Dalam pertemuan di Istana Tampak Siring, Bali, pada 6 Juni 1965 dibahas pula masalah itu. Malam hari itu, hadir sejumlah pejabat antara lain Menlu Subandrio, Chaerul Saleh, Leimena, Jusuf Muda Dalam, Kepala Polisi Bali Jenderal Syaifuddin, Jaksa Tinggi Bali, Komisaris Besar Sumirat, dan Brigjen Sabur. Para ajudan juga hadir, seperti Bambang S. Widjanarko dan AKBP Mangil.
Bung Karno mengemukakan dalam pertemuan tersebut bahwa para jenderal hendaknya tidak hanya memikirkan taktik dan strategi militer saja, melainkan juga perlu mengerti strategi dunia, khususnya strategi politik di Asia Tenggara. Pandangan adanya bahaya dari utara (China) merupakan visi Nekolim (Neo kolonialisme) yangharus ditolak. Poros Jakarta-Peking merupakan pandangan strategis yang harus diikuti oleh para Jenderal.
Pendapat yang berkembang dalam pertemuan tadi antara lain menyatakan, pandangan sejumlah perwira AD telah mempersulitpelaksanaan kebijaksanaan Bung Karno di tingkat bawah. Ini menyebabkan timbulnya pengelompokan-pengelompokan dikalangan AD, ada yang setia dan ada yang menolak pandangan Bung Karno.
Menanggapi pendapat tersebut, Bung Karno mengatakan perlunya perombakan di kalangan pimpinan AD. Presiden juga memerintahkan Jenderal SyaifuddinJuntuk melakukan pengecekan
sejauh mana kebenaran berita mengenai Dewan Jenderal. SedangkanSubandrio menyarankan Presiden memanggil Letjen Ahmad Yani untuk ditanya mengenai jenderal-jenderal yang tidak loyal.
Jenderal-jenderal yang disebut-sebut tidak loyal antara lain A.H. Nasution, S. Parman, Sutoyo, dan M.T. Haryono. Mereka dianggap tidak mau mengikuti garis politik Bung Karno, dengan indikasi keengganan mereka bekerja sama dengan kaum komunis.