Eramuslim.com – Banyaknya Muslim Rohingya memanggil para ulama dari Yangon untuk berdakwah dan membina saudara-saudara mereka di Arakan. Para ulama terpanggil untuk mengunjungi saudara-saudara seiman mereka yang biasa disebut sebagai Muslim Rohingya. Mereka ingin agar Muslim Rohingya tetap berada di jalan kebaikan, mengasihi sesama, dan menebarkan benih-benih keluhuran di mana pun berada.
Saat itu, 3 Juni 2012, sepuluh ulama mulai melakukan perjalanan darat melalui Tangu, untuk sampai ke Arakan. Tanpa ada angin atau hujan, tiba-tiba bus dihentikan paksa. Sekelompok orang bersenjatakan parang, tombak, dan senjata tajam lainnya menyerang kesepuluh ulama yang sama sekali tidak bersenjata itu.
Gerombolan Budha esktremis itu memerintahkan semua yang ada di dalam bus keluar. Hanya dalam beberapa menit, kesepuluh ulama itu menemui ajal dengan sangat mengerikan dan menyakitkan. Leher mereka dipenggal dan darah membuncah di mana-mana. Gerombolan itu bersorak kegirangan dan meneriakkan yel-yel perang.
Peristiwa itu oleh media massa mainstream Myanmar dianggap sebagai peristiwa kriminal. Kesepuluh ulama, demikian dikatakan mereka, dibunuh massa karena telah bersekongkol memperkosa seorang gadis Budha bernama Thida Htwe. Beberapa provokator berjubah biksu memprovokasi massa di berbagai daerah. Kemarahan tersulut dan semua terbakar amarahnya. Padahal, Burma Times sedikit jernih dengan menulis jika gadis bernama Thida Htwe sesungguhnya tidak pernah diketahui atau hanya tokoh fiktif. Namun hampir seluruh media melaporkan jika orang-orang Muslim berada di balik pemerkosaan terhadap Thida Htwe.
Lima hari kemudian, tepatnya 8 Juni 2012, massa Rakhine Buddhis menyerang desa-desa Muslim Rohingya. Tentu saja, Muslim Rohingya tidak ingin mati sia-sia, dengan segala yang ada, Muslim Rohingya menghimpun kekuatan dan melawan, korban berjatuhan di kedua pihak, dan korban di pihak Muslim Rohingya sangatlah besar.
Hari berikutnya, massa Rakhine Buddhis yang kalap menyerbu desa-desa Muslim Rohingya. Massa mengosongkan permukiman Muslim Rohingya di tengah kota. Pada 11 Juni 2012, Presiden Thein Sein mengumumkan keadaan darurat. Keesokan hari, pembantaian tidak lagi dilakukan massa Rakhine Buddhis tapi diikuti oleh tentara dan polisi Myanmar, dengan jumlah korban mencapai ratusan.
Hari-hari berikutnya adalah penggiringan Muslim Rohingya ke Aung Mingalar, sebuah kawasan permukiman mirip ghetto ciptakan Nazi Hitler di Eropa. Lainnya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh-Myanmar, dan ditampung di kamp-kamp pengungsi yang sangat mirip kandang babi.
Tidak ada lagi Muslim Rohingya berjalan-jalan di Sittwe, Akyab, dan kota-kota lainnya di Rakhine. Tidak ada lagi masjid-masjid, mushola-mushola, serta anak-anak berlarian dari dan ke madrasah. Azan lenyap dari Arakan. Suara muazin tertahan dinding bambu mushola kecil di Aung Mingalar, dan ghetto Muslim Rohingya lainnya. Masih ada para tetua menulaikan shalat, dan wanita berjilbab, tapi anak-anak kehilangan madrasah dan Juz Amma.
Dan yang sedihnya lagi, tidak ada satu pun media besar yang memberitakan pembantaian dan pemusnahan etnis ini. Tidak pula media-media negeri Islam. Kalau pun ada, maka bukan media mainstream. Dan sekarang, kondisi Muslim Rohingya di Arakan masih sama, tinggal di dalam ghetto-ghetto yang diciptakan rezim terorisme Budha. Apakah umat Islam akan berdiam diri saja melihat saudara-saudaranya diperlakukan seperti itu?(rz)