Dalam sejarah negeri ini tercatat bahwa yang merintis perjuangan melawan penjajah adalah para ‘penguasa pasar’ yang sudah selama beratus tahun diluluhlantakkan oleh para penjajah. Adalah Hadji Samanhudi yang sesungguhnya memelopori kesadaran nasional melalui kesadaran berniaga—yang kemudian kita kenal dengan Syarikat Dagang Islam (SDI, 1905). Berawal dari SDI inilah kemudian kebangkitan demi kebangkitan bermunculan, yang akhirnya membuat Indonesia secara de jure Merdeka 40 tahun kemudian 1945.
Tetapi pertanyaannya adalah apakah setelah tahun 1945 tersebut Indonesia bener-bener merdeka? nampaknya belum bila kita menggunakan standar kemerdekaannya Hasan Al-Banna tersebut di atas. Tugas kita di jaman ini untuk terus menyempurnakan kemerdekaan ini sehingga baik de jure maupun de facto kita (atau anak cucu kita?) harus bisa merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya.
Hingga saat ini kita belum merdeka dari sisi ekonomi karena pasar-pasar kita baik dalam arti fisik maupun dalam arti system bukan kita sendiri yang menguasainya. Kita masih memakai baju dari kapas yang 99.5% bahan-nya impor, sekian banyak menu dimeja makan kita berbahan baku terigu yang 100%-nya impor. Kita harus mengimpor daging, susu, kedelai untuk tahu tempe dan bahkan juga bahan baku untuk pakan ternak-ternak kita. Penjajahan ekonomi ini menjadi nampak begitu nyata ketika 13 tahun lalu , presiden dari negeri ini harus ‘menyerah’ menanda tangani 50 butir kesepakatan kepada IMF. Bahkan nuansa penjajahan yang pedih ini masih dapat kita rasakan hanya dengan melihat foto di bawah ini.
Pak Harto dan IMF
Kita juga belum merdeka dalam pikiran karena kita masih harus terpaksa ‘menyesuaikan’ apa yang baik menurut imperialis seolah baik untuk kita— sikap dalam memandang riba contohnya. Meskipun ulama-ulama telah bulat menyatakan bunga bank adalah riba dan riba adalah haram—tetapi karena komando imperialis barat yang terwakili oleh sosok penjajah yang sama diatas menyatakan sebaliknya —bahwa bunga bank adalah suatu keniscayaan dalam system keuangan dan ekonomi modern ini— maka fatwa haram-pun menjadi seolah ‘tidak berbunyi’ dan tidak banyak yang mendengarkannya.
Lantas apa yang bisa kita lakukan sesungguhnya? Dari mana kita bisa mulai untuk merintis kemerdekaan yang sesungguhnya? Salah satunya adalah mengulangi persis episod-episod sejarah tersebut di atas. Kita bisa mulai dari uswatun hasanah kita karena sebelum menjadi Nabi, Muhammad bin Abdullah muda-pun lebih dahulu menguasai pasar—tidak kurang dari 13 pasar di Jazirah Arab pernah dikunjunginya. Di pasar-pasar inilah Muhammad sudah berinteraksi dengan pedagang-pedagang dari negeri yang jauh seperti India dan China.