Jokowi hanya mengikuti situasi yang terjadi di sekelilingnya. Pendeknya, dia tidak punya agenda dan visi sendiri terhadap demokrasi dan berbagai situasi di sekitarnya. Ketika ada gerakan dari kelompok Islam politik yang berusaha menjatuhkan dirinya, dia menarik Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden. Saat ada demonstrasi besar-besaran dari pendukung Prabowo yang berujung ricuh, dia menjalin koalisi bersama Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.
Semuanya bersifat responsif. Tanpa ide cemerlang, tanpa solusi matang.
Narasi populis Jokowi sebagai capres berlatar belakang sipil yang berjanji menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu berhasil mengalihkan dukungan masyarakat dari Prabowo yang berlatar belakang militer dan punya masalah pelanggaran HAM.
Di tahun 2016, Jokowi makin membuktikan diri sebagai pemimpin populis semu. Dia melantik Wiranto, bekas Panglima ABRI yang diduga terlibat pembantaian orang-orang Timor Leste. Keputusan ini menuai kritik dari para pegiat HAM. Sepanjang 2016-2019, Wiranto menjadi simbol ketidaktegasan Jokowi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Tapi Jokowi tampak tak keberatan dilabeli sebagai presiden yang ingkar janji dan tidak mau menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Marcus Mietzner, peneliti dari Australia, mencatat, Jokowi berhasil naik karena penurunan demokrasi dan situasi politik yang stagnan membuat masyarakat merindukan sosok populis pro-demokrasi. Tapi justru di tangan Jokowi pula demokrasi mengalami penurunan.
Perkataan Jokowi yang mendaku sebagai “wong cilik” dan “sekarang waktunya melakukan sesuatu bagi wong cilik” seperti omong kosong belaka. Sejak masuk ke gelanggang politik nasional, dia adalah bagian dari oligarki.
Dekati Militer, Rangkul Polisi
Leonard C. Sebastian dan kawan-kawan dalam Civil-Military Relations in Indonesia after the Reform Period (2018) menilai Jokowi sebagai presiden berlatar belakang sipil kelabakan menjaga kekuasannya. Pilihan dia akhirnya adalah menyandarkan diri kepada kelompok militer.