Kekuatan Imperialisme dan Kolonialisme Barat yang dipimpin Amerika Serikat berada di belakang berdirinya kekuasaan Orde Baru. Sebab itu, di awal masa kekuasaannya Orde Baru sesungguhnya secara total bekerja untuk melayani kepentingan Amerika dan Dunia Imperialisme Barat. Hal ini bisa dilihat dari kerja lembaga intelijen Indonesia yang banyak mengerjakan tugas-tugas dari CIA, bahkan sejumlah satuan intel dibentuk dan didanai CIA. Tidak salah jika banyak pengamat dengan sinis menyatakan jika Indonesia pasca Soekarno sebenarnya merupakan negara bagian Amerika Serikat ke-51 setelah Hawaii. Diakui atau tidak, hal ini terus berjalan sampai detik ini.
Lembaga intelijen Indonesia di era awal Jenderal Suharto hingga pertengahan 1970-an memusatkan perhatiannya pada politik pembendungan pengaruh komunisme di dalam negeri dan juga kawasan Asia Tenggara. Hal ini sejalan dengan apa yang telah digariskan AS dalam Marshall Plan.
Dalam konflik Indocina, di mana biang kapitalisme AS berhadapan dengan biang komunisme Uni Soviet yang masing-masing memainkan bonekanya di Vietnam, lembaga intelijen Indonesia seperti Opsus bekerja secara pro-aktif membantu CIA.
Bulan Maret 1970, Pangeran Norodom Sihanouk—seorang pemimpin sipil Kamboja yang pernah dekat dengan Soekarno, dikudeta oleh Panglima Militernya, Jenderal Lon Nol yang lebih berorientasi ke Barat. Di Utara, Lon Nol terancam oleh keberadaan Vietnam Utara komunis. Sedang di dalam negeri, gerilyawan kiri Kmer Merah tengah tumbuh pesat. Untuk mengokohkan kekuasaannya, Jenderal Lon Nol meminta Barat dan negara-negara di Asia Tenggara yang sehaluan dengannya agar dapat memberi bantuan nyata.
Sinyal SOS dari Jenderal Lon Nol pun disambut baik Jenderal Suharto. Bisa jadi, disebabkan banyak kesamaan keduanya, maka Suharto pun bersikap pro-aktif membantu Lon Nol. Ken Conboy, dalam “Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia” (2007) menulis: “Pada 6 April, sebuah misi gabungan yang terdiri dari perwira militer dan Opsus tiba di ibukota Kamboja, Phnom Penh, untuk sebuah kunjungan selama dua minggu. Tujuan mereka adalah guna menentukan apakah rezim Lon Nol mampu bertahan, dan jika mampu, bentuk dukungan apakah yang bisa diberikan Indonesia.” (h. 72-73).
Hasil tim pendahuluan ini memprediksi Lon Nol tidak akan mampu bertahan lama. Walau demikian, Komandan Opsus dan orang dekat Jenderal Suharto, Jenderal Ali Moertopo dengan berani melakukan langkah nyata untuk menolong Lon Nol. Moertopo yang merupakan guru dari Jenderal Leonardus Beny Moerdhani dan punya ‘peliharaan’ sejumlah orang intel yang disusupkan ke dalam gerakan Islam seperti NII ini, mengumpukan ratusan pucuk senapan serbu AK-47 yang merupakan senjata organik tentara Indonesia di zaman Soekarno dan mengirimkannya kepada tentaranya Lon Nol.
“Pengiriman ini diawasi tiga orang perwira Opsus, yang seorang di antaranya tetap tinggal di Phnom Penh sebagai bagian dari penugasan tetap,” tulis Conboy. Salah satu perwira Opsus bernama Willy Pesik, seorang tokoh Permesta yang kabur ke Malaysia dan juga dekat dengan CIA. Jenderal Lon Nol sendiri, walau mendapat bantuan dari kubu Barat, akhirnya jatuh pertengahan 1975.
Operasi Gigi Palsu
Selain mengerjakan order politik dari CIA seperti menjadi ujung tombak gerakan penghancuran pengaruh komunisme di Asia Tenggara, badan intelijen di bawah rezim Jenderal Suharto juga mengerjakan order CIA lainnya seperti yang terjadi dalam kasus pemalsuan mata uang Dollar AS dan lainnya yang melibatkan seorang warga negara AS bernama Bernard “Larry” Tractman. Target ini diketahui memiliki jaringan orang-orang kuat di kawasan Asia Tenggara, sipil maupun militer, dari mantan senator Filipina Sergio Osmena yang menjadi rival terberat Presiden Ferdinand Marcos, hingga sejumlah pengusaha dan jenderal berpengaruh di Indonesia.
Pada 1970, Jenderal Suharto menerima informasi dari Washington—memo rahasia CIA—yang memintanya agar mau menjejak orang ini. Dan seperti yang sudah-sudah, order dari CIA pun segera ditindaklanjuti Jenderal Suharto dengan sigap dan menugaskan Bakin untuk segera menyelidiki kasus pemalsuan ini yang oleh Bakin diberi sandi ‘gigi palsu’.
Operasi Gigi Palsu digelar dan berhasil mendapatkan sejumlah data yang mengagetkan jika sejumlah jenderal terpandang Indonesia ternyata terlibat dalam bisnis uang palsu dengan Tractman. Uang-uang ini dipakai untuk membiayai gerakan-gerakan politik seperti pemilihan umum yang dilakukan pada April 1971.
Untuk menghubungi para jenderal Indonesia, Tractman mempergunakan seorang penghubung penting yang licin bernama Muchsien Rustandi, seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa. Lewat operasi yang rumit di sejumlah negara Asean, dan tentu saja koordinasi dengan CIA, akhirnya Rustandi berhasil ditangkap aparat Indonesia pada akhir 1972. Walau Rustandi jelas-jelas bersalah, namun karena hubungannya dengan sejumlah jenderal berpengaruh, juga lobby Tractman yang hebat, maka kasusnya pun tidak pernah dibuka dan ditelusuri hingga tuntas. Sangat mungkin, hal ini bisa terjadi semata-mata untuk menyelamatkan sejumlah jenderal Indonesia yang terlibat.
Penyelesaian kasus Tractman nyaris terjadi bersamaan dengan naiknya intensitas pergolakan politik di Timor Timur, sebuah daerah jajahan Portugis yang berada di halaman belakang Indonesia. Naiknya Fretilin, sebuah partai bersenjata Marxistis, di wilayah itu mencemaskan AS. Sejarah telah mencatat bagaimana akhirnya tentara Indonesia berhasil menganeksasi wilayah tersebut dengan bertempur memerangi Fretilin. CIA jelas berada di belakang peristiwa perebutan Timor Timur ke Indonesia. (bersambung/rz)