RUU HIP pasal 6 ayat (1) memasukkan Trisila dan ayat (2) memasukakn Ekasila yang tentunya akan mendegradasi kemurnian Pancasila. Dalam sejarah, pada saat pembahasan dasar negara, Trisila dan Ekasila tersebut memang pernah ditawarkan. Akan tetapi, yang dipilih dan disepakati pada saat itu adalah Pancasila.
Semestinya RUU HIP jika ingin membahas Pancasila tentunya jangan sampai mencampuradukkan dengan Trisila maupun Ekasila. Pasalnya, hal tersebut akan merusak kemurnian Pancasila yang memiliki spirit agama dan lebih jauh bisa terseret kepada aliran komunisme yang sudah dinyatakan sebagai idiologis terlarang di Indonesia.
Pada Pasal 6 ayat 1 RUU HIP, disebutkan “Sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial”, padahal sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjiwai sila-sila berikutnya. Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, tersebut dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Selain itu Paham Ketuhanan yang berkebudayaan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat 2 RUU HIP, sangat merisaukan. Paham ini mengambil pendapat Bung Karno saat sidang BPUPKI, “segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama”.
Paham Ketuhanan yang berkebudayaan melekat erat dengan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.Paham sekularime ini terkait dengan pemikiran liberal yang berkembang yang keberadaannya tidak lepas dari pemikiran Christian Snouck Hurgronje dengan teori “receptie.”
Teori receptie menyatakan bahwa hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat telah menerimanya. Dapat dipahami bahwa hukum Islam berada di bawah hukum adat, karena hukum adat sebagai variabel penentunya.
Padahal Agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda. Agama Islam mengakui budaya sepanjang budaya dimaksud tidak bertentangan dengan ajaran agama.Dalam rumusan RUU HIP peranan agama tidak lagi menjadi dominan dalam pembangunan nasional, lebih diarahkan kepada mental dan spiritual belaka.