Di luar dugaan banyak pihak, perompakan yang dilakukan kelompok bersenjata Somalia terhadap Kapal Sinar Kudus menyimpan seribu satu ‘keanehan’. Dari penuturan para Anak Buah Kapal atau ABK Sinar Kudus yang semuanya selamat, ikatan iman ternyata menjadi hal utama kenapa para perompak memperlakukan tawanan dengan baik. Jauh seperti gambaran para perompak umumnya terhadap para tawanan.
Hal tersebut disampaikan sejumlah tawanan yang semuanya selamat tiba di Indonesia pada Jumat lalu. Sejumlah pengalaman yang mungkin di luar nalar pun mereka tuturkan. Dan hal tersebut berlangsung sejak awal perompak memasuki kapal MV Sinar Kudus.
Seperti yang dituturkan kapten kapal Slamet Jauhari kepada wartawan setibanya di tanah air. Menurut Slamet, ketika perompak memasuki kapal Sinar Kudus setelah sebelumnya meneror dengan sejumlah tembakan peringatan, beberapa orang di antara mereka langsung memperlihatkan wajah penyesalan.
Mereka tidak mengira kalau kapal yang mereka sergap adalah milik Indonesia yang menurut mereka ‘saudara’ sesama muslim. Saat itu mereka mengatakan, “No problem! No problem!” Mereka pun langsung berdebat sengit satu sama lain, seperti saling menyalahkan.
Para perompak mengucapkan permohonan maaf. Tapi karena sudah terlanjur berada di kapal Sinar Kudus, para perompak meminta bantuan kapten untuk menjadikan kapal tersebut sebagai kendaraan ke kapal lain yang lewat di kawasan teluk Aden. Karena tak punya pilihan, kapten Slamet pun mengikuti permintaan para perompak.
Saat itu, para ABK merasa lega karena mereka bukan target perompakan. Tapi, hari itu, tak satu pun kapal lewat. Begitu pun di hari kedua, dan hal yang sama pada hari ketiga dan seterusnya.
Pada hari-hari berikutnya, para perompak akhirnya memutuskan untuk membajak kapal yang sudah mereka kuasai itu. Dan mereka pun meminta bantuan awak untuk menyampaikan harga tebusan.
Menariknya, selama penantian negosiasi antara pihak perompak dengan pemerintah Indonesia, para ABK dengan perompak seperti tidak terlihat adanya permusuhan. Tak seorang pun dari ABK yang dipukul, bahkan diikat.
Hal yang mungkin tidak bisa masuk ke nalar orang selain muslim, antara perompak dan ABK terjalin hubungan ‘kekeluargaan’ selama 46 hari masa penyanderaan. Antara lain, seperti yang dituturkan salah seorang ABK, Hari Suhairi kepada wartawan, antara perompak dan ABK yang berjumlah dua puluh orang biasa melaksanakan shalat Maghrib dan Isya berjamaah. Mereka pun bahkan bertadarus Alquran bersama-sama di waktu malam.
Saat-saat seperti itulah terjalin komunikasi kekeluargaan antara ABK dengan para perompak yang berjumlah sekitar tiga puluhan orang. Di antara para perompak itu menuturkan kalau mereka terpaksa melakukan tindakan yang mereka akui sebagai sebuah keburukan. Hal itu karena mereka terpaksa di tengah kemiskinan hidup warga Somalia saat ini.
Dari segi penampilan, wajah miskin mereka memang terlihat jelas. Antara lain, postur mereka yang umumnya kurus-kurus, baju yang agak compang-camping, ketidakaturan hidup seperti membuang sampah sembarangan, tingkat pendidikan yang kurang memadai, dan sebagainya. Tapi, di balik itu semua, mereka tidak bisa menyembunyikan kepolosan mereka sebagai seorang muslim yang terjebak dalam kemiskinan struktural di Somalia.
Begitu pun ketika uang tebusan telah mereka terima. Para perompak tidak langsung membawa tas berisi uang ke lokasi markas mereka. Dengan santai, mereka membagi-bagikan uang tersebut saat masih berada di kapal Sinar Kudus.
Setelah sepertinya uang diterima dengan rata, para perompak turun dari kapal dengan tidak serempak, tapi kelompok demi kelompok ke tempat tinggal mereka masing-masing. “Yah, seperti angkot yang menurunkan penumpang satu per satu ke tempat tujuan,” ujar salah seorang ABK yang masih memperlihatkan keheranannya.
Dan saking miskinnya, para perompak mengambil apa saja yang dimiliki para ABK. Mulai dari baju termasuk pakaian dalam, perlengkapan elektronik, sepatu termasuk sandal butut ABK, dan lain-lain. mh