Vatikan kemudian memindahkan Beek dari Indonesia karena diminta oleh Kabakin, waktu itu Letjen Soetopo Yuwono. Beek kembali lagi ke Indonesia pada 1974. Ia meninggal 17 September 1983 di RS Saint Carolus, Jakarta, dalam usia 66 tahun. Ia dimakamkan di Giri Sonta, kompleks pemakaman dan peristirahatan ordo Serikat Yesus di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah.
Agen CIA
Fakta bahwa Beek adalah agen CIA, selain diungkap di buku “Pater Beek, Freemason dan CIA” dikemukakan pula oleh Dr. George J. Aditjondro (penulis yang juga mantan anak buah Beek), dalam artikel berjudul “CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo, dan LB Moerdani”.
Di artikel itu, George menulis: “Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal anti-Komunis yang bekerja sama dengan pastur yang pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong” (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong).
Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka, tidak sulit untuk dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA.
Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia.
Fakta yang diungkap George didukung disertasi Mujiburrahman berjudul “Feeling Threatened Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Orde”. Dalam buku “Pater Beek, Freemason dan CIA”, Sembodo mengatakan, mereka yang digerakkan Beek untuk membentuk organisasi-organisasi itu, adalah mahasiswa Katolik yang telah dipersiapkan melalui Kasebul (Kaderisasi Sebulan), seperti misalnya Sekjen DPP PDIP, Hasto Christianto, contohnya.
Melalui Kasebul, Beek menciptakan banyak kader radikal militan untuk memperjuangkan misi Katolik, yang terpenting pada masa ORBA adalah untuk menghancurkan kekuatan politik Islam di Indonesia, memarginalisasi umat Islam dan menyingkirkan umat Islam Indonesia dari peran strategis pemerintahan dan negara.
Sebagai tindak lanjut, pada 3 Oktober 1965 para mahasiswa itu membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan GESTAPU (KAP-GESTAPU) yang, pada 23 Oktober 1965 berganti nama menjadi Front Pancasila. Ketua umumnya Subchan ZE (Ketua PBNU, yang akhirnya terbunuh di Mekkah) dan Sekjennya Harry Tjan Silalahi, kader Beek.
Setelah Front Pancasila terbentuk, organisasi lain juga terbentuk. Di antaranya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), KAPMI (Kesatuan Aksi Pemuda Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Pemuda Pelajar Indonesia), KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), dan KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia).
Bersama Front Pancasila, organisasi itu melakukan demonstrasi menuntut pembubaran PKI berikut semua organisasi underbouw-nya.
Tuntutan mereka dipertegas dalam Resolusi Front Pancasila saat Rapat Raksasa Pengganyangan Kontra Revolusi pada 9 November 1965 di Lapangan Banteng, Jakarta. Resolusi ini antara lain berisi tuntutan agar PKI dibubarkan dan tokoh-tokohnya diajukan ke pengadilan. Resolusi diserahkan secara langsung kepada wakil pemerintah yang hadir di tempat itu.