Eramuslim.com – Sementara itu, situasi perekonomian sangat memprihatinkan.Kehidupan sosial ekonomi masyarakat sangat sulit. Bahan-bahan kebutuhan pokok sangat langka, rakyat bahkan dijatah dengan kupon-kupon yang harus ditukar dengan mengantre berjam-jam.Harga barang dan biaya-biaya hidup lainnya terus meroket, akibatnya inflasi membubung tinggi.
Kebutuhan bahan bakar minyak dijatah, listrik yang baru terpasang di daerah perkotaan pun mengalami giliran, mati–hidup. Keuangan negara terus mengalami defisit. Pada tahun 1964,misalnya, penerimaan negara hanya mencapai 681,328 miliar rupiah, tetapi pengeluaran pemerintah mencapai 923,444 miliar rupiah, sehingga terjadi defisit 397,942 miliar rupiah. Dalam tahun anggaran 1965, keadaan tidak membaik. Penerimaan negara sekitar 800 miliar rupiah, tetapi pengeluarannya hampir dua kali lipat sehingga defisitnya makin melebar. Untuk menutup defisitnya, Bank Sentral terus mencetak uang baru, yang merupakan faktor pendorong inflasi dan nilai rupiah pun makin merosot.
Dalam suasana seperti itu, kegiatan-kegiatan aksi sepihak berupa ancaman, teror dan kekerasan fisik pun dilakukan oleh ormas-ormas PKI di beberapa daerah yang menimbulkan suasanaketakutan masyarakat.
Subandrio, pada Kongres Serikat Buruh Perkebunan RepublikIndonesia (Serbupri) menggelorakan istilah senam revolusioner. Ia menyerukan kepada kaum buruh untuk menggunakan aksi-aksisebagai “senam revolusioner”, agar otot-otot dan tulang-tulanggerakan buruh menjadi kuat, untuk kemudian “naar de politieke macht”, menuju kekuatan politik.