Muhammad al-Kassas (35 tahun) adalah pemimpin gerakan pemuda Ikhwanul Muslimin. Dia merupakan generasi yang baru saja mengubah wajah Mesir dengan menjatuhkan Presiden Hosni Mubarak.
Selama lebih dua minggu, anak muda Mesir telah mempelopori aksi unjuk rasa yang belum pernah terjadi sebelumnya yang memuncak menjadi sebuah revolusi yang menuntut adanya perubahan, kebebasan dan keadilan sosial.
Melihat kembali revolusi Mesir, al-Kassas berpendapat bahwa pengalaman itu telah meninggalkan kesan yang sangat mendalam pada mentalitas kaum Islamis muda.
"Revolusi Mesir telah membuat para pemuda Ikhwan lebih toleran dalam menerima orang lain," kata al-Kassas. "Di Tahrir Square, kita melihat mereka berbaur dan bahkan makan dengan kaum perempuan, Koptik dan kaum kiri. Pengalaman ini akan mengubah banyak ide-ide para pemuda Ikhwan. "
Di bawah rezim Mubarak, Ikhwanul Muslim secara resmi dilarang, tapi tetap ditoleransi keberadaannya. Sikap toleransi, bagaimanapun, tidak menyelamatkan anggotanya dari penangkapan, pemenjaraan dan pengadilan sebelum pengadilan biasa.
Lingkungan politik yang menindas diyakini telah menyebabkan anggota Ikhwan lebih konservatif, yang menolak keras terhadap demokrasi dan menentang suara-suara reformis yang ada dalam kelompok itu. Tetapi sebagai prospek untuk sebuah tatanan demokrasi baru yang sekarang dirajut, beberapa pakar percaya bahwa Ikhwan akan tersiksa oleh fragmentasi jika prospek kedepan mereka tidak direvisi.
Jika tatanan politik baru yang demokratis adalah lebih baik, "kelompok itu akan berdiri di persimpangan jalan," kata Mokhtar Nouh, salah satu suara reformis Ikhwan yang melepaskan keanggotaannya tahun lalu, karena keberatan terhadap munculnya garis keras di tubuh Ikhwan.
"Ikhwanul Muslimin harus mengembangkan diri dan membentuk partai politik yang nyata atau tetap stagnan. Hal ini akan menyebabkan stagnasi perpecahan antara kaum tua dan kaum muda. "
Namun bagi al-Kassas, perpecahan dalam jajaran generasi muda Ikhwan tampaknya susah untuk terjadi. "Kaum muda Ikhwan berkomitmen untuk Ikhwan dan mereka tidak akan main mata dengan ide untuk berpisah. Plus, mereka memiliki saluran sendiri yang memungkinkan mereka untuk menyampaikan pandangan mereka kepada kepemimpinan Ikhwan," katanya.
Dalam menjelang pemberontakan, Ikhwanul Muslimin enggan untuk menyambut seruan protes pada tanggal 25 Januari. Namun, ketika puluhan ribu rakyat Mesir turun ke jalan, Ikhwan merevisi kembali posisi mereka dan mendukung penuh revolusi, memobilisasi ribuan anggotanya di hari-hari berikutnya.
Sepanjang pemberontakan, anggota pemuda Ikhwan terkesan menahan diri dari menggunakan slogan agama atau simbol Islam. Mereka juga dipuji karena ikut bertarung dengan preman pro-Mubarak yang menyerang Tahrir Square dengan bom molotov, pedang dan rantai besi.
Mengingat keterlibatan erat Ikhwan dalam revolusi, rezim Mubarak tidak bisa mengabaikan Ikhwan dalam dialog nasional yang diadakan dengan oposisi. Untuk pertama kalinya, pemimpin Ikhwanul Muslimin duduk di meja yang sama dengan wakil-wakil rezim, menyiratkan adanya pengakuan resmi pemerintah terhadap Ikhwan yang sebelumnya-dilarang.
Beberapa hari sebelum pengunduran diri Mubarak, Omar Suleiman, wakil Mubarak, telah bertemu dengan pihak oposisi – termasuk Ikhwan – dengan harapan bisa memenuhi tuntutan yang terus tumbuh dari para pengunjuk rasa.
