ARUS BESAR YANG MENJADIKAN BOEDIONO CALON WAKIL PRESIDEN
Di harian The Jakarta Post tanggal 25 Mei 2009 diberitakan acara perpisahan Boediono dengan staf pengajar di Universitas Gajah Mada . Boediono dikutip mengatakan “…his nomination was “a big stream” he could not resist” yang berarti bahwa pencalonannya adalah arus besar yang tidak mampu ditolaknya.
Sebagai sesama menteri dalam kabinet Megawati, dalam sidang kabinet terakhir Boediono berpamitan dengan saya dan beberapa rekan menteri lainnya, mengatakan : “Ada kemungkinan bahwa beberapa dari kita akan diminta masuk dalam kabinet lagi. Saya sudah mengambil keputusan untuk kembali ke kampus dan sudah pasti tidak akan mau menjadi pejabat di pemerintahan lagi. Maka saya berpamitan”, dan lantas berjabatan tangan.
Konon kabarnya Presiden SBY menelpon Boediono, Sri Mulyani dan Mari E. Pangestu untuk duduk sebagai menteri-menteri ekonomi. Boediono menolak. Jadi konsisten dengan “pamitannya”. Namun beberapa minggu menjelang pengumuman reshuffle kabinet saya mendengar bahwa Boediono sedang “digarap habis-habisan” untuk mau duduk dalam kabinet sebagai Menko Perekonomian. Jelas saya tidak percaya bahwa dia takluk. Ternyata benar berita yang saya kira berita burung itu sebagai penggarapan besar-besaran. Boediono masuk lagi dalam kabinet sebagai Menko Perekonomian.
Dari berita The Jakarta Post tersebut menjadi lebih jelas lagi betapa besar arus yang menekannya, sehingga sekarang dia bahkan mau menjadi Wakil Presiden ! Apa gerangan arus besar itu ? Hati nurani dan kecintaannya pada bangsa yang bagian terbesarnya sedang menderita ini, ataukah arus besar yang datangnya dari elit dalam negeri, ataukah arus besar yang datangnya dari luar ? Hanya Tuhan, Boediono dan SBY yang mengetahuinya. Harapan saya tentunya Boediono dan SBY jujur dalam menjelaskan kepada rakyatnya, karena ini urusan sangat penting dengan dampak yang sangat besar pula pada nasib negara bangsa ini kalau mereka terpilih dalam pilpres bulan Juli 2009 mendatang.
LAHIRNYA “BERKELEY MAFIA” DAN PERANNYA SAMPAI SEKARANG
Buat saya dan banyak orang lainnya, di Indonesia memang ada sekelompok akhli ekonomi dengan ideologi dan keyakinan tertentu yang sangat berkuasa dan sangat besar pengaruhnya. Kelompok ini terkenal dengan sebutan “Berkeley Mafia”. Istilah ini sama sekali tidak mengandung pelecehan atau merendahkan martabatnya. Sebaliknya, yang jelas dalam tulisan ini, istilah ini lahir di Jenewa di tahun 1967 dengan konotasi yang sangat terhormat dan mengagumkan banyak tokoh dunia Barat, yang oleh David Rockefeller disebut sebagai sekelompok para akhli ekonomi Indonesia yang top (the top economists of Indonesia). Ketika kabinet didominasi oleh mereka, cover majalah Time memuat foto para menteri satu per satu dengan judul di bawahnya “The most qualified cabinet in the world”.
Asal mulanya memang terdiri dari mereka yang memperoleh gelar Ph.D dari University of California in Berekeley. Kelompok ini merupakan inti yang dalam perjalanan sejarah Indonesia membentuk “keturunan-keturunannya”. Maka tidak mungkin membatasi diri dengan hanya yang lulus dari Berkeley University saja. Sebutan “anggota Berkeley Mafia” adalah siapa saja yang iedologi dan keyakinannya merupakan mashab yang sama, yaitu sangat jauh condong pada pasar bebas dengan campur tangan pemerintah yang sekecil mungkin. Maka Boediono yang menurut pengakuannya orang dari kampus ndeso sangat bisa menjadi anggota Berkeley Mafia. Bahkan di mata sangat banyak orang, di zaman sekarang ini dialah pemimpinnya.
Para teknokrat hanya profesional dan tidak berpolitik, atau justru politisi yang sangat piawai dan ulung ?
