Ketika Kabinet Kerja diumumkan pada Oktober 2014, 16 orang berasal dari partai politik dan 18 lainnya dari profesional non-partai. Status non-partai ini pun sebenarnya tak sepenuhnya murni. Sedangkan orang-orang yang berjasa kepada Jokowi-JK saat kampanye Pilpres 2014 mendapat posisi strategis.
Andrinof Chaniago, Ketua Tim Sukses Jokowi 2014, menjadi Kepala Bappenas; Amran Sulaiman, salah satu donatur terbesar Jokowi-JK, menjadi Menteri Pertanian; Andi Widjajanto, seorang pemikir di tim kampanye, menjadi Sekretaris Kabinet; Luhut Binsar Panjaitan, konco lawas Jokowi, sampai rela keluar dari Partai Golkar.
Jokowi bersikeras mengklaim tak menerapkan politik balas budi atau bagi-bagi jatah. Baginya, yang terjadi adalah sebuah kalkulasi matang. Bagaimanapun pemerintahannya membutuhkan dukungan partai politik agar bisa terlaksana dengan baik.
Tapi komposisi menteri yang diberikan kepada parpol sebenarnya secara tidak langsung menunjukkan Jokowi-JK memang membagi-bagi jabatan secara “adil” kepada partai pendukung. Pada akhir periode mereka, jumlah total menteri dari partai ada 14 berbanding 20 dari non-partai.
Komposisi menteri Jokowi-JK ini seperti memastikan bahwa mengutamakan kepentingan rakyat di atas elite hanyalah jualan kampanye.
Pada periode kedua kepresidenannya Jokowi beralih dari kabinet ramping menjadi kabinet gemuk. Alasannya, dia ingin melakukan akomodasi semua kepentingan yang, sekali lagi, mengatasnamakan kepentingan rakyat. Tidak cukup enam partai di parlemen mendukungnya, Jokowi, yang kali ini berpasangan dengan Ma’ruf Amin, menambah Partai Gerindra sebagai bagian dari Kabinet Indonesia Maju.
Dengan komposisi ini, pembagian menteri tak jauh beda dengan sebelumnya. PDIP sebagai pemenang mendapat jatah empat menteri; disusul Partai Golkar (minus Luhut Panjaitan), PKB, dan Partai Nasdem dengan tiga menteri; kemudian Partai Gerindra dua menteri, dan PPP satu menteri. Selain itu Jokowi juga membagi-bagi posisi pejabat negara kepada tim sukses termasuk relawannya yang bergabung dalam pemenangan Pilpres 2019.
“Kita ini ingin membangun sebuah demokrasi gotong royong. Jadi perlu saya sampaikan bahwa di Indonesia ini tidak ada yang namanya oposisi seperti di negara lain. Demokrasi kita ini adalah demokrasi gotong royong,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (24/10/2019).
Yuki Fukuoka dan Luky Djani, pada artikel mereka yang diterbitkan dalam South East Asia Research tahun 2016 berjudul Revisiting the Rise of Jokowi: The Triumph of Reformasi or An Oligarchic Adaptation of Postclientelist Initiatives?, menganggap sejak awal Jokowi sudah bukan lagi sosok yang ia citrakan ke publik selama kampanye: mengutamakan kepentingan rakyat di atas partai.
“Hanya beberapa bulan menjalankan pemerintahan, presiden baru Indonesia, Jokowi, mulai mengecewakan pendukungnya yang berharap dia bisa meningkatkan kualitas demokrasi. Berkebalikan dengan janji kampanye tentang pemerintahan yang ‘bersih’ dan ‘profesional’ tanpa tukar guling, Jokowi memberikan posisi strategis kepada kepentingan oligarki dan mengindikasikan keputusannya justru dilandasi oleh partai pendukungnya,” tulis Djani dan Fukuoka di bagian paling awal artikel mereka.