1. Susu Bukan Konsumsi Alamiah Untuk Selamanya
Kita perlu belajar dari hewan menyusui. Bahwa susu hanya cocok sebagai “makanan antara”, ketika bayinya belum sanggup mengunyah dan mencerna. Begitu bisa tegak, berjalan, mencari makan dan mampu mengunyah makanan padat, maka susu bukan lagi konsumsi alamiahnya.
Hal ini bukan berarti bahwa kita menyamakan manusia dengan hewan menyusui, tapi kita harus dan merasa perlu belajar dari alam, fakta dan menyadari berbagai unsur permainan “kepentingan yang lain” di balik jargon kesehatan yang hanya dipakai untuk nilai jual.
Faktanya, enzim pencernaan manusia untuk mencerna susu juga sudah mulai menyusut pada usia 2-3 tahun. Bersamaan dengan itu, gigi manusia pun sudah komplit di usia dua tahun. Lepas dari susu, kunyah makanan padatnya.
2. Untuk manusia, alam tidak menyediakan susu apa pun, selain Air Susu Ibu (ASI)
Alam tidak menyediakan susu apa pun selain ASI untuk konsumsi manusia. Susu sapi hanya untuk generasi penerus sapi. Susunannya pun sama sekali tidak cocok untuk manusia.
Sekali lagi, komposisi susu sapi hanya untuk membuat anak-anak sapi gemuk, bertulang besar, tidak perlu pandai, apalagi menikmati umur panjang. Artinya, susu sapi alami sama sekali tidak cocok untuk manusia.
Karena “dipaksakan” supaya cocok, maka agar tidak mengandung bakteri, manusia melakukan sterilisasi susu antara lain dengan pasteurisasi (pasteurizing). Efek sampingnya? semua zat gizi susu rusak total, karena itu setelah proses sterilisasi perlu diimbuhkan atau ditambahkan berbagai zat alin supaya kelihatan “bergizi”, proses pasca sterilisasi inilah membuat heboh ‘menyusup’nya bakteri.
Begitu pula agar kolesterol susu sapi yang tinggi tidak membuat manusia kegemukan dan naik kolesterolnya, maka ditemukanlah teknik yang membuat agar susu sapi mendapat istilah ‘skim’, karena minyaknya ditarik atau diambil. Efek sampingnya? manusia tetap gemuk!