Kelompok Berkeley Mafia terkait erat dengan perguruan tinggi, sehingga memberikan kesan profesional yang tidak berpolitik. Namun sejarah membuktikan bahwa kecanggihan dan kepiawaiannya mempertahankan kekuasaan ekonomi dalam pemerintahan siapapun juga sejak tahun 1967 tidak tertandingi oleh partai politik yang manapun juga.
Maka kalau dikatakan murni profesional yang tidak berpolitik tidak benar. Saya sendiri mengalami bahwa setelah pak Harto tidak berkuasa lagi, dalam pembukaan Kongres PDI di Bali yang besar-besaran di stadion terbuka, Dr. Sri Mulyani beserta banyak akhli ekonomi lainnya hadir. Ketika saya terheran-heran menanyakan kepada teman, saya mendapat penjelasan bahwa mereka dibawa oleh Erros Djarot yang diperkenalkan kepada Megawati sebagai calon-calon menteri di dalam kabinetnya kalau Megawati menjadi Presiden nantinya. Dan benar, ketika Megawati menjadi Presiden, Menko Perekonomiannya Dorodjatun Kuntjorojakti dan Menteri Keuangannya Boediono yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan PDI. Sri Mulyani menjadi wakil RI dalam pimpinan IMF di Washington DC.
Dalam sidang CGI yang saya ikut menghadirinya sebagai Kepala Bappenas, secara setengah berkelakar Menko Dorodjatun antara lain mengatakan bahwa dirinya tidak dari partai politik. Tetapi dalam zaman reformasi dan demokrasi ini yang serba partai politik, kalau toh mau dikatakan anggota partai politik, maka partainya adalah “Partai UI di Depok, dan para pemimpinnya adalah Prof. Widjojo Nitisastro dan Prof. Ali Wardhana. Maka dirinya merasa mengetahui perekonomian Indonesia dengan baik dari kedua guru besar/teknokrat/mantan menteri tersebut”.
Pengototannya berkuasa ketika tidak ada dalam kabinet
Dalam waktu sangat singkat setelah KH Abdurrachman Wahid menjadi Presiden RI dan saya diangkat menjadi Menko EKUIN, dibentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dengan Dr. Emil Salim sebagai Ketua dan Dr. Sri Mulyani sebagai sekretarisnya. Setelah itu dengan Keputusan Presiden dibentuk lagi Tim Asistensi pada Menko EKUIN. Ketuanya tidak tanggung-tanggung, yaitu Prof. Dr. Widjojo Nitisastro sendiri dan sekretarisnya Dr. Sri Mulyani Indrawati. Mereka mengawal saya dan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo dalam perundingan penjadwalan kembali hutang luar negeri di Paris Club. Tidak pernah ada DEN dan Tim Asistensi pada Menko EKUIN/Perekonomian sebelum dan sesudahnya. Saya merasakan dengan jelas bahwa kedua Tim ini dibentuk atau “dipaksakan” pada Gus Dur untuk mengawasi dan mengendalikan saya yang dianggap mempunyai sikap yang independen, sangat cenderung tidak mau diatur oleh trio Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF. Kecuali itu tidak pernah ada pemerintah sebelum dan sesudah Presiden Abdurrachman Wahid yang Tim Ekonominya bukan dan sama sekali tidak berorientasi pada ideologi kelompok Berkeley Mafia kecuali Tim Kwik Kian Gie/Bambang Sudibyo/Jusuf Kalla (Menperindag merangkap Kepala BULOG).
Semua anggota DEN harus diperbolehkan hadir dan ikut berbicara dalam semua rapat-rapat para menteri dalam lingkungan koordinasi Menko EKUIN.
Ketika saya melakukan kunjungan kehormatan pada Menteri Keuangan AS ketika itu yang dijabat oleh Larry Summers, yang didampingi oleh Timothy Geithner, saya ditegur dengan keras bagaikan pejabat negara jajahan tentang kecenderungan saya atau sikap saya yang tidak mau mengikuti IMF. Saya tercengang karena informasinya tentang apa saja yang dibicarakan dalam kabinet dan dalam rapat koordinasi oleh saya sebagai Menko EKUIN diketahui semua oleh mereka. Jadi benar yang dikatakan oleh Boediono bahwa ada penjajah dari dalam, yang dalam pengalaman saya tidak beroperasi sendiri, tetapi bekerja sama dengan penjajah dari luar. Mari kita tunggu siapa yang akan digugat olehnya sebagai penjajah dari dalam ?
