Sebagai tindak lanjut, pada 3 Oktober 1965 para mahasiswa itu membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan GESTAPU (KAP-GESTAPU) yang, pada 23 Oktober 1965 berganti nama menjadi Front Pancasila. Ketua umumnya Subchan ZE (Ketua PBNU, yang akhirnya terbunuh di Mekkah) dan Sekjennya Harry Tjan Silalahi, kader Beek.
Setelah Front Pancasila terbentuk, organisasi lain juga terbentuk. Di antaranya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), KAPMI (Kesatuan Aksi Pemuda Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Pemuda Pelajar Indonesia), KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), dan KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia).
Bersama Front Pancasila, organisasi itu melakukan demonstrasi menuntut pembubaran PKI berikut semua organisasi underbouw-nya.
Tuntutan mereka dipertegas dalam Resolusi Front Pancasila saat Rapat Raksasa Pengganyangan Kontra Revolusi pada 9 November 1965 di Lapangan Banteng, Jakarta. Resolusi ini antara lain berisi tuntutan agar PKI dibubarkan dan tokoh-tokohnya diajukan ke pengadilan. Resolusi diserahkan secara langsung kepada wakil pemerintah yang hadir di tempat itu.
Dari semua organisasi mahasiswa tersebut, yang paling fenomenal adalah pembentukan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) karena organisasi yang dibentuk pada 25 Oktober 1965 ini merupakan organisasi yang dibentuk berkat kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP), Mayjen dr. Syarief Thayeb.
Organisasi-organisasi tersebut adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), SOMAL (Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal), Mahasiswa Pancasila (Mapacas), dan IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia).
‘Bermainnya tangan’ Beek di organisasi ini terlihat dari dominasi kader pastur itu di organisasi ini. Bahkan ketua presidium organisasi ini adalah kader Pater Beek, yakni Cosmas Batubara.
Sembodo menegaskan, Cosmas termasuk kader Beek yang giat menggalang aksi mahasiswa untuk mempercepat tergulingnya Soekarno dan hancurnya PKI. Sembodo bahkan berani menyebut bahwa KAMI-lah organisasi yang menjadi poros utama Beek untuk menciptakan puting beliung yang menghancurkan Soekarno dan PKI.
Masih menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Van den Heuval dalam laporan-laporannya menjelaskan, Beek mulai menggalang kekuatan mahasiswa sejak mengajar di Universitas Atmajaya. Dari sini ia membangun sel di kalangan mahasiswa dengan menyadari, selain tentara, mahasiswa merupakan kekuatan besar yang dapat digerakkan. Terbukti, ketika para pendukung Soekarno, terutama tentara, bereaksi, mahasiwalah yang dikerahkan untuk memukul balik reaksi itu.
Peranan Beek dalam pengorganisasian mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno, dibenarkan ISAI melalui hasil investigasinya yang dipublikasikan dalam buku berjudul “Bayang-bayang PKI”.
“Selama bertahun-tahun Pater Beek telah menghimpun dan membina anak-anak muda, terutama mahasiswa, untuk ditempa sebagai kekuatan anti-Komunis. Basis utamanya adalah PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) yang saat itu merupakan underbouw Partai Katolik. Tokoh-tokoh PMKRI pula yang kemudian banyak terlibat dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Dengan pengaruh dan jaringan anti-Komunis yang kuat itu, tak heran banyak dugaan bahwa Pater Beek memainkan peranan penting dalam gerakan anti-Komunis. Antara lain, ia sering disebut sebagai penghubung antara AD dengan CIA.
Strategi KAMI untuk menggulingkan Soekarno sangat halus. Pada awal gerakan, organisasi ini seolah mendukung sang the founding father dan hanya menuntut pembubaran PKI.
Akan tetapi ketika Soekarno tidak memedulikan tuntutan itu, maka strategi diubah. Mereka mulai melancarkan perang terbuka terhadap Soekarno dengan cara menggelar demonstrasi secara bertubi-tubi untuk mendesak Soekarno mengundur diri sebagai presiden. Soekarno tentu saja naik pitam dan meminta agar KAMI dibubarkan.
Saat KAMI terpojok, Beek segera mengefektifkan sel-selnya yang telah ditanam di pemerintahan.
Dalam buku berjudul “Army and Politics in Indonesia”, Harold Crouch memaparkan, alih-alih membubarkan KAMI, Ali Moertopo justru memindahkan markas organisasi itu dari kampus UI ke Komando Tempur II Kostrad di mana Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin Ali Mutopo berkantor.