Akhirnya, setelah beberapa hari mengatung, dewan kehormatan Partai Demokrat mengumumkan sanksi untuk bendahara umumnya, Muhammad Nazaruddin. Melalui jubirnya, Amir Syamsuddin, dewan kehormatan memutuskan untuk memecat Nazaruddin sebagai bendahara umum di kantor DPP Demokrat, semalam.
Kalau diumpamakan permainan sepak bola, pengumuman dewan kehormatan soal status Nazaruddin seperti tendangan gol ke gawang yang sebelumnya melalui gocekan beberapa pemain. Dan itu akhirnya dilontarkan Nazaruddin sendiri kepada wartawan bahwa ia korban rekayasa pihak Demokrat sendiri. Ia menyebut beberapa ‘pemain’ yang salah satunya Andi Malarangeng yang juga ‘tuan rumah’ di mana dugaan kasus korupsi Nazaruddin bermula.
Jika dirunut ke belakang di mana kasus ini berawal, posisi Andi Malarangeng memang tergolong menarik. Sulit untuk mengatakan kalau Andi memang tidak tahu menahu soal ‘gerakan’ KPK di sekitar kantornya. Pemantauan KPK yang berbuntut penangkapan, sudah dimulai sejak sekitar jam 14 pada Jumat 22 April lalu. Dan penangkapan dilakukan sekitar menjelang Maghrib ketika mantan sekmenpora Wafid Muharam bertemu dengan Rosa Manulang dan rekan bisnis yang akan menggarap wisma atlet di Palembang. Dari situlah ditemukan sejumlah uang yang nilainya mencapai milyaran.
Menariknya, selain posisi Andi Malarangeng yang terkesan tidak tahu menahu apa yang terjadi di kantornya, dari tiga tersangka itu ada yang punya keterkaitan dengan tokoh sentral Demokrat sendiri, yaitu Rosa Manulang dengan Nazaruddin. Dari sini terlihat bahwa dua tersangka yang lain hanya ‘sekadar’ penggembira, dan pemain utamanya adalah Rosa Manulang yang kemudian disebut-sebut sebagai kepanjangan tangan Nazaruddin.
Seperti membaca alur kemana kasus ini akan bergulir, Nazaruddin sontak menyangkal semua dugaan yang mengaitkan dirinya dengan Rosa. Dan Rosa pun seperti menangkap sangkalan Nazaruddin itu dengan memecat pengacaranya yang terlanjur menyebut hubungan Rosa dengan Nazaruddin. Rosa pun akhirnya mencabut Berita Acara Pemeriksaan atau BAP yang sudah ia sampaikan kepada pengacara sebelumnya.
Kasus pun tampaknya akan berhenti di situ, dan penangkapan KPK kemungkinan hanya akan melibatkan tiga tersangka: Wafid, Rosa, dan Idris. Bagaimana dengan Nazaruddin? Inilah yang tampaknya akan melalui proses yang cukup rumit. Karena Rosa yang menjadi simpul pengait, memutuskan keterkaitan itu.
Setelah hampir satu bulan lamanya, sejak isu ini bermula yaitu pada 22 April hingga 20 Mei, nama Nazaruddin sepertinya belum juga bisa dikaitkan dengan kasus tiga tersangka: Wafid, Rosa, dan Idris. Manuver petinggi Demokrat seperti Ruhut dan Beny K Harman yang juga ketua komisi hukum DPR yang melakukan konpres soal penolakan keterlibatan Nazaruddin semakin mengokohkan posisi politisi kelahiran 1978 ini dari jeratan hukum.
Baru pada Jumat (20/5) lalu, sosok ‘hitam’ Nazaruddin benar-benar menohok publik. Ironisnya, itu tidak melalui proses hukum, tapi melalui jalur yang sulit ditolak para petinggi Demokrat. Yaitu penuturan ketua MK, Mahfud MD, yang ‘diamini’ tokoh sentral Demokrat, Presiden SBY soal dugaan grativikasi senilai 120 ribu dolar Singapura atau lebih dari 860 jutaan rupiah.
Di momentum ini, beberapa petinggi Demokrat yang selalu membela bendahara umumnya sempat kecele. Mereka mengira ini asli manuver Mahfud MD. Ternyata, seperti pengakuan Mahfud MD kepada wartawan, bahwa penuturannya soal kasus dugaan grativikasi Nazaruddin kepada para wartawan justru karena permintaan SBY sendiri yang kasusnya terjadi pada November tahun lalu.
Pengakuan Mahfud MD ini seperti melengkapi sebuah rangkaian mozaik konflik internal Demokrat yang sempat terputus. Karena ternyata, SBY seperti memposisikan diri berada di pihak yang berseberangan dengan Nazaruddin.
Cantolan Nazaruddin dengan Demokrat
Awalnya, publik mengira kalau Nazaruddin yang baru sekitar empat tahun bergabung dengan Demokrat ini adalah karena hubungannya di HMI bersama dengan Anas Urbaningrum. Dugaan ini ternyata salah. Karean Nazaruddin tidak pernah masuk di kepengurusan HMI.
Justru, track putera petinggi Partai Persatuan Pembangunan ini diawali dengan pertemanannya dengan seorang anggota legislatif Demokrat, Jhony Allen Marbun. Setelah gagal menjadi caleg PPP untuk dapil Riau pada pemilu 2004, Nazaruddin akhirnya bergabung dengan Demokrat melalui Jhony Allen di tahun 2007. Dan pada pemilu 2009, Nazaruddin lolos masuk DPR melalui dapil Jawa Timur IV. Lalu, bagaimana mungkin orang yang baru tiga tahun bergabung, pada Mei 2010 bisa dilantik menjadi bendahara umum?
Penuturan Daniel Sinambela kepada wartawan soal kedekatan Nazaruddin dengan Anas Urbaningrum cukup mencengangkan publik. Nazaruddinlah yang membiayai kerja tim sukses Anas pada Kongres II Demokrat tahun lalu. Dan akhirnya, Anas memang benar-benar unggul dari dua calon lainnya, Andi Malangeng dan Marzuki Alie.
Pada tanggal 23 Mei 2010 atau setahun sebelum akhirnya Nazaruddin dipecat dari bendahara umum Demokrat, Anas resmi menjadi ketua umum Demokrat. Setelah itu, Anas pun mengangkat Jhony Allen Marbun sebagai wakilnya, dan Nazaruddin sebagai bendahara umum.
Hal yang juga perlu menjadi kalkulasi di kepengurusan Demokrat adalah sosok sekjennya, Ibas, yang juga putera kandung ketua dewan pembina, Susilo Bambang Yudhoyono. Seperti diketahui publik, Ibas lebih dekat dengan Andi Malarangeng yang juga sekretaris Dewan Pembina Demokrat. Sebelum menjadi menteri, Andi dipercaya Presiden SBY sebagai jubirnya.
Apakah kasus Nazaruddin ini memang cerminan adanya perpecahan di tubuh Demokrat, atau ada hubungannya dengan salah satu upaya memuluskan langkah politisi muda Demokrat, Ibas Yudhoyono? Waktu sendiri yang akan mengungkapnya.
Karena dari umumnya kasus transaksi gelap segitiga antara pihak partai, birokrat, dan pengusaha seperti yang dikaitkan dengan yang terjadi di Kemenpora ini bukan hal yang istimewa. Karena hal ini seperti sudah menjadi kewajaran di kalangan petinggi partai, birokrat, dan pengusaha. mh
foto: republika