Ketika akhirnya Soekarno benar-benar membekukan KAMI, Ali Murtopo membentuk dua organisasi baru untuk melancarkan demonstrasi anti-Soekarno selanjutnya, yaitu KAPPI dan Laskar Arif Rahman Hakim. Demonstrasi besar-besaran inilah yang memaksa Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), surat yang aslinya hingga kini masih misterius keberadaannya, dan menjadi pertanda awal kejatuhan sang the founding father.
Hebatnya, hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, Soeharto mampu melumpuhkan partai yang beranggotakan sekitar 20 juta orang. Dalam buku “Pater Beek, Freemason dan CIA”, Sembodo menyatakan bahwa keberhasilan Soeharto itu tak lepas dari campur tangan Beek.
Melalui Ali Murtopo, Beek menyerahkan 5.000 nama pentolan PKI dari tingkat pusat hingga daerah, termasuk Madiun yang menjadi salah satu basis PKI, kepada CIA. Oleh Dinas Intelijen Amerika Serikat itu, data diserahkan kepada Soeharto agar orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar itu ditangkap.
Hal ini terungkap setelah wartawati Amerika Serikat, Kathy Kadane, mewawancarai mantan pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, pejabat CIA, dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Mantan pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat, Lydman, mengakui kalau pengumpulan nama-nama orang PKI selain dilakukan oleh stafnya, juga dibantu oleh Ali Murtopo yang kala itu menjabat sebagai kepala Opsus. Dengan dua cara ini, maka 5.000 nama pentolan PKI terkumpul.
Mengapa Ali Murtopo menyerahkan dulu daftar itu kepada CIA, dan tidak langsung saja kepada Soeharto? Jawabannya jelas, karena Ali Murtopo adalah anak buah Beek, dan selain anggota Freemason, Beek adalah anggota CIA.
Jadi, sebelum daftar itu digunakan oleh Soeharto, CIA harus men-screening-nya dulu agar tidak ada nama yang sebenarnya merupakan bagian dari CIA, ikut terbantai.
Jejak Beek mungkin bisa dilacak dari perlakuan Soeharto selanjutnya kepada Soekarno. Setelah tidak lagi menjadi presiden, Soeharto menjadikan Soekarno sebagai tahanan politik, dan mengisolasinya dari dunia luar. Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, Soeharto juga tidak mau memenuhi amanat Soekarno untuk memakamkannya di Istana Batu Tulis, Bogor. Melalui Keppres RI No. 44 Tahun 1970, Soekarno dimakamkan di kota kelahirannya, Blitar, Jawa Timur.
Menghancurkan Islam!
Setelah Soekarno dihabisi, selanjutnya, melalui tangan Soeharto, Islam menjadi sasaran berikutnya yang dihabisi oleh Pater Beek.
Naiknya Soeharto menjadi presiden tak ubahnya bagai kunci pembuka jalan yang mempermudah misi Pater Beek selanjutnya: menghancurkan Islam!
Maka tak heran jika selama hampir 20 tahun pertama Orde Baru (1967-1987) banyak terjadi peristiwa yang menyakiti dan merugikan umat Islam.
Dalam buku “Pater Beek, Freemason dan CIA”, Sembodo mengatakan untuk mencapai misinya ini, Beek menggunakan konsep Gereja dalam ‘mewarnai kehidupan di bumi’, yakni berperan aktif dalam berbagai lini kehidupan bernegara.
Ia mengacu pada tulisan Richard Tanter yang bunyinya: “Visi (Pater) Beek pribadi atas peran Gereja, Gereja harus berperan dalam mengatur Negara, kemudian mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui Negara”.
Dari visi ini, tegas Sembodo, jelas sekali bahwa Pater Beek mempunyai kehendak untuk ‘mewarnai’ kehidupan politik di Indonesia dengan ‘mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui negara’.
Dengan kata lain, Beek menempatkan banyak orang-orangnya di berbagai posisi strategis di dalam pemerintahan Orde Baru, era pemerintahan Soeharto.
Dengan konsep seperti ini, maka dikembangkanlah konsep Negara yang oleh Daniel Dhakidae dalam bukunya yang berjudul “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru”, disebut sebagai ‘Negara Organik’.
Menurut Daniel, konsep ini merujuk pada ajaran Thomas Aquinas, yaitu adanya jaminan ketenteraman lewat suatu pemerintahan yang ‘keras’, yang mempunyai kemampuan memerintah dan kemampuan memaksa. Konsep negara organik seperti ini akan menolak paham liberalisme dan sosialisme, karena paham liberalisme dianggap memberikan tempat istimewa bagi pribadi, sedangkan sosialisme dianggap menghalalkan perjuangan kelas yang akan menghancurkan tatanan Negara organik.