Eramuslim.com – Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surabaya pada Ahad (25/9) telah menggelar Musyawarah “Bahtsul Masail” membahas “Dukungan Kepada Pemimpin Non Muslim” yang dilaksanakan di Masjid Sabil Al-Mutathahhirin Barata Jaya Surabaya.
Dalam tulisan keputusan Bahtsul Masail yang diterima aktual.com mengatakan bahwa permasalahan ini tidak dimaksudkan untuk menebarkan isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) dan merusak hubungan lahiriah (mu’amalah zhahirah) yang telah terjalin secara baik antara muslim dan non muslim di Indonesia.
Namun hal tersebut benar-benar dimaksudkan sebagai petunjuk (irsyad) bagi kaum muslimin dalam berpartisipasi membangun negeri sesuai ajaran agama yang diyakininya.
Dari hasil keputusan tersebut muncul beberapa pertanyaan seperti apakah seorang muslim boleh memilih kandidat pemimpin nonmuslim, baik di tingkat daerah seperti Bupati/Walikota/Wakil, maupun di tingkat yang lebih tinggi seperti Gubernur atau Wakil Gubernur dan Presiden atau Wakil Presiden?
Dan untuk menjawabnya beberapa ulama menyampaikan bahwa hukum memilih pemimpin non muslim seperti Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden adalah HARAM.
Sebab, memilihnya berarti mengangkatnya sebagai pemimpin dan menjadikan kaum muslimin di bawah kekuasaan, dominasi dan superioritasnya. Hal ini juga selaras dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ. (المائدة: 51
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai penolong/penguasa. Sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. Orang dari kalian yang menolong mereka, maka ia termasuk bagian darinya. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. al-Maidah: 51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ. وَاتَّقُوا اللهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (المائدة: 57
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan orang-orang yang menjadikan agama kalian sebagai gurauan dan permainan dari golongan ahli kitab dari sebelum kalian dan orang-orang kafir sebagai penolong/penguasa. Bertakwalah kalian kepada Allah jikan kalian adalah orang-orang yang beriman.” (QS. al-Maidah: 57)
Menurut para ulama bahwa dalam kebanyakan kasus yang dikaji kitab-kitab fikih, hukum menguasakan non muslim untuk menangani urusan kaum muslimin adalah haram. Seperti keharaman meminta tolong non muslim untuk memerangi pemberontak, menjadikannya sebagai eksekutor hukuman mati dan semisalnya, mengangkatnya sebagai pegawai bait al-mal dan penarik kharraj (semacam pajak), menjadikannya sebagai wazir at-tanfidz (semacam tim pelaksana dalam kementerian di sistem ketatanegaraan Islam klasik), serta mengurus urusan kaum muslimin secara umum.
Selain itu meskipun ada pendapat ulama (Syaikh Ali Syibramalisi) yang mengecualikan keharaman dalam bidang-bidang tertentu yang dari sisi kemaslahatan penangannya harus diserahkan kepada non muslim…, baik karena tidak adanya muslim yang mampu menanganinya atau karena tampaknya pengkhianatan darinya, namun pendapat tersebut tidak bisa digunakan untuk melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim. Sebab kekuasaan, dominasi, dan superioritasnya…baik dalam ucapan maupun perbuatan…terhadap rakyat yang muslim sangat besar dan tidak terhindarkan. Selain itu, kewajiban adanya kontrol yang efektif pun tidak mungkin terpenuhi, yaitu mengawasi dan mencegahnya agar tidak menguasai dan mendominasi satu orang pun dari kaum muslimin.
Bahkan dalam beberapa kasus yang disebutkan pada poin 1) terdapat khilaf, seperti menjadikan non muslim sebagai wazir at-tanfidz dan menjadikannya sebagai petugas penarik pajak, namun pendapat…yang lemah…yang membolehkannya ini tidak bisa dijadikan dasar untuk membolehkan memilih pemimpin non muslim. Sebab unsur kekuasaan, dominasi dan superioritas non muslim atas kaum muslimin dalam kasus-kasus tersebut sangat kecil atau bahkan tidak ada.
Tidak sebagimana dalam kasus pemimpin non muslim menjadi Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur, dan Presiden/Wakil Presiden, yang meskipun secara legal formal sistem tata negara modern merupakan lembaga eksekutif atau pelaksana saja, namun pada kenyataannya unsur kekuasaan, dominasi dan superioritasnya terhadap rakyat muslim sangat besar.
