Apa implikasinya perbedaan abad, dan pembawa ini? Ini terkait dengan kwalitas orang-orang yang membawa Islam ke negeri ini. Generasi terbaik umat ini adalah generasi para sahabat kemudian berurutan ke generasi sesudahnya, jadi kwalitas generasi abad pertama Hijriyah tentu sangat berbeda dengan generasi tujuh abad kemudian—apalagi dari negeri yang telah banyak mengalami penyimpangan dalam ajaran Islamnya.
Dengan apa para juru dakwah nan perkasa tersebut menjangkau negeri yang begitu jauh dari negeri asalnya? Dengan keahlian berdagang! maka disinilah mulai make sense-nya peran kepandaian berdagang ini dalam menopang kepentingan dakwah dan perjuangan dalam jangka panjang.
Melalui kepandaian berdagang para juru dakwah dari negeri yang sangat jauh tersebut, mereka mudah untuk di terima dan memperoleh dukungan dari penduduk-penduduk negeri asing yang dikunjunginya. Melalui pasar-pasar yang terbentuk oleh para pedagang ini pula, ajaran Islam kemudian menyebar luas di Nusantara. Ini ditandai dengan bukti sejarah kemudian bahwa sudah mulai ada kekuatan politik Islam di Aceh pada abad ke 9 Masehi atau abad ke 3 Hijriyah—dari sinilah kemungkinan munculnya istilah Serambi Mekah itu! Ini juga menjadi bukti bahwa tidak mungkin Islam baru masuk dibawa oleh pedagang dari Gujarat pada abad 13 Masehi, karena bahkan kekuatan politik Islam sudah hadir di Aceh abad 9 Masehi.
Tujuh abad kemudian ketika imperialisme barat yang dipimpin oleh imperialis Portugis merebut Malaka (1511) —saat itu Malaka sebenarnya sudah menjadi pusat perdagangan Islam dibawah kekuasaan pemimpin Islam Sultan Mahmoed. Apa artinya ini? bahwa sesungguhnya dakwah Islam sudah sebegitu luas dan berhasil membangun kekuatan politik, ekonomi dan pemikiran selama berabad-abad di Nusantara. Tetapi bagaimana atau dari mana para imperialis kemudian bisa melakukan aksi penjajahannya? ya dari sisi ekonomilah pintu masuk mereka!, motif ekonomi ini yang membuat para imperialis ini rela melakukan perjalanan yang sangat jauh dalam waktu belasan tahun untuk akhirnya menemukan sumber rempah-rempah yang mereka cari—yaitu Nusantara, maka dengan kekuatan ekonomi mereka menguasainya.
Sejak kedatangan imperilais portugis tersebut ke Nusantara, sejak saat itu pula sistem ekonomi Islam dan pasarnya yang sudah berkembang beradab-abad dirusak—bahkan imperialis tidak hanya menguasai pasar Malaka tetapi juga jalur-jalur pelayaran niaganya. Hal yang sama yang kemudian dilakukan oleh Belanda ketika menduduki Jayakarta lebih dari seabad kemudian (1619).
Lebih jauh lagi imperialis yang kedua ini bukan hanya menguasai pasar dan jalur pelayaran perdagangan saja, tetapi kemudian juga menguasai pula resources-nya. Ketika pemerintah kolonial Belanda mengalami kesulitan keuangan yang berat misalnya, mereka memberlakukan pajak natura kepada para petani yang mayoritasnya sudah muslim di pulau Jawa. Pajak natura inilah yang kemudian membuat para petani diwajibkan menanam tanaman-tanaman yang hasilnya untuk pasar Eropa yaitu berupa kopi, teh, nila, tebu dan tembakau. Dan tahukah Anda berapa lama sistem tanam paksa atau cultuurstelsel ini berlangsung? hampir 90 tahun yaitu antara tahun 1830-1919!
Dari dua penggal episode sejarah penjajahan tersebut kita jadi tahu sekarang kesamaan keduanya, yaitu keduanya masuk melalui penguasaan pasar, lalu lintas perdagangan dan juga akses terhadap sumber daya alamnya. Pola-pola semacam ini nampaknya tetap menjadi ‘senjata’ yang efektif bagi para ‘penjajah’ untuk mengendalikan ‘negeri jajahannya’ hingga jaman teknologi ini.
Di sisi lain adalah bila ‘senjata’ ini kita yang menguasai, maka sesungguhnya hal yang sebaliknya juga bisa terjadi—yaitu kita bisa merintis kemerdekaan mulai dari penguasaan pasar, jalur perdagangan (saat ini berarti jaringan atau network) dan sumber daya alam.