“Baru pertama kali saya melihat orang Indonesia membantu perjuangan di Suriah dengan mengirimkan Tim Medisnya…”
Meski ungkapannya menunjukkan rasa bahagia dan bukan cemoohan atas ketelatan bangsa Indonesia, kami terkejut atas ungkapan itu. Padahal kami adalah tim kelima yang dikirimkan oleh Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI). Setelah dikonfirmasikan ke kurir, ternyata beliau adalah orang Saudi yang meninggalkan pekerjaannya untuk turut berjihad. “Beliau belum pernah berjumpa dengan kawan-kawan kalian sebelumnya.” Jelas kurir. Kami baru mengerti, jenis orang semacam ini sangat banyak jumlahnya, terpanggil rasa solidaritas untuk membantu saudara sesama muslim dengan cara-cara yang diyakininya. Di perbatasan, persinggungan antar relawan, kombatan, tokoh politik, wartawan adalah hal biasa.
Perawakannya tinggi besar. Meski engginer bidang komputer, Ia terlihat alim dan memiliki penguasaan baik atas ilmu agama. Orang Arab biasa menyebut muthowwi’ . Abu Hamzah, demikian sebutannya. Berasal dari Dar’a Suriah dan lama tinggal di Saudi. Kini, ia termasuk yang ‘pulang kampung’ untuk membela bangsanya yang didzalimi penguasa. Ia tak bersedia difoto entah apa sebabnya; apakah alasan kemanan, ataukah sebab madzhab anti foto. Terkadang, ia menegur saat suara televisi tiba-tiba menjadi lagu saat jeda berita. “Ya Syabab….” Tegurnya. Para pemuda segera memindah channel atau mengecilkan volume.
“Subhanallah, Abu Hamzah… nama yang bagus seperti nama Paman Rasulullah yang gugur di perang Uhud..” pujiku. “Alhamdulillah, Hamzah adalah Sayyidusy Syuhada, kata Rasul; dan ada sayyidusy syuhada lain yaitu orang yang berkata haq di hadapan penguasa dhalim hingga dibunuh. Bagaimana jika penguasa itu bukan sekadar dhalim tapi kafir seperti rezim Nusairi ini?’ Jelasnya. Ya’ni min bab aula.. (maknanya lebih berhak untuk disebut), tanyaku. “Ya” tegasnya.
“Banyak orang Saudi yang turut berjihad?” tanyaku. “Tidak” jawabnya. “Apa sebabnya…?” kejarku. Ia agak lama menjawab. Sampai kemudian pertanyaan saya tambah, “Sebab situasi politik?” “Ya” jawabnya. Ia menjelaskan bahwa kondisi sekarang lain dengan masa jihad di Afghanistan dan Chechnya; dimana banyak pemuda Saudi turut serta. Saat itu, politik Amerika ‘mendukung’ penjatuhan atas Uni Soviet. Sekarang kondisi berbeda. Saudi adalah kawan Amerika, dan Amerika tidak menginginkan Basyar jatuh. Saat perang Afghan dulu, Saudi bahkan memberi tiket pesawat gratis bagi yang berangkat ke Afghanistan.
“Ya Akhi.. musykilnya adalah Amerika itu menikah dengan Israel dan Basyar Assad adalah salah satu dari hasil perkawinan itu…” Jelasnya disambut gelak tawa. “Tapi media publik banyak menyampaikan bahwa revolusi penjatuhan Basyar didukung penuh oleh Amerika…?” potongku. “Itu omong kosong yang dibesar-besarkan di media, di lapangan itu tidak ada sama sekali…” Abu Hamzah berkata, “Sekarang ini muslim Suriah seperti umat yang diperebutkan… seperti hidangan makanan yang diperebutkan oleh banyak orang..” Ia menjelaskan dengan berfilsafat.