Selain itu, kewenangannya dalam mengambil berbagai kebijakan juga sangat besar, berbeda dengan wazir at-tanfidz maupun petugas penarik pajak yang hanya murni sebagai pelaksana saja.
Lebih jauh para ulama menerangkan bahwa sistem trias politica yang membagi kekuasaan dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang diterapkan di Indonesia tidak dapat menafikan unsur dominasi dan superioritas masing-masing lembaga terhadap rakyat.
Bahkan asumsi dalam memilih pemimpin non muslim sebagai strategi politik untuk mencapai kepentingan yang lebih besar bagi kaum muslimin juga tidak dapat dibenarkan. Sebab hal ini secara nyata justru membahayakan kaum muslimin.
Pendapat ulama yang terkesan lebih mengutamakan kekuasaan sekuler (baca: kafir) yang adil daripada kekuasaan Islam yang zalim dan jargon: “Pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang zalim”, harus dipahami dalam konteks menyampaikan urgensitas keadilan bagi suatu pemerintahan, sebagaimana pendapat beberapa ulama, bukan dalam konteks melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim.
Asumsi bahwa penafsiran kata ‘auliya dengan makna pemimpin/penguasa—dalam beberapa ayat yang menyinggung hubungan muslim dan non muslim, semisal QS. al-Maidah: 51 dan 57—adalah penafsiran yang salah, sehingga digunakan untuk melegitimasi bolehnya memilih pemimpin non muslim, tidak sepenuhnya benar. Sebab ayat-ayat tersebut oleh sebagian ulama juga digunakan sebagai landasan ketidakbolehan menguasakan urusan ketatanegaraan kaum muslimin kepada non muslim, seperti Khalifah Sayyidina Umar bin al-Khattab ra dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra sebagaimana dikutip dalam berbagai kitab fikih siyasah. Seperti dalam Husn as-Suluk al-Hafizh Daulah al-Muluk (h. 161) karya Muhammad bin Muhammad al-Mushili as-Syafi’i, Ma’alim al-Qurbah fi Thalab al-Hisbah (h. 44) karya Ibn al-Ukhuwwah al-Qurasyi as-Syafi’i, dan Siraj al-Muluk (h. 111) karya Muhamad bin al-Walid at-Tharthusyi al-Maliki.
Berikut ini referensi:
1. Tahrir al ahkam, Ibnu Jamaah Asysyafi. (Hal 146 1477)
2. Maalim al qurbah, Ibnu Alqursyi juz 1 hal 42
3. Siraj Al Muluk, Athurthusyi al Maliki juz 3 hal 111
4. Tuhfah Al Muhtaj, Asyarwany juz 9 hal 72 73
5. Tafsir Ayat Al Ahkam juz 5 hal 181
6. Rad Al Mukhtar juz 4 hal 211
7. Al Ahkam Al Sulthoniyah, Imam Mawardi juz 1 hal 43
8. Ghiyats Al Umam hal 114
9. Raudhah Thalibin juz 6 hal 367
10. Husnu Suluk Daulah Muluk, Muhammad bin Abdul Karim al Musily Asyafii hal 161
11. Qurrat Al Ain, Syeikh Ismail Zein, hal 199
12. Al Masbuk fi Nasihat Al Muluk, Imam al Ghazali juz 1 hal 17
13. Tafsir Mafatih Al Ghaib, Imam Fakhrudin Arrazy juz 18 hal 61
14. Siraj Al Muluk, Imam Thorthusyi Al Maliki juz 1 hal 43
15. Tuhfah Al Muhtaj wa Hawasyi As Syarwany juz 9 hal 299
Musahih: KH Mas Sulaiman, KH Mas Mahfudz, KH Ahmad Asyhar Shofwan, KH Farohi Haroen, KH M Ali Maghfur Syadzili Iskandar
Perumus: K Makruf Khozin, KH Sholihin Hasan, K Luqmanul Hakim, K Mas Gholib Basyaiban
Moderator: Ahmad Muntaha AM
Notulen: KH Muhammad Muhgits, K Nur Hadi
Deden Sajidin
(jk/akt)