya, seperti SOKSI yang didukung oleh TNI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), dan para budayawan yang bergabung dalam kelompok Manikebu.
Usul Asmu untuk mempersenjatai massa rakyat kemudian dipertegas lagi oleh Ketua Umum Central Commite Partai Komunis Indonesia (CC-PKI), D.N. Aidit. Dalam sebuah pidatonya pada bulan Februari 1965, ia menekankan perlunya pembentukan Angkatan Kelima yang bersenjata. Ia juga mengusulkan agar di setiap angkatan (Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kepolisian) dibentuk Komisaris Politik. Lembaga itu akan bertanggung jawab sepenuhnya dalam membina ideologi, doktrin, dan ajaran perjuangan bagi setiap prajurit.