Dr. Muhammad Sayyid Al-Wakil (1998: 321) menukil, “Jika matahari telah terbenam, seluruh kota besar Eropa terlihat gelap gulita. Namun di sisi lain, dibawah Futtuhat Islam, Cordova terang benderang disinari lampu-lampu.
Sebagian besar Eropa sangat kumuh, sementara di kota Cordova telah dibangun seribu WC umum oleh Umat Islam. Sementara para tokoh-tokohnya belum mampu menulis namanya sendiri, tetapi dibawah Islam anak-anak Cordova sudah mulai masuk sekolah”.
Melalui interaksinya dengan Dunia Islam, Eropa menjadi sadar atas keterbelakangan dan ketertinggalan mereka. Proses persentuhan yang terjadi sejak kekalahan orang Eropa di Perang Salib, ternyata telah menyadarkan orang-orang Eropa bahwa selama ini mereka telah jauh tertinggal.
Dari perang Salib, orang Eropa menemukan banyak hal baru yang dibawa oleh Muslimin yang tidak pernah dikenal di Barat sebelumnya. Alat-alat atau teknik-teknik baru itu seperti dalam bidang pertanian, industri dan kerajinan, serta melakukan hubungan perdagangan dengan orang-orang Muslim (Bammate, 2000: 44-45).
Tidak sedikit di antara orang-orang Kristen yang ikut Perang Salib adalah para saudagar yang menyebutkan perang ini adalah kesempatan untuk mengadakan hubungan dagang baru.
Maka tak heran bila Pasca kekalahan di perang Salib, Italia Utara, Venezia Jerman Selatan, dan Belanda mulai berkembang setelah menemukan sesuatu yang baru dari perang Salib (Romein, 1956: 52). Dari kota-kota inilah nantinya kemunculan Renaissance.
Ditangan Muslimin, Andalusia dirubah menjadi pusat belajar dan didirikan universitas-universitas, bahkan diantara mahasiswanya terdapat para tokoh gereja dan para bangsawan.
Adalah Gerbert d’Aurillac, seorang Paus Perancis pertama di bawah gelar Sylvester II, dimana dia telah menghabiskan waktu selama tiga tahun di Toledo dengan para ilmuwan Muslim untuk secara khusus belajar matematika, astronomi, kimia, dan pelajaran-pelajaran lainnya.