“Keperluan saya untuk wawancara”.
“Hahh,” Irgi terkejut.
Saya ingat. Saya pernah kontak langsung sang pengawal berdasar nomer kontak yang diberikan Mustafa Nahwa, politisi PAN. Dia juga terkejut seperti Irgi. “Kalau wawancara tidak bisa. Yang mungkin silatuhrami,” tanggapnya.
“Harus jelas, Bapak condong ke 01 atau 02,” tanya Irgi. “Tidak dua-duanya. Saya wartawan. Saya independen,” jawab saya cepat.
“Independen maksudnya, apa? Masak tidak milih salah satu?” tanya Irgi lagi.
(Aduh ini bocah, cerewet amat sih, saya membatin. Irgi memang masih muda, anak Malang, usia di bawah 30 tahun).
Pasti saya memilih salah satu. Nanti pada tanggal 17 April saya akan gunakan hak pilih saya. Sebagai warganegara. Tapi tidak sekarang.
Wartawan tidak boleh berpihak, tidak etis mengumumkan pilihannya lebih-lebih ikut berkampanye di depan publik. Itu bisa mempengaruhi publik. Itu melanggar UU dan kode etik. Yang pasti wartawan akan berpihak pada kebenaran, pada pihak yang lemah, dan wong cilik yang ditindas oleh kekuasaan.
Begitu percakapan saya dengan Irgi. Saya sengaja menuliskan itu di WA supaya sampai ke pengawal dan HRS sekalian. Ini juga saya tujukan untuk menguji HRS apakah menghormati prinsip kerja wartawan.