Dan itulah yang membedakan kekalahan Saigon pada tahun 1975 dari kekalahan Kabul pada tahun 2021. Selama beberapa dekade terakhir, AS telah mengalami penurunan yang stabil sebagai kekuatan hegemonik – menjadi kekuatan yang rentan. Hal ini juga terlihat pada, setidaknya, perang bencana di Irak dan Afghanistan tersebut.
Jadi, apa yang sekarang terjadi di Afghanistan bukan sekadar “kesalahan” imperium AS. Ini adalah manifestasi telanjang, dengan urutan peristiwa yang mengejutkan dan menandai kian runtuknya imperium AS. Dua minggu terakhir, yang berpuncak pada perebutan Kabul oleh Taliban, mewakili tahap akhir imperium Amerika pascaperang.
Daripada hanya mencermati dua peristiwa itu sendiri, Saigon pada tahun 1975 dan Kabul pada tahun 2021, masing-masing, kita harus mengevaluasi posisi global struktural objektif Amerika Serikat baik sebelum dan sesudah setiap intervensi militer. Dan disitulah letak inti masalahnya. AS benar-benar dominan baik sebelum dan sesudah “blunder” di Vietnam. Bahkan setelah “kesalahan” itu, dunia masih terbagi antara Barat yang menang dan sisanya.
Namun peristiwa itu tidak lagi terjadi. Jatuhnya Kabul adalah gejala dan produk dari proses selama puluhan tahun dari melemahnya kekuatan, otoritas, dan legitimasi AS– singkatnya, hegemoninya. Dunia telah menjadi multipolar secara definitif, terutama dengan kebangkitan China di segala bidang dan terus berbenah untuk mengimbangi dominasi pengaruh AS di dunia. Telah terjadi pergereseran dari Barat dalam sistem dunia yang telah berusaha untuk mendominasi selama lebih dari 500 tahun sekarang.
Oleh karena itu, mundurnya pasukan AS di Kabul mungkin tidak hanya menjadi lonceng kematian simbolis dari eksepsionalisme dan ekspansionisme AS – narasi dan proses yang mendefinisikan bangsa ini sejak kelahirannya, tetapi juga mungkin menjadi salah satu halaman terakhir dari bab sejarah Eurosentris.[TheGlobalReview]
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)