Sebagai Menko EKUIN yang harus berpidato dalam sidang CGI, kepada saya diberikan naskah pidato oleh staf saya. Saya sama sekali tidak setuju dengan isinya. Maka kepada staf saya minta diadakan perubahan-perubahan. Dia mengatakan kepada saya bahwa itu tidak boleh, karena sudah merupakan tradisi bahwa pidato Menko EKUIN dalam sidang IGGI/CGI harus dibuat oleh Bank Dunia. Saya bekerja keras menulisnya sendiri dengan membuang naskah pidato yang sudah disiapkan.
Sejak itu saya mengalami tekanan terus menerus dan Presiden pernah memberitahukan akan memecat saya, tetapi entah mengapa tidak jadi lagi. Maka menjelang reshuffle kabinet saya mengundurkan diri sebagai Menko EKUIN dari kabinet Gus Dur.
Kesenjangan luar biasa antara yang terlihat dan yang tidak terlihat
Terus menerus saya “dikuliahi” sahabat-sahabat saya yang termasuk golongan kemapanan dengan kehidupan yang sangat enak, bahwa Indonesia sudah sangat maju, sudah sangat banyak mall, restoran, rumah dan apartemen mewah, banyak mobil mewah, gedung-gedung apartemen dan perkantoran pencakar langit dan sebagainya.
Saya melihat dan melewatinya setiap hari. Yang menjadi pertanyaan, berapa persen dari seluruh rakyat kita yang menikmati kemakmuran yang dikuliahkan kepada saya ?
Saya yakin minimal 180 juta dari 230 juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan yang sangat parah. Ketika saya di Bappenas, saya membentuk 4 regu yang masuk ke desa-desa kantong-kantong kemiskinan secara sampling untuk melihat dengan mata kepala sendiri dan berbicara langsung dengan sesama anak bangsa yang ternyata memang masih sangat terjajah. Gambaran yang selalu di depan mata saya tidak bisa hilang dengan kehidupan saya di kota Jakarta yang gemerlapan dengan kemewahan ini.
Gambaran tersebut yalah bahwa bagian terbesar dari rakyat kita yang memiliki semua kekayaan alam yang ada di negara ini hidup dalam kemiskinan, kenistaan, kekurangan gisi, kekurangan pendidikan seperti yang disaksikan oleh saya dan rekan-rekan di Bappenas ketika saya masih menjabat sebagai Kepala di sana. Dalam kondisi seperti ini saya juga mengalami betapa saya ditekan oleh trio Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF serta rekan-rekan bangsa sendiri yang menekan saya harus mengikuti keinginan para pejabat trio lembaga keuangan internasional tersebut. Ketika saya dengan regu saya melihat dan berbicara dengan mereka, mereka hidup dengan Rp. 1.250 per orang per hari. Kalaupun karena inflasi sekarang menjadi tiga kali lipat atau Rp. 3.750 per hari, masih jauh dari US$ 2 per hari buat satu orang, sedangkan Bank Dunia yang dikagumi oleh kelompok Berkeley Mafia menentukan US$ 2 per orang per hari sebagai garis kemiskinan. Ini berarti bahwa rakyat yang miskin dan sangat besar jumlahnya itu hidup dengan 17,85% saja dari garis kemiskinan yang ditentukan oleh Bank Dunia.
Penutup
Mohon kiranya tulisan ini dilihat juga dari sisi memberikan amunisi kepada Boediono untuk menggugat penjajahan yang sekarang masih berlangsung dalam bentuk modern.
Kalau AS bisa berubah total menjadikan demikian banyak perusahaan swasta menjadi BUMN dan Presiden Obama bisa memecat CEO-nya paberik mobil swasta, dan Larry Summers bisa mengatakan : “If circumstances change, I change too”, sambil mengutip John Maynard Keynes yang pernah mengatakan demikian, mengapa Boediono tidak bisa lantas menjadi independen, nasionalis dan patriot yang berani menghadapi siapa saja untuk kepentingan bangsa ?
Mengantisipasi beliau akan berubah seperti ini, walaupun berharap-harap cemas, saya berharap ada amunisi baginya dari tulisan ini.