Sementara itu, pemimpin tertinggi kelompok Ikhwan sangat antusias untuk meyakinkan kelompok tertentu dari masyarakat agar tidak takut adanya pengaruh kaum Islamis garis keras. Pada beberapa kesempatan, kelompok ini menegaskan bahwa tidak ada niat melakukan "pembajakan" revolusi atau maju menjadi presiden.
Awal pekan ini, Ikhwan mengumumkan bahwa mereka akan membentuk partai politik, jika konstitusi diubah dan pembatasan pada kegiatan politik dari rezim Mubarak – dicabut.
Sementara itu, militer telah berjanji bahwa periode transisi saat ini akan mengarah pada tatanan demokrasi sipil. Pada hari Minggu, juru bicara militer mengumumkan penangguhan konstitusi dan pembentukan sebuah komisi yang diamanatkan dengan memperkenalkan perubahan konstitusi.
Militer juga telah membubarkan parlemen bikameral yang dipilih dalam pemilu kontroversial akhir tahun lalu, yang secara luas dianggap sebagai penipuan. Pada bagian lain, kelompok oposisi yang dipimpin para pemuda telah menyerukan kepada militer untuk membatalkan undang-undang represif yang mengatur pelaksanaan hak-hak politik di bawah rezim Mubarak. Semua tuntutan ini telah disahkan oleh Ikhwanul Muslimin.
Bagi para analis, memulai pembentukan partai politik akan menimbulkan serangkaian tantangan untuk Ikhwan.
"Satu-satunya masalah dengan membentuk sebuah partai adalah konsensus internal seperti ide dan masa depan hubungan antara partai dan jamaah, bersama dengan model Ikhwanul Muslimin yang akan mengikutinya," kata Khalil Alanani, analis politik Mesir di Durham University Institut Studi Timur Tengah.
Kelompok ini diyakini akan terbagi apakah meninggalkan agenda dakwah atau menjadi sebuah partai politik sipil modern yang tak ada hubungannya dengan khotbah keagamaan.
"Saya tidak berpikir Ikhwan sudah siap sekarang untuk mengambil langkah besar seperti membentuk partai politik, atau setidaknya mereka tidak memiliki visi yang lengkap tentang apa bentuk yang harus mereka ambil," tambah Elanani.
Kekhawatiran Elanani tentang membangun konsensus diremehkan oleh para pemimpin Ikhwan. Dalam sebuah wawancara telepon dengan Al-Masry Al-Youm, Mohamed Morsi, jurubicara resmi Ikhwan, mengatakan bahwa untuk memutuskan platform partai, "Anda tidak perlu sebuah konsensus. Anda perlu mayoritas."
"Ikhwanul Muslimin adalah kelompok yang koheren untuk sebagian besar perbedaan dan pandangan, sehingga tidak menghalangi kemampuan kelompok untuk membuat keputusan yang berbasis mayoritas," tambah Morsi.
Menyetujui atas rincian rumit platform politik mungkin akan menjadi tantangan lain bagi Ikhwan, mengingat adanya perbedaan ideologis yang mungkin ada dalam jajaran Ikhwan sendiri.
Pada tahun 2007, kelompok ini mengirimkan gelombang kejutan di seluruh masyarakat Mesir setelah merilis platform politik mereka. Dokumen ini berisi benih-benih negara teokratis, dengan beberapa pakar mengatakan bahwa platform politik mereka mendiskriminasikan kaum minoritas non-Muslim dan kaum perempuan. Platform ini dilihat oleh banyak kritikus sebagai bukti bahwa Ikhwan sebagian besar telah diambil alih oleh kubu garis keras.
"Platform lama harus ditinjau kembali dalam menyoroti perkembangan terakhir dan pengalaman revolusi Mesir," kata al-Kassas.
Menurut Hossam Tamam, seorang pakar pada kelompok-kelompok Islam, Ikhwanul Muslimin berfungsi sebagai payung bagi pertentangan pemikiran Islam mulai dari fundamentalisme Salafi ke Islamisme liberal.
"Jika sistem politik membuka dengan cara yang benar, Ikhwanul Muslimin tidak akan mampu mengelola semua perbedaan internal," jelas Tamam.
"Apa yang menjamin konsistensi Ikhwan adalah sistem politik tertutup. Atau tidak adanya faksi politik baru yang memiliki prospek di luar kelompok."(fq/almasryalyoum)