Oen Boen Ing lulus dari STOVIA di Batavia tahun 1932. Dia pertama kali bekerja sebagai dokter di Kediri. Di sana pula Dokter Oen bertemu pujaan hatinya, Corrie Djie Nio. Gadis cantik, puteri dari keluarga terpandang di kota itu. Namun Corrie ternyata mampu menyesuaikan diri dengan kesederhanaan dan idealisme dokter Oen. Sekitar tahun 1935, keluarga muda itu memutuskan pindah ke Surakarta. Di sanalah dokter Oen makin menancapkan citranya sebagai dokter Wong Cilik.
Tak Mau Dikultuskan
Kebiasaan dokter Oen membuka praktik pada pukul 03.00 WIB, konon didasari oleh kesukaannya pada angka 3. Hal itu berasal dari tanggal lahir dr Oen. cerita-cerita unik dan kiprah dokter Oen di Solo masih banyak diingat warga senior di sana.
Salah satunya Sumartono Hadinoto. Dia masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana dokter Oen menjadi dokter langganan ayah dan ibunya.
“Saya ingat betul, pengabdian beliau sangat luar biasa. Pasiennya banyak sekali,” kata Sumartono.
Cerita lain yang banyak diingat juga adalah bagaimana masyarakat sangat percaya dengan kemampuan Dokter Oen. Sampai kalau ada yang sakit, komentarnya selalu berbunyi, sudah dibawa ke dokter Oen belum? Begitu sampai ke rumah praktik dr Oen, begitu di-stetoskop saja pasien sudah merasa langsung sembuh. Rupanya dokter Oen membawa sugesti positif bagi pasiennya.
“Itu yang saya dengar dari orang tua saya. Bahkan orang secara psikologis, orang yang sakit, begitu ketemu dokter Oen otomatis sembuh,” tambahnya.
dokter oen boen ing
©Yayasan Panti Kosala
Pengabdian dokter Oen jauh dari sekadar mengobati pasien miskin. Sang dokter juga menyelundupkan penisilin untuk Jenderal Soedirman yang tengah bergerilya melawan Belanda. Saat itu susah sekali mendapatkan obat tersebut.
Dokter Oen pula yang membantu mengobati para pejuang saat perang kemerdekaan. Keluar masuk lokasi berbahaya demi mengobati yang terluka. Para pejuang di garis depan sangat menghormati dokter Oen.
Pemerintah Indonesia kemudian menganugerahkan Satya Lencana Bhakti atas jasa-jasa dokter Oen Boen Ing pada tanggal 30 Oktober 1976.
Dokter Oen mewariskan keteladanan dan kemanusiaan. Prinsip hidup mulia yang masih relevan diikuti para dokter di tengah pandemi saat ini.Saat mereka mempertaruhkan nyawanya untuk mengobati pasien, hal ini mengingatkan pada kiprah dokter Oen dulu.
“Perjuangan tanpa memburu tepuk tangan dan duit. Menjalankan tugas mulia di tengah pagebluk covid-19. Ini mengingatkan kita pada kiprah Oen yang menyabung nyawa pada periode revolusi,” kata sejarawan Heri Priyatmoko lagi.
Sebelum meninggal, dokter Oen meminta jenazahnya dikremasi dan abunya disebar ke Sungai Bengawan Solo. Dia tak ingin kelak kuburannya dikultuskan. Apalagi sudah banyak yang menyebutnya dokter ‘sakti’. Belum diobati sudah bisa menyembuhkan, dan segala hal yang menjurus klenik. Dokter yang rendah hati ini tak mau itu terjadi.
“Dokter Oen tidak mau orang-orang nanti berduyun-duyun datang ke makamnya lantaran terjerat mitos yang irasional bahwa dirinya adalah wong ampuh. Pusaranya juga bukan tempat ritual,” jelas Heri.
Kesehatan dokter Oen memburuk seiring dengan usia senja. Tanggal 30 Oktober 1982, dokter Oen meninggal dunia. Seluruh Surakarta berduka. Ribuan orang berjejal dari berbagai golongan, tanpa melihat suku dan agama. Mereka semua ingin mengantarkan jenazah dokter Oen. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengharukan hari itu. Lautan manusia membanjiri wilayah RS Panti Kosala, Krematorium Tiong Ting dan Pura Mangkunegaraan.
“Dokter Oen Boen Ing dikebumikan Jumat berikutnya upacara adat kebesaran Pura Mangkunegaran. Sri Paduka Mangkunegoro VIII bertindak sebagai inspektur upacara,” ujar Mas Ngabehi Joko Pramodyo.
Wali Kota Solo Sukatmo Prawiro Hadisoebroto turut memberikan sambutan dalam upacara tersebut. Isak tangis dari orang-orang yang pernah diobati dr Oen terus terdengar saat momen mengheningkan cipta.