Kabinet Indonesia Bersatu jilid II telah diumumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Rabu malam (21/10) di Istana Negara Jakarta. Sejumlah kalangan menyatakan harapan baru pada kabinet yang terbentuk, sebuah harapan agar Indonesia lima tahun ke depan bisa tambah baik, rakyatnya lebih sejahtera, dan angka kemiskinan bisa dikurangi dengan drastis.
Namun banyak pula yang menyatakan jika susunan kabinet baru ini tidak membawa harapan apa-apa karena “chip” di dalam “mikroprosesor” mesin besar bernama Pemerintah Republik Indonesia ini masih saja sama-sebangun dengan yang digunakan sejak masa Jenderal Harto. Ibarat komputer, yang berubah casing-nya doang tapi “jeroannya” sama saja.
Mungkin hal inilah yang membuat pakar komunikasi politik Dr. Effendi Ghazali dalam acara di MetroTeve tadi malam (21/10) menyatakan jika Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini tidak ada bedanya dengan yang jilid I. Hanya saja, mungkin untuk menepis anggapan jika pemerintahan sekarang ini kental dengan NeoLibnya maka beberapa pos bidang ekonomi diisi dengan orang-orang yang selama ini kurang dikenal sebagai pentolan NeoLib. “Dan orang-orang NeoLibnya mengisi jabatan wakil menteri..,” ujar Ghazali sambil tertawa.
Walau pemerintah SBY selama ini tidak pernah mengaku sebagai pemerintahan yang menjalankan agenda besar Neo-Liberal atau NeoLib, namun banyak sekali fakta yang memaparkan kepada kita semua dengan teramat jelas dan telanjang jika NeoLib ini merupakan suatu keniscayaan dan benar adanya. Hanya mereka yang jahil dengan isme-isme dalam ekonomi-politik yang mau percaya dengan apa yang dikatakan pemerintah, atau mungkin juga mereka-mereka yang selama ini diuntungkan oleh sistem NeoLib seperti sekarang ini.
Bagaimana dengan susunan pemerintahan sekarang, termasuk presiden dan wakil presidennya? Mari kita jembreng satu-persatu, kecuali tentu saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah dikenal khalayak luas sebagai orang yang memang dekat dengan Amerika Serikat. Jenderal Angkatan Darat yang mengambil Jalur Staf ini—satu jalur aman karena kebanyakan diisi dengan duduk di belakang meja, sangat beda dengan Jalur Komando seperti yang diambil Prabowo Subianto yang kebanyakan harus aktif di medan tempur dan peperangan—dalam merintis karir militernya, mondar-mandir menuai ilmu di Amerika Serikat dengan mengikuti dua kali program latihan militer di Fort Benning, Georgia (1976 dan 1982). Juga di Fort Leavenworth, Kansas (1991). Gelar Pasca Sarjana pun diperolehnya di Amerika Serikat.
Sebab itu, SBY berterus terang jika AS merupakan negerinya yang kedua setelah Indonesia. Itu ditegaskannya saat berkunjung ke AS tahun 2003 sebagai Menko Polkam dalam Kabinet Presiden Megawati Soekarnoputeri. SBY berkata, ‘’I love the United State, with all its faults. I consider it my second country’’. Saya mencintai Amerika dengan segala kesalahannya. Saya menganggapnya sebagai negeri kedua saya.” (lihat Al Jazeera English–Archive, 6 Juli 2004. Atau bagi yang ingin melihat link-nya silakan klik http://english.aljazeera.net/archive/2004/07/20084913557888718.html).
Sebab itu, bukan barang aneh jika di masa kekuasaan SBY yang pertama (2004-2009), kebijakan pemerintah Indonesia sangat loyal pada imperialisme Amerika Serikat, bahkan hingga harus mengorbankan kepentingan nasional Indonesia sendiri.
Dua contoh yang sangat kasat mata adalah saat menjamu kedatangan Bush di Bogor beberapa tahun lalu yang sangat kelewat berlebihan pelayanannya, yang satu di antaranya adalah pemerintah sengaja melanggar undang-undang yang disahkannya sendiri dengan membangun helipad di tengah Kebun Raya Bogor yang sesungguhnya terlarang menurut UU, dan yang kedua dalam kasus penyerahan Blok Migas Cepu kepada Exxon Mobile, perusahaan dunia milik John David Rockefeller. Banyak orang di dnia ini sudah tahu jika Rockefeller merupakan tokoh Bilderberger Group dan pendiri Trilateral Commission, dua lembaga internasional yang bekerja secara rahasia untuk menciptakan The New World Order, satu tatanan dunia dengan sistem Luciferianis. Ironisnya, Pertamina yang sedari awal menyatakan siap mengelola Blok Cepu dijegal dan dikalahkan. Lagi-lagi kepentingan nasional dikalahkan dan kepentingan imperialisme asing dimenangkan.