Saya sempat mengernyitkan dahi, teringat penjelasan akhi Munarman SH saat para relawan HASI terdahulu berpamitan. “Saya fikir, Suriah atau Syam secara umum, adalah medan yang menarik untuk menjadi rebutan seluruh kekuatan besar. Karena itulah kota-kota akhir zaman. Amerika dan sekutunya punya kepentingan, Iran Soviet China punya kepentingan, dan kaum muslimin juga punya kepentingan.” Jelas akhi Munarman yang saat itu menyatakan siap menjadi Penasehat Hukum HASI. “Ibarat kompetisi, tinggal siapa yang akan memenangkan pertempuran di babak akhir itu.. dan kita yakin, bahwa kelak Islamlah yang akan menang…” pungkasnya optimis.
“Terus apa yang mesti dilakukan muslim Suriah?” tanyaku pada Abu Hamzah. “Al-Hadaf” jawabnya. “Tujuan revolusi ini mesti jelas. Dan tidak ada tujuan yang haq dari revolusi ini kecuali tegaknya syariah Allah. Ya Akhi.. tak satupun sekarang ada negeri muslim yang menerapkan syariat Allah… tak satupun ada negeri muslim yang bisa menjaga agama Allah; menjaga ummatnya dari penindasan.. Terlalu lama umat Islam ini tak dilindungi oleh kekuatan. Padahal ummat Islam itu banyak. Jika boleh saya ibaratkan, umat Islam itu ibarat mesin.. ibarat engine… apakah jika part-part dari engine itu terpisah, ia akan berfungsi? Tidak kan? Ya akhi.. engine itu harus mulai dirakit kembali di Syam… karena disinilah inti kekuatan Islam, dan disinilah kekuatan itu harus mulai dibangun. Inilah negeri yang diberkati Allah Ta’ala.
“Apakah bangsa sudah satu visi seperti yang Anda sampaikan?” tanyaku. Ia balik bertanya, “Apakah bangsa Indonesia juga satu visi dalam menerima syariat Islam..?” tetaknya membuat perbandingan meski menurutku perbandingan itu terlalu jauh. “Nafsusy-syai’ (podo wae)… sebagaimana di Indonesia umat Islam belum satu kata, demikian juga disini.” Ia kembali menjelaskan, meski demikian, umat Islam disini tengah disatukan dengan agenda bersama. Agenda penggulingan rezim otoriter nan bengis bernama Basyar. Ini awal yang baik untuk saling membantu, saling ta’awun, saling membangun kepercayaan. Kita harus bersatu dalam menumbangan kedhaliman ini, dan itulah start yang baik.
Tiba-tiba ia tersenyum dan bersopan santun. “Boleh saya bertanya..?” “Silahkan..” jawabku. Kenapa diantara kalian ada yang memiliki jenggot dan ada yang tidak memiliki termasuk Pak Dokter? ” “Hahaha…, begini syeikh… dalam bab jenggot jangan samakan kami orang Indonesia dengan bangsa Arab. Bangsa kalian sebelum tidur tidak memiliki jenggot, bangun sudah tumbuh kembali. Tau apa sebabnya?” Ia menggelang penuh tanda tanya. “Sebab kalian makan daging dan darah kalian panas, sementara kami makan nasi dan darah kami lebih dingin..” jawabku. “Jadi jangan katakan pak dokter tidak memiliki jenggot, ia punya meski hanya tiga helai.” hahaha..
Tak terasa, kami ternyata belum cukup istirahat selepas menempuh perjalanan jauh. Kami akan segera masuk border esok hari setelah mengambil belanjaan obat-obatan yang sudah dipesan. Kami akan membeli obat sekitar 6.000 lira sebagaimana request dari masyfa maidani (klinik lapangan). Kata Dokter Abu Saad, sebagian besar jenis obat yang dipesan untuk flu batuk dan infeksi pernafasan. Mungkin sebab musim dingin sangat menggigit.
Hatay, 28 Januari 2013
Abu Zahra, Tim Relawan ke-5 HASI