Wacana anti-imigran tiba-tiba saja meledak di seantero daratan Eropa. Ibarat virus (penyakit menular), masyarakat Eropa seolah terinfeksi penyakit ini dan menerima begitu saja argumen-argumen anti-imigran yang dihembuskan oleh kelompok kanan-jauh di Eropa yang sejatinya diarahkan pada komunitas Muslim di Eropa yang belakangan makin berkembang dan mulai menjadi komunitas yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat Eropa.
Wacana anti-imigran kini tidak lagi sebatas retorika tapi sudah mengarah pada upaya untuk diterapkan sebagai sebuah kebijakan di negara-negara Eropa, yang tak terhindarkan, memicu perdebatan pro dan kontra mulai dari elemen masyarakat hingga pejabat pemerintahan. Jerman sebagai salah satu negara Eropa yang menjadi tujuan para imigran, terutama imigran Muslim tak terkecuali terkena "virus" anti-imigran, sehingga Kanselir Jerman Angela Merkel merasa perlu mengomentarinya.
Merkel dalam pidatonya di hadapan anak-anak muda Partai Persatuan Kristen Demokrat–partai tempatnya bernaung–akhir pekan kemarin mengatakan bahwa kehidupan multikultur di Jerman gagal total, karena Jerman sebenarnya adalah negara yang terbuka bagi para imigran dan Islam merupakan bagian dari budaya Jerman yang modern di abad ini.
Namun sebuah studi yang dilakukan Friedrich Ebert Foundation-lembaga kiri tengah di Jerman–seolah ingin membuktikan bahwa ada kekhawatiran di tengah masyarakat akan kehadiran para imigran. Studi itu mengklaim bahwa 30 persen responden meyakini bahwa "Orang-orang asing telah menyerbu negara Jerman". Orang-orang asing itu datang ke Jerman untuk mencari keuntungan sosial. Oleh sebab itu–mengutip pernyataan dari hasil studi tersebut–"Orang-orang asing itu harus dipulangkan ke rumah (negara asal) mereka kalau lapangan pekerjaan makin sempit."
Perdebatan seputar wacana anti-imigran ini memanas ketika awal tahun 2010 kemarin, seorang eksekutif bank di Jerman menerbitkan buku yang memicu kontroversi. Thilo Sarrazin–nama banker itu–secara terbuka mengungkapkan ketidaksenangannya terhadap imigran Muslim di Jerman yang mayoritas berasal dari Turki dan Arab.
"Saya tidak mau negara milik cucu dan cicit saya ini menjadi, sebagian besar Muslim, di banyak wilayah didiami oleh orang-orang Turki dan orang yang berbahasa Arab, di mana kaum perempuan mengenakan jilbab dan irama kehidupan sehari-hari didikte oleh suara azan yang dikumandangkan oleh para muazin," tulis Sarrazin.
Ia juga menyatakan bahwa secara demografis, menjamurnya para imigran Muslim merupakan ancaman bagi keseimbangan kebudayaan dan peradaban di Eropa. Sarrazin mengkritik makin lemahnya ikatan rasa kebangsaan orang-orang Jerman yang menyebabkan gagalnya upaya untuk mengintegrasikan para imigran, utamanya Muslim, ke dalam bagian negara Jerman.
Siapa Kelompok Kanan Jauh?
Slavoj Žižek, intelektual dan ahli filsfat asal Slovenia mengkritik sepak terjang kelompok kanan jauh yang menurutnya sudah mencekoki publik Eropa dengan apa yang ia sebut kebutuhan akan kebijakan anti-imigrasi yang sudah saatnya dibutuhkan Eropa.
Dalam wawancara dengan Democracy Now, Žižek yang dijuluki "the Elvis of cultural theory" dan dikenal sebagai sosok yang kontroversial ini mengkritik orang-orang Eropa yang menurutnya agak arogan. Eropa selalu merasa sebagai panutan dalam hal toleransi. Padahal yang terjadi, di beberap wilayah tenggara Eropa, Rumania, Hungaria bahkan Belanda yang katanya dikenal sebagai negara yang sangat toleran, termasuk Norwegia, merupakan negara-negara yang sekarang identik dengan ketidaktoleransiannya.
"Dan apa yang sangat khawatirkan adalah, bagaiman kelompok kanan jauh ini membuat sebuah agenda umum, meski mereka cuma kelompok minoritas," ujar Žižek.
Yang lebih memprihatinkan adalah retorika yang menyesatkan dalam menghadapi kelompok tersebut. Dari satu sisi, Žižek, Eropa mengecam kelompok ini dan seolah mengatakan bahwa "Tidak ada tempat bagi mereka di negara demokratis yang sudah mapan ini", tapi di sisi lain Eropa mengatakan, "Tapi mereka (kelompok kanan jauh) menyuarakan apa yang menjadi kekhawatiran yang riil di masyarakat."
"Sebuah trik yang canggih untuk mencegah gejolak kebencian yang muncul," kata Žižek.
Yang tak kalah krusial, sambung Žižek, "ledakan" anti-imigran ini dikait-kaitkan dengan kemunduran para politisi sayap kiri, khususnya dalam masalah perekonomian. Kelompok kiri ini tidak mau menyentuh isu-isu yang menyangkut masyarakat kelas pekerja atau warga masyarakat kelas bawah dan celah itu dimanfaatkan oleh kelompok kanan anti-imigran.
Žižek berpendapat ada yang salah dari standar liberal dan pandangan mengenai multikultur. Yang dibutuhkan publik, termasuk semua kelompok etnis adalah kerangka hukum yang netral, yang bisa menjamin bahwa semua kelompok etnis bisa hidup berdampingan dengan damai. Namun nilai-nilai itu telah terkikis dan masyarakat mulai mengabaikan kelompok lain yang juga hidup di sekeliling mereka.
Polling yang dilakukan Portal berita Christian Science Monitor menunjukkan bahwa 13 persen warga Jerman menyatakan siap menerima kehadiran seorang pemimpin baru "New Fuhrer", lebih dari sepertiga responden merasa bahwa negara mereka telah diserbu orang-orang asing, dan 60 persen responden mengatakan akan membatasi agama Islam di negeri itu. Publik Jerman menganggap orang-orang asing yang datang ke negaranya sebagai imigranlah yang suatu saat kelak menjadi "New Fuhrer" itu, "Penguasa baru" di Jerman.
Žižek menilai hasil studi tersebut sebagai sebuah ironi karena secara pribadi, berdasarkan pengalamannya, Jerman adalah negara yang lebih toleran dibandingan Perancis, misalnya. "Situasi sebenarnya memang tidak seperti yang terlihat mata, tapi jika Anda berkunjung ke berbagai tempat di bekas wilayah Jerman Barat, Anda akan melihat pemandangan sebuah kolaborasi yang luar biasa," tukas Žižek.
Pertanyaan yang mendasar untuk semua ini adalah bagaima peta politik di Eropa mengalami perubahan dengan cara yang mengerikan, di mana kelompok minoritas seperti kalangan kanan jauh ini bisa begitu besar menginfeksi seluruh elemen di masyarakat dan level pemerintahan dengan agenda anti-imigrannya.
Perubahan Peta Politik
Žižek mengatakan di Jerman peta kekuatan politik terbagi menjadi dua kekuatan besar yaitu satu partai besar sayap kanan dan satu partai besar sayap kiri, dengan partai-partai kecil di sekelilingnya. Sekarang, ada kecenderunga di negara-negara Eropa munculnya partai berbasis kapitalis liberal yang kian populer di tengah masyarakat.
Partai ini dianggap lebih membumi karena mengurusi persoalan-persoalan sosial yang dekat dengan kepentingan masyarakat, seperti masalah aborsi dan hak asasi kaum perempuan. dan yang menjadi kelompok oposisi mereka adalah kalangan pro-imigran dan kelompok anti-imigran. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok anti-imigran membentangkan sayapnya dengan menyuarakan protes yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.
Ahli filsafat asal Slovenia itu mengutip kata bijak intelektual Jerman Walter Benjamin yang mengatakan bahwa "Dibalik setiap fasisme, ada sebuah revolusi yang gagal". Di Eropa terjadi arogansi dan gejala yang menimbulkan kesan yang negatif. "Ketika orang menyerang latar belakang ras orang lain, hal itu mirip dengan apa yang dilakukan kelompok liberal kelas menengah yang menyingkirkan orang-orang kelas bawah. Kita selayaknya bertanya pada diri sendiri, kesalahan apa yang telah kita lakukan," papar Žižek.
Gerakan anti-imigran yang ujung-ujungnya menjadi gerakan anti-Muslim di Eropa, menurut Žižek sudah merambah Negeri Paman Sam, AS lewat gerakan Tea Party. Awalnya gerakan ini adalah kumpulan orang-orang Republikan yang mengkritisi kebijakan pemerintah AS, yang dianggap terlalu menghambur-hamburkan uang guna membantu bank-bank yang hampir kolaps.
"Setahu saya, gerakan ini berasal dari gerakan akar rumput yang kemudian diambil alih oleh kelompok kanan ketika era mobilisasi massa yang dilakukan kelompok kiri sudah lewat," ujar Žižek.
"Saya mendengarkan dengan perasaan senang dan takjub, laporan-laporan yang menyebutkan bagaimana universitas-universitas di AS yang dibiayai dari uang para pembayar pajak, semakin dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan. Di Eropa kondisinya bahkan jauh lebih buruk. Perusahaan-perusahaan besar melakukan kontrol lewat uang donasi dan perguruan-perguruan tinggi," tukasnya.
Situasi itu sudah terorganisir dengan baik. Seluruh negara Eropa mengkampanyekan para ilmuwan untuk menjadi pakar. Kalangan intelektual di perguruan-perguruan tinggi seharusnya tidak menjadi pakar bagi penguasa yang telah menimbulkan persoalan bagi negaranya sendiri. Oleh sebab itu, kita perlu tahu problem yang sebenarnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, termasuk femonema anti-imigran yang meledak di Eropa dan menjalar ke AS belakangan ini.
Slavoj Žižek baru saja menerbitkan buku terbarunya berjudul "Living in the End Times". Judul buku itu, kata Žižek merujuk pada situasi yang ironis yang melanda dunia saat ini. "Sebuah metafora dari Kiamat, atau apalah namanya, pada tahun 2012 kita mendekati akhir waktu," ujarnya.
Ia melanjutkan, "Tentu saja keyakinan saya itu bukan seperti keyakinan sebagai seorang penganut agama tertentu, bahwa kita punya waktu tinggal dua tahun lagi untuk hidup. Tapi di luar itu semua, saya pikir, secara keseluruhan–dilihat dari berbagai level berbeda–perlahan-lahan kita sedang menuju ke titik nol." (ln/WB)