Hal ini membuat banyak pejuang kebenaran di negeri ini menangis. Salah satunya Kwik Kian Gie. Dalam artikel berjudul “Kisah Usang Dari Negeri Cepu: Liberalisme Versus Nasionalisme” (dimuat di Feodalisme.com; 7 Oktober 2009), Kwik menutup artikel tersebut dengan kalimat, “Saya terus berdoa kepada Bung Karno dan mengatakan, “Bung Karno yang saya cintai dan sangat saya hormati. Janganlah gundah dan gelisah, walaupun Bapak sangat gusar. Istirahatlah dengan tenang. Saya juga sudah bermeditasi di salah satu vihara untuk menenangkan hati dan batin saya. Satu hari nanti rakyat akan bangkit dan melakukan revolusi lagi seperti yang pernah Bapak pimpin, kalau para cecunguk ini sudah dianggap terlampau lama dan terlampau mengkhianati rakyatnya sendiri.”
Untunglah, saat berkuasa di tahun 2004-2009, ada sejumlah orang di lingkaran dalam presiden yang masih memiliki jiwa nasionalisme untuk menahan kegilaan liberalisasi negeri ini. Mereka antara lain adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Kesehatan DR. Siti Fadhillah Supari.
Berbagai terobosan dilakukan Jusuf Kalla untuk meringankan beban rakyat Indonesia yang kian hari kian dihimpit beban hidup yang semakin berat. Untuk menolong rakyat yang tercekik akibat dinaikkannya harga minyak di negeri ini yang oleh orang-orang NeoLib harus disamakan dengan harga minyak di New York, Kalla menciptakan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi rakyat miskin. Ini baru salah satunya.
Lalu ada pula Menteri Kesehatan Siti Fadhilah Supari yang dengan lantang berteriak menentang WHO dalam urusan pertukaran sampel virus yang dirasakan sangat tidak adil. Bahkan menteri perempuan yang satu ini tanpa sungkan-sungkan berani menuding jika WHO selama ini dijadikan alat negara besar untuk kepentingannya sendiri dengan menjajah negeri-negeri berkembang seperti Indonesia.
Dalam kasus NAMRU-2 (Naval Medical Research Unit-2) milik AS yang secara semena-mena dan sangat bebas bisa bergerak di dalam wilayah kedaulatan NKRI. Menkes Fadhilah Supari juga sangat berani menentang hal ini dan meminta agar pemerintah memutuskan kontrak kerja yang dirasakan sangat zalim dan sama sekali tidak ada untungnya bagi Indonesia.
Presiden SBY tentu amat gerah dengan sikap-sikap bawahannya seperti itu. Namun untuk bisa menindak mereka, tentu SBY juga harus menghitung arah angin yang sedang berlaku. Dalam kasus virus WHO dan NAMRU-2 (Naval Medical Research Unit 2), Menkes Fadhilah Supari mendapat dukungan dari banyak pihak yang disuarakan lewat berbagai media massa cetak maupun elektronik. SBY yang dikenal sebagai presiden yang sangat menjaga imejnya ini tentu hanya bisa bersabar dan menunggu momentum yang tepat untuk ‘menindak’ Menkes yang dianggapnya kelewat berani ini.
Dan momentum yang tepat ya ketika usai pilpres kemarin di mana pasangan SBY-Budiono diputuskan sebagai pemenang oleh KPU. Sebelumnya SBY telah “menceraikan” Jusuf Kalla dan memilih Budiono yang memiliki cita rasa yang sama terhadap Amerika. Dan ketika menyusun Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, SBY tidak lagi “memperpanjang kontrak” dengan Siti Fadhilah Supari dan lebih nyaman memilih dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, sosok yang oleh Siti Fadhilah Supari sendiri ditegaskan amat dekat dengan Namru-2, beda dengan dirinya. (bersambung/ridyasmara)