PARA PERUSAK EKONOMI NEGARA-NEGARA MANGSA
Benarkah sinyalemen John Pilger, Joseph Stiglitz dan masih banyak ekonom AS kenamaan lainnya bahwa hutanglah yang dijadikan instrumen untuk mencengkeram Indonesia ?
Dalam rangka ini, saya kutip buku yang menggemparkan. Buku ini ditulis oleh John Perkins dengan judul : “The Confessions of an Economic Hit man”, atau “Pengakuan oleh seorang Perusak Ekonomi”. Buku ini tercantum dalam New York Times bestseller list selama 7 minggu.
Saya kutip sambil menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
Halaman 12 : “Saya hanya mengetahui bahwa penugasan pertama saya di Indonesia, dan saya salah seorang dari sebuah tim yang terdiri dari 11 orang yang dikirim untuk menciptakan cetak biru rencana pembangunan pembangkit listrik buat pulau Jawa.”
Halaman 13 : “Saya tahu bahwa saya harus menghasilkan model ekonometrik untuk Indonesia dan Jawa”. “Saya mengetahui bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk menghasilkan banyak kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki oleh analis atas dasar statistik yang dibuatnya.”
Halaman 15 : “Pertama-tama saya harus memberikan pembenaran (justification) untuk memberikan hutang yang sangat besar jumlahnya yang akan disalurkan kembali ke MAIN (perusahaan konsultan di mana John Perkins bekerja) dan perusahan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang rekayasa dan konstruksi. Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman tersebut (tentunya setelah MAIN dan kontraktor Amerika lainnya telah dibayar), agar negara target itu untuk selamanya tercengkeram oleh kreditornya, sehingga negara penghutang (baca : Indonesia) menjadi target yang empuk kalau kami membutuhkan favours, termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.”
Halaman 15-16 : “Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga dari negara-negara penerima hutang yang sudah kaya dan berpengaruh di negaranya masing-masing. Dengan demikian ketergantungan keuangan negara penerima hutang menjadi permanen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah penerima hutang. Maka semakin besar jumlah hutang semakin baik. Kenyataan bahwa beban hutang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan.”
Halaman 15 : “Faktor yang paling menentukan adalah Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Proyek yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun proyek yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB.”
Halaman 16 : “Claudia dan saya mendiskusikan karakteristik dari PDB yang menyesatkan. Misalnya pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun hanya menguntungkan satu orang saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani hutang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi.”
Halaman 19 : “Sangat menguntungkan buat para penyusun strategi karena di tahun-tahun enam puluhan terjadi revolusi lainnya, yaitu pemberdayaan perusahaan-perusahaan internasional dan organisasi-organisasi multinasional seperti Bank Dunia dan IMF.”
John Perkins seorang pembual atau fiktif?
Para ekonom kelompok mazhab tertentu yang berfungsi sebagai agen pelaksana dari korporatokrasi dan prinsip-prinsip Washington Concensus serta merta mengatakan bahwa John Perkins itu tidak ada. Itu adalah orang yang fiktif. Kalaupun ada orangnya, dia seorang pemimpi dan pembual (fantast).
Kalau memang demikian, bagaimana mungkin bukunya tercantum dalam best seller list selama enam minggu di New York Times. Seminggu setelah dijual di toko-toko buku, sudah tercantum sebagai buku terlaris nomor 4 di amazon.com. Dalam waktu kurang dari 14 bulan, bukunya telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa. Copyright-nya telah dibeli oleh perusahaan film utama di Hollywood.
Saya bertemu dengan seorang insinyur Indonesia yang sampai sekarang masih bekerja di BUMN. Tidak etis buat saya menyebutkan namanya. Beliau menceriterakan kepada saya bahwa beliaulah yang menjadi partnernya John Perkins di Bandung di tahun 1970. Ketika itu beliau tidak mengetahui bahwa Perkins sedang melakukan perusakan ekonomi. Ketika beliau membaca bukunya, begitu marahnya, sehingga segera membuat sangat banyak copy yang dibagi-bagikan.
Mereka yang menyebut John Perkins seorang pembual sekarang ini banyak sekali yang memegang kekuasaan dalam bidang ekonomi. Mengapa tidak ada kebutuhan mencari dan menanyakan kepada insinyur yang di tahun 1970 tanpa mengetahui maksud dan tujuan John Perkins bekerja sebagai mitranya di kantyor PLN Bandung ?
A Game as old as Empire
John Perkins mengakui bahwa sangatlah sulit menemukan penerbit, walaupun setiap kali para penerbit itu menunjukkan perhatian yang sangat besar. Tetapi pada akhirnya menolak. Baru penerbit yang ke 26 menyetujui menerbitkannya.
Apa alasannya diceriterakan dalam kata pengantarnya dalam buku terbaru yang ditulis oleh 12 para perusak ekonomi lainnya. Judul bukunya telah saya kemukakan, yaitu “A Game As Old As Empire”, dan sub judulnya “The Secret World of Economic Hit Men and the Web of Global Corruption.”
Semakin kokohnya neolib dengan konsekwensinya
Namun sayang bahwa sejak Ibu Megawati menjabat sebagai Presiden, kendali ekonomi jatuh ke tangan Berkeley Mafia lagi, yang sejak itu kendali serta kekuasaannya bertambah mutlak.
Konsekuensinya adalah semakin kokohnya liberalisme dan mekanisme pasar primitif, dan semakin kokohnya pengaruh asing dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi kita.
Tingkat kerusakannya sudah sangat parah. Jumlah manusia Indonesia yang menderita kemiskinan sudah melampaui batas-batas yang wajar. Infra struktur, barang dan jasa publik yang krusial buat tingkat kehidupan yang wajar sudah merosot jauh di bawah yang dibutuhkan secara minimal.
Elit bangsa yang sedang berkuasa dengan dukungan dari pembentukan opini publik di dunia semakin gencar menggambarkan bangsa Indonesia yang semakin maju dan sejahtera. Indikator-indikator yang dikemukakannya adalah stabilitas nilai tukar rupiah, PDB yang meningkat, inflasi yang terkendali dan sejenisnya.
Bahwa kesemuanya itu menyesatkan dapat kita pahami kalau kita membandingkannya dengan indikator-indikator yang sama selama penjajahan oleh Belanda selama berabad-abad. Dalam zaman penjajahan segala sesuatunya serba teratur dan stabil. PDB Hindia Belanda meningkat terus. Itulah sebabnya sampai sekarang kita menyaksikan Wassenaar dengan vila-vila yang besar dan mewah dan disebut sebagai daerah pemukimannya oud Indische gasten (para mantan tamu di Hindia Belanda). Ciri khas Amsterdam sebagai pusat perdagangan ketika itu ialah rumah-rumah besar sepanjang sungai-sungai buatan. Kebanyakan dari gedung-gedung itu sekarang berfungsi sebagai perkantoran. Dalam zaman penjajahan adalah rumah-rumah tinggalnya para keluarga yang memperoleh kekayaannya dari Hindia Belanda. Tetapi rakyat Indonesia hidup dengan segobang sehari.
Sekarang juga begitu, kota-kota besar, terutama Jakarta berlimpah-ruah dengan kemewahan. Indikator-indikator yang selalu didengung-dengungkan serba stabil, walaupun ketertiban dan kebersihannya masih kalah dibandingkan dengan zaman penjajahan Belanda. Pesawat udara penuh penumpang, mal-mal mewah padat pengunjung dan jalan-jalan raya macet dengan mobil-mobil mewah. Tetapi ketika Bank Dunia mengumumkan bahwa garis kemiskinan sekarang ditetapkan US$ 2 per hari per orang, 50 % dari rakyat Indonesia menjadi miskin.
Buat saya dan sangat banyak orang Indonesia lainnya yang peduli dan prihatin terhadap nasib bangsa, inilah gambaran negara Indonesia yang dijajah secara modern. Kalau ini yang akan digugat oleh Boediono seandainya dia menang menjadi wakil presiden, bersyukurlah kita.
Peran golongan kemapanan yang tidak tampak lagi
Kondisi ini tidak dapat dibiarkan oleh golongan kemapanan yang masih mempunyai hati nurani. Mengapa golongan kemapanan yang harus membalikkan proses yang menjuruskan bangsa kita ke dalam jurang penderitaan, kemiskinan dan kenistaan ? Karena mereka yang miskin dan menderita tidak mempunyai kekuatan apapun untuk memperbaiki nasibnya. Mereka hanya mampu menerawang ke langit dengan wajah tanpa ekspresi sambil menerima kematiannya karena kekurangan makanan dan pelayanan kesehatan yang paling mendasar.
Golongan kemapanan yang dirinya sendiri tidak mempunyai persoalan untuk hidup serba kecukupan, tetapi hatinya terusik, tidak tega menyaksikan penderitaan sesama anak bangsanya itulah yang harus bergerak membela sesama anak bangsanya yang terinjak, terpinggirkan dan ternistakan oleh elit bangsanya sendiri yang sedang berkuasa, dan lebih senang menjadi kroni dan kompradornya para penghisap bangsa-bangsa lain. Kelompok seperti inilah yang berhasil memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan. Para pendiri negara kita adalah orang-orang berpendidikan tinggi, yang kalau mau menjadi pegawai negeri (ambtenaar) pada pemerintahan Hindia Belanda menikmati gaji yang sangat tinggi. Tetapi mereka memilih keluar masuk penjara ketimbang menjadi pegawai negeri yang menjadi bagian dari birokrasi yang menghisap bangsanya sendiri.
Golongan kemapanan yang peduli, prihatin dan membela kepentingan yang tertindas sudah sangat lama tidak tampak di Indonesia. (bersambung)