Prabowo merasa khawatir akan terjadi dinamika politik atau manuver politik dari lawan-lawan politik Pak Harto pada saat mereka berada di Tanah Suci. Itu sebabnya, sebelum berangkat ke Tanah Suci, Prabowo mengumpulkan rekan-rekannya di rumahnya untuk brainstorming membicarakan perkembangan situasi dan berbagai kemungkinan keadaan. Bila terjadi dinamika politik, yang mengarah pada gerakan inkonstitusional, Prabowo meminta kawan-kawannya untuk mengatasi keadaan dalam tempo 1 x 24 jam. Jika sampai pada kemungkinan terburuk, Prabowo bersama Letjen Wismoyo akan segera kembali dengan menggunakan privat jet yang akan mendarat di Nusa Wungu Cilacap. Dalam diskusi itu hadir Sjafrie Sjamsoeddin, Ryamizard Ryacudu, Ampi Nurkamal, Gleni Kairupan dan Kivlan Zen.
Demikian khawatirnya Prabowo dengan keadaan pada saat itu hingga ia merancang langkah darurat sebelum keberangkatan keluarga besar Pak Harto menunaikan ibadah haji. Tapi, kekhawatiran Prabowo ini tidak terjadi. Ini juga membuktikan Pak Harto cukup jeli melihat kondisi saat itu.
Pada 1993, Sidang Umum MPR memilih kembali Pak Harto sebagai presiden dan untuk mendampingi Pak Harto, Prabowo menginginkan B.J. Habibie, sesuai hasil pemilihan oleh Panitia 11 yang dibentuk oleh Pak Harto untuk menyaring calon wakil presiden. Namun Fraksi ABRI Letjen Harsudiono Hartas dengan cepat mengajukan Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi kegagalan sebagaimana kasus Jenderal LB Moerdani pada 1988. Hasil Panitia 11 menempatkan BJ Habibie sebagai peraih suara mayoritas untuk menjadi wapres, sementara Try Sutrisno berada di posisi ketiga, setelah Soesilo Sudarman. Di sinilah Pak Harto mengalah, Try akhirnya menjadi Wapres, selanjutnya Edi Sudrajat ditunjuk sebagai Pangab merangkap Menhankam dan KASAD pada 12 Maret 1993.
Sementara itu, Letjen Wismoyo Arismunandar tetap menjadi Wakasad dan Letjen Feisal Tanjung sebagai Kasum ABRI, jabatan yang lebih senior dari Wakasad. Pada 21 Mei 1993, secara tiba-tiba, Pak Harto mengangkat Letjen Feisal Tanjung sebagai Panglima ABRI, pengangkatan ini dilakukan tiga hari lebih dulu ketimbang pengangkatan Jenderal Wismoyo sebagai KSAD, sehingga Feisal Tanjung lebih senior dalam jabatan. Hal ini menjadi surprise bagi Prabowo karena ia melihat Jenderal Feisal Tanjung dapat mendukungnya dalam rangka pembersihan pendukung LB Moerdani yang mulai menunjukkan kekuatan untuk menjatuhkan Pak Harto.
Saat Jenderal Edi Sudrajat menjabat sebagai Panglima ABRI (12 Maret-21 Mei 1993) telah terjadi mutasi besar-besaran.