Kemitraan bangsa Belanda dan bangsa Cina di Batavia sempat terhenti antara tahun 1740 – 1743, di mana terjadi pembantaian terhadap bangsa Cina di Batavia yang dimulai tanggal 9 Oktober 1740, di mana sekitar 10.000 bangsa Cina dibantai oleh bangsa Belanda dan bangsa-bangsa Eropa lainnya, serta oleh para pribumi yang menjadi budak-budak peliharaan bangsa-bangsa Eropa.
Ini genosida terbesar kedua yang dilakukan oleh bangsa Belanda di Nusantara, setelah genosida di Kepulauan Banda, yang puncaknya terjadi pada 8 Mei 1621.
Pada waktu itu, sekitar 13.000 penduduk Kepulauan Banda dibantai, sekitar 1000 berhasil menyelamatkan diri ke pulau-pulau di sekitarnya, dan sisa yang hidup 837 orang, tsebagian besar adalah wanita dan anak-anak dibawa ke Batavia untuk dijual sebagai budak. 176 orang mati dalam perjalanan dari Banda ke Batavia.
Komoditi dagang yang paling menguntungkan pada waktu itu adalah perdagangan budak dan perdagangan narkoba (candu).
Walaupun sebelumnya telah ada perbudakan sejak belanda menginjakkan kaki di pulau Jawa, UU Perbudakan di wilayah penjajahan Belanda secara resmi diberlakukan dari tahun 1640 – 1862. Praktek perbudakan masih berlangsung sampai tahun 1870-an.
Selama masa perbudakan, PRIBUMI penduduk asli setempat diperjual-belikan sebagai BUDAK DI NEGERI SENDIRI.
Ukuran kekayaan di zaman penjajahan adalah jumlah budak yang dimiliki oleh seseorang. Ada seorang Gubernur Jenderal yang memiliki lebih dari 180 budak.
Populasi budak di Batavia akhir abad 17 lebih dari 50% dari seluruh penduduk Batavia.(Rincian mengenai perbudakan dapat dibaca di artikel mengenai VOC. Lihat linknya di atas)
Sampai awal abad 20, beberapa kerajaan dan kesultanan di Asia Tenggara masih belum dapat dikalahkan oleh Belanda.
Setelah perang selama 31 tahun, dari tahun 1873 – 1904 Kesultanan Aceh secara administratif jatuh ke tangan Belanda, namun perlawanan berlanjut sampai tahun 1914.