Kemudian ada jurnalis dan aktivis HAM Dandhy Laksono yang ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya atas dugaan ujaran kebencian. Penetapan itu dilakukan setelah penyidik Polda Metro Jaya memeriksa Dandy pada Jumat dini hari, 27 September 2019. Dandhy dikenai pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 A ayat (2) UU 11/2009 tentang perubahan atas UU 8/2016 tentang ITE dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Bagi Made Supriatma, kelakuan Jokowi makin hari makin menyerupai Soeharto dalam membungkam kritik.
“Jokowi punya perangkat hukum yang bikin Soeharto iri. UU ITE umpamanya. Dia kasih payung hukum untuk bertindak seperti Soeharto, tapi dengan concern hukum dan secara legal. Di situ, saya kira, yang membuat Jokowi sangat berkuasa. Dia tidak punya lagi perhatian pada rakyat biasa. Hilang semua reformasi dan korupsi yang selama ini dia gemborkan,” ucap Made kepada Tirto, Rabu (9/12/2020).
Jika kritik masyarakat sudah tak bisa lagi didengarkan, semoga Jokowi belum melupakan nasihat almarhumah ibunya.
“Ketika kamu memutuskan untuk terjun ke politik, itu adalah sebuah panggilan untuk mengabdi pada masyarakat dan bukan sebagai perhitungan berapa modal yang dikeluarkan dan berapa yang harus kembali. Kekayaan hanyalah titipan, karena dalam setiap kekayaan yang kita miliki sesungguhnya terdapat hak masyarakat yang ada di sekitar kita tinggal,” kata Sujiatmi.
Buzzer dan Permainan Politik Identitas
Gaya Jokowi dahulu sebagai pemimpin Jakarta yang gemar blusukan menjadi daya tarik internasional. Ketika terpilih sebagai Presiden RI pada 2014 wajahnya muncul di sampul majalah Time dan headline-nya dengan jelas tertulis:“A New Hope”—harapan baru.
Banyak orang di luar negeri mensejajarkan Jokowi dengan Barack Obama, presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat. Obama populer karena berasal dari kelompok minoritas. Sedangkan Jokowi populer karena terkesan datang dari kelompok bawah. Keduanya juga menggunakan jejaring anak muda untuk mendongkrak popularitas. Kepopuleran inilah yang berhasil dimanfaatkan Jokowi untuk kemenangan elektoral.
Cara Jokowi paling utama untuk meraih popularitas adalah melalui media. Baik media massa maupun media sosial. Pada Pilkada Jakarta 2012, penggunaan media sosial menjadi terobosan baru dalam kampanye. Secara mengagetkan, Jokowi-BTP bisa mengalahkan petahana.
Penggunaan media sosial sebenarnya adalah teknik “sekali mendayung dua-tiga pulau terlewati”. Selain efektivitas, Jokowi-BTP juga mengakali dana kampanye yang terbatas. Mereka hanya didukung oleh dua partai, PDIP dan Gerindra. Sedangkan pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli didukung oleh 7 partai. Hasil pengumpulan sumbangan kampanye Jokowi-BTP hanya mencapai Rp16,3 miliar. Sementara dana kampanye lawannya mencapai Rp62,6 miliar.
Jokowi-BTP hanya menghabiskan Rp 16 miliar, sedangkan Foke-Ramli hampir ludes dengan penggunaan Rp 62,5 miliar. Tapi perolehan suara mereka berbeda lebih dari 350 ribu suara dengan keunggulan pasangan Jokowi-BTP.
Jokowi, seperti tercatat dalam penelitian Muninggar Sri Saraswati berjudul “Social Media and the Political Campaign Industry in Indonesia”, punya kelompok relawan yang lebih serius daripada Foke-Ramli. Relawan ini membuat wadah tersendiri bagi pegiat media sosial bernama Jokowi Ahok Social Media Volunteers (Jasmev). Salah satu yang bergabung di sana adalah pemilik akun Twitter @kurawa yang dikenal dengan nama Rudi Valinka atau Rudi Sutanto.
Akun @kurawa berkali-kali berusaha mendiskreditkan pemerintahan sebelumnya yang dipimpin Foke. Sedangkan Foke berusaha menangkal dengan menggunakan akun @TrioMacan2000 yang dikelola Raden Nuh dan Abdul Rasyid. Akun ini sempat meminta Rp1 miliar kepada Jokowi-BTP untuk menggunakan jasanya, tapi ditolak.
Hasilnya, @TrioMacan2000 tidak mampu menangkal kampanye dari @kurawa dan kawan-kawan di Jasmev. Inilah awal kesuksesan Jokowi dalam menggunakan media sosial.
Media sosial menjadi kunci pola marketing politik bauran. Inilah yang dilakukan oleh Jokowi dan Ahok dan membuat mereka memenangi gelanggang elektoral,” kata peneliti Remotivi, Wisnu Prasetya Utomo, dalam tulisan berjudul “Menimbang Media Sosial dalam Marketing Politik di Indonesia: Belajar dari Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2012” (2013).