Eramuslim.com – Dalam website resminya, Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) menyatakan jika pihaknya memang bekerjasama dengan Zionis-Israel. Di mata GIDI dan gereja injili lainnya, di dunia Barat dikenal sebagai Gereja Evangelist, Israel adalah bangsa pilihan tuhan dan sebab itu harus dianggap sebagai perwakilan dari tuhan itu sendiri. Mereka ini menutup kuping, telinga, dan matanya rapat-rapat tentang betapa biadab dan kejamnya Zionis-Israel dalam memerangi bangsa Palestina–walau di antara bangsa Palestina juga ada warga Kristennya–dan tetap menuhankan Israel.
Adalah menjadi satu pertanyaan besar saat ini, mengapa aras utama umat Kristiani Dunia di dalam aspirasi politiknya sekarang cenderung satu suara, satu tujuan, satu sikap, dengan kaum Zionis-Israel seperti yang, misalkan, diperlihatkan dengan begitu baik dalam acara solidaritas Israel-Amerika bertajuk Stand With Israel yang digagas tokoh Gedung Putih Zionis-Yahudi bernama Paul Wolfowitz pada tahun 2002.
Atau mengapa ketika Gereja Nativity di Betlehem, Palestina, sebuah gereja tersuci dalam agama Kristen karena diyakini sebagai tempat kelahiran Yesus, dikepung dan ditembaki tentara Zionis-Israel, umat Kristen dunia diam dan tidak menunjukkan reaksi apa pun? Hal inilah yang jadi pertanyaan besar pada diri seorang Yvonne Ridley, seorang wartawati sebuah tabloid yang terbit di London yang ditawan Thaliban dan diperlakukan dengan sangat baik.
Pada bulan September 2001, Ridley yang ditugaskan meliput Afghanistan ditangkap dan disandera oleh Milisi Thaliban yang saat itu masih menguasai sebagian besar wilayah Afghan. Awalnya Ridley takut bukan main. Dalam benaknya, ia berpikir bahwa para penyandera, teroris itu, akan segera membunuhnya, atau paling tidak akan melakukan pelecehan terhadap dirinya.
Di dalam berbagai wawancaranya, Ridley mengatakan bahwa di hari-hari awal disandera Milisi Thaliban, dirinya selalu mengeluarkan umpatan dan kata-kata keras kepada orang-orang yang menjaganya.
“Walau saya selalu mengeluarkan kata-kata kotor, umpatan, dan segala hal yang mampu saya katakan, mereka diam saja. Malah saya dijaga dengan penuh hormat. Seorang pemimpin kelompok yang menangkap saya pernah berkata bahwa tidak seorangpun boleh menyentuh saya. Dia bahkan mengancam akan membunuh siapa pun yang berani melanggar perintah itu. Saya dilayani dengan amat baik, makan dan minum seperti apa yang mereka makan dan minum. Tidak ada perbedaan. Dan saya tidak disentuh sedikit pun oleh mereka…” ujar Ridley.
Hal ini mengusik benaknya. Ia tidak habis pikir mengapa bisa dia diperlakukan para penyanderanya begitu baik, berlawanan sekali dengan apa yang selama ini ia dengar dari berbagai berita media Barat. Yvone Ridley mulai mempelajari dan membandingkan antara Islam dengan Kristen. Ia membolak-balik Al-Qur’an dan juga Injil, serta melakukan dialog dengan orang-orang yang dianggapnya mengetahui lebih banyak.
Tak lama kemudian wartawati Inggris ini pun membulatkan tekad untuk bersyahadat memeluk Islam. Bukan itu saja, ia pun segera mengenakan kerudung agar semua orang tahu bahwa ia kini seorang Muslimah.
Banyak orang bertanya padanya mengapa ia akhirnya memilih untuk membuang keyakinan lamanya dan memeluk Islam.
Ridley mengatakan, “…saya dapat memastikan momentum kehilangan kepercayaan saya kepada agama Kristen. Waktu itu, ketika terjadi pengepungan atas Lapangan Manger, ketika tentara Israel menghujani Gereja Kelahiran Yesus Kristus dengan tembakan atas gereja paling suci di dunia Kristen, dan pada waktu itu tidak ada seorang pun pemimpin gereja di negeri ini yang mengutuk atas apa yang tengah berlangsung. Anak-anak di seluruh negeri ini mengulang kembali kejadian Kelahiran setiap hari raya Natal, suatu hal yang paling inti dalam agama Kristen, dan tidak seorang uskup atau uskup agung pun – tidak seorangpun –yang tegak berdiri. Kalau mereka saja tidak memiliki keyakinan untuk berdiri melawan dan berteriak menentang kezaliman yang tengah berlangsung atas gereja paling suci di dunia Kristen, kalau mereka saja tidak perduli, lalu untuk apa pula saya harus perduli?”
Yvonne Ridley berkata dan bersikap jujur. Ia berbicara apa adanya. Adalah suatu fakta yang tidak bisa dibantah oleh siapa pun bahwa setiap Zionis-Israel membunuhi bayi-bayi Palestina tak berdosa, membantai bocah-bocah yang masih bersekolah di taman anak-anak, mengebom rumah sakit, gereja, dan masjid, meluluhlantakkan pasar, menghilangkan harapan dan masa depan ratusan ribu manusia tidak berdosa, saat itu tidak ada sedikit pun penentangan dan kecaman keluar dari mulut para tokoh Kristen, baik tokoh gereja maupun politik.
Mereka semua diam bagai perawan yang sedang dilamar pemuda idaman, ketika tentara Zionis-Israel menari-nari kegirangan di atas genangan darah anak-anak dan bayi-bayi mungil. Gereja sekarang ini amat sangat takut dengan hantu yang diciptakan kaum Zionis yang bernama cap ‘anti Semit’.
Kenyataan inilah yang membuat orang-orang yang cerdas dan kritis seperti Yvonne Ridley bertanya ulang tentang makna kekristenan sekarang ini. Sekarang, Yvonne Ridley menjadi salah satu aktivis Islam yang berjuang membersihkan bumi dari segala sampah peradaban yang selalu diproduksi oleh kelompok-kelompok Zionis-Kristen.
Kedekatan Dunia Kristen dengan kaum Zionis sekarang ini sebenarnya berasal dari sebuah infiltrasi dan rekayasa ideologis yang telah dilakukan lama sekali oleh kaum Yahudi. Sejarah telah mencatat, betapa dulu, kedua pihak ini—Yahudi dan Kristen—memiliki sejarah konflik yang sangat keras dan berdarah-darah.
Bahkan Yesus pernah dikejar-kejar penguasa Romawi untuk dibunuh gara-gara pengkhianatan seorang Yahudi. Beberapa peristiwa di masa silam seperti Dewan Inkuisisi di Spanyol dan Portugis, juga memperlihatkan betapa kerasnya Gereja memusuhi kaum Yahudi. Namun dalam sejarah kita juga menemukan beberapa peristiwa yang aneh yang membuat kita berpikir bahwa sebenarnya Gereja itu amat dekat dengan kaum Zionis.
Seperti halnya ketika kita menyinggung tentang Paus John XXIII yang sangat aneh bin ajaib memiliki banyak kesamaan dengan Jean Cocteau, seorang Grand Master Biarawan Sion. Berenger Sauniere sendiri jabatan resminya adalah pastor, walau dalam aktivitasnya banyak bersinggungan dengan ajaran Kabbalah yang secara prinsip sebenarnya amat bertentangan dengan kekristenan (Anti Christ).
Lantas jika benar ada infiltrasi Zionis-Yahudi (Ordo kabbalah) terhadap Gereja, sejak kapan hal itu terjadi? Hal ini sebenarnya secara ekstrem bisa kita katakan terjadi di saat Yesus masih hidup.
Lynn Picknett dan Clive Prince di dalam The Templar Revelation: Secret Guardian of the True Identity of Christ (1997) sudah memaparkan secara panjang lebar bagaimana sikap sesungguhnya dari Ordo Kabbalah terhadap ajaran yang dibawa Yesus. Ordo Kabbalah ini, pemuja Yohannes Pembaptis yang oleh mereka disebut sebagai Yohannes Kristus, tidak mengakui Yesus sebagai Kristus dan menganggapnya sebagai manusia biasa.
“Banyak orang menganggap bahwa kekristenan itu satu, padahal kenyataannya tidak. Kekristenan itu mempunyai banyak warna dan ragam,” ujar Picknett dan Prince.
Penyangkalan mereka terhadap Yesus lebih didasari oleh motif kekuasaan. Terlebih ketika Peter mengklaim pihaknya menerima warisan gereja Yesus, kegeraman mereka kian menjadi-jadi karena mereka ingin Yesus mewariskan gerejanya kepada Maria Magdalena.
Jadilah mereka suatu kaum yang berketetapan hati untuk menghancurkan Gereja dengan segala cara. Salah satunya: menjadi pendeta agar bisa menghancurkan gereja dari dalam. Ini secara tegas ditulis oleh Pemimpin Tertinggi Kaum Yahudi di Istambul dalam surat balasannya tertanggal 24 Juli 1489 kepada Rabbi Shamur dan komunitas Yahudi di Perancis yang sedang ditindas oleh raja dan Gereja.
Masuknya orang-orang Yahudi ke dalam Gereja bukan didasari oleh keyakinan mereka terhadap Yesus maupun keyakinan mereka terhadap ‘kebenaran’ agama Kristen. Orang-orang Yahudi itu in-mission memeluk Kristen. Mereka memenuhi Gereja agar bisa menjadi pemimpin-pemimpinnya dan kemudian menghancurkan nilai-nilai asasi dari Gereja dan menggantinya dengan nilai-nilai serta keyakinan Kabbalis mereka sendiri. Tentu saja, semua ini dilakukan dengan penuh kerahasiaan.
Salah satu hal yang paling mendasar untuk menaklukkan dan menunggangi Gereja dan umatnya adalah dengan merusak kitab suci umat Kristen itu sendiri. Untuk tugas ini, kelompok Yahudi Kabbalis ini memasukkan agennya bernama Paulus merapat ke Yesus sehingga dikenal sebagai Santo (orang suci) Paulus. Siapa sebenarnya Paulus? (Bersambung